Ilham pun memberikan rokoknya tanpa berkata-kata dan dengan wajah yang datar-datar saja. Rokok pertama dalam hidup saya adalah rokok putih yang tergolong murah, magnum mild. Saya cukup bangga dengan hisapan pertama dalam hidup saya, karena saya langsung nge-ses dan saya tidak tersedak sama sekali. Saya hembuskan asapmya ke udara, dan langsung menyeruput secangkir kopi Arabica gratisan yang kami dapatkan dari salah satu booth di acara tersebut.
Malam itu saya menghabiskan 2 batang magnum mild milik Ilham dan satu batang Gudang Garam Surya yang saya beli eceran di sekitaran kopi jos. Batang kedua saya habiskan guna memuaskan rasa penasaran pada anggapan bahwa setelah makan paling enak ditutup dengan sebatang kopi. Saya pun mengamini anggapan tersebut setelah menghantam habis satu porsi nasi goreng yang saya beli dari penjual kaki lima di kawasan malioboro dan menutupnya dengan sebatang rokok milik Ilham. Batang ke tiga saya eksekusi demi meng-iyakan perkataan teman saya, seorang warga Lamongan, yang bilang kalau rokok paling enak adalah yang filternya kuning. Rokok Surya ditangan kiri, kopi jos di tangan kanan. Alhasil saya sedikit oleng oleh kandungan yang diberikan rokok tersebut. Maklum, pemula.
Mulanya saya hanya ingin memuaskan rasa penasaran saya terhadap rokok. Tetapi ternyata sensasi-sensasi yang saya dapatkan membuat saya ketagihan. Saya pun melanjutkan kegiatan ini secara diam-diam layaknya dakwah Nabi di awal-awal perjuangannya. Kenapa demikian? Ya jelas, karena saya malu di jadikan bahan candaan oleh teman-teman di tongkrongan yang tau kalau Sujono si pembenci rokok akhirnya tunduk dan takluk pada pesonoa rokok.
Melanjutkan aktifitas baru yang saya senangi ini, saya mulai membeli eceran rokok Surya di angkringan-angkringan terdekat. Demi menjaga kerahasiaan aktifitas ini teman-teman yang saya ajak untuk menemani saya merokok pun hanya mereka orang-orang terdekat. Tapi nyatanya, ndak sampai seminggu saya sudah ndak tahan ingin merasakan euphoria dari merokok bersama kawan-kawan satu tongkrongan sambil saling lempar candaan sampai larut malam. Rasa gengsi saya tinggal pergi. Ndak papa dibercandain, lama-lama juga pada lupa.
Sebagai perokok pemula pada saat itu, saya juga sempat merasakan ejekan-ejekan dari sesama perokok. Dari cara memegang rokok, perkara rokok yang saya bawa, bahkan sampai yang paling tidak penting, minuman yang saya pesan guna menemani rokok yang saya hisap. Aneh!
Seiring berjalannya waktu, saya pun mulai asik menjelajahi rasa dari beragam merk rokok yang berbeda. Dari yang biasa ada di pasaran, sampai yang sudah langka keberadaannya. Saya juga sudah sempat merasakan rokok klobot dan sudah belajar bagaimana caranya merokok tingwe atau linting dewe. Bahkan saya sempat juga belajar nyethe atau melukis diatas sebatang rokok menggunakan ampas kopi yang dioleskan menggunakan (biasanya) tusuk gigi. Ya walaupun gambar saya gak bisa dibilang gambar juga karena saking amburadulnya, setidaknya saya sudah paham langkah-langkah dasarnya.
Yang cukup memalukan bagi saya adalah masa-masa menjadi snob rokok yang fanatik. Perokok yang selalu membela rokok dihadapan pernyataan-pernyataan medis dengan lantang, tegas, gagah berani, tapi sering kelewat batas. Biasanya argumen yang saya keluarkan waktu itu adalah seputar konspirasi perokok pihak ke dua dan ketiga yang kabarnya hanya permainan industry farmasi saja. Atau kalau tidak ya palingan kalau sudah mentok dengan tema seputar dunia medis, biasanya ya saya banting stir ganti tema membahas pajak rokok yang menutupi deficit bpjs. Gak nyambung gak masalah, sing penting wani!
Kini saya hanyalah perokok surya professional merah biasa-biasa saja yang merasa cukup menjadikan aktifitas merokok sekedar kegiatan yang disenangi saja. Menjadikan rokok sebagai teman menulis, teman ngopi, penutup setelah makan berat, dan sarana penyambung komunikasi sosial antara manusia saja. Tidak lebih dan tidak kurang, InsyaAllah.
Terakhir dari saya, merokok ataupun tidak itu pilihan masing-masing. Kalau anda perokok, maka merokoklah dengan santun. Kalau anda tidak merokok, cobain saja dulu satu, siapa tau cocok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H