Esai
Sorak Sorai gemuruh penonton terdengar dari layar Televisi yang saya nyalakan. Awalnya saya acuh tak acuh dan kembali ke meja baca untuk merapikan buku-buku yang tampak tidak kalah 'riuh' dengan suara penonton. Setelah mendengar pembawa acara memperkenalkan beberapa orang yang sepertinya menjadi pusat perhatian para penonton, saya pun menjadi penasaran. Dalam benak saya terbesit pikiran naif dan saya pun kemudian mengecek ke arah Televisi yang sedari saya hidupkan belum mendapat perhatian yang simpati dari saya. "Oh...Tidak!!!! Hal semacam ini lagi... lagi dan lagi...." Saya memelas dalam hati. Acara yang saya maksudkan mungkin penontonnya juga adalah anda!
Acara yang secara tidak sengaja saya lihat sekitar pukul 7.30 malam tadi (3/10/14) adalah acara yang mendatangkan aktor-aktor dari negeri 'Bajaj' yang (meskipun tidak pernah saya tonton) saya tahu filmya sedang sangat "BOOMING" di Indonesia. Sudah beberapa hari ini iklan mengenai kedatangan para aktor-aktor asal negeri Sahrukh Khan tersebut juga menghiasi stasiun Televisi yang menayangkan acara tersebut. 'Aku pengen banget ketemu sama.... Aku pengen dinner, jalan-jalan bareng...... Kamu harus pilih aku, aku akan mengalahkan kontestan lain...." Itu adalah beberapa komentar yang ditayangkan dalam iklan tersebut yang selalu membuat saya mengangkat sebelah alis setiap mendengarnya. Realita inilah yang sedang terjadi saat ini di negeri kita yang tercinta Indonesia.
Saat demam K-POP dan K-DRAMA dari korea belum menurun temperaturnya, kita sudah kembali lg mengalami demam baru berupa demam "BOLLYWOOD". Film-film India yang sebelumnya sempat redup kini kembali bersinar dan menebarkan euforianya. Saat ini, jika kita tanyakan kepada anak-anak Muda, cerita manakah yang lebih mereka ketahui: "Mahabaratta" atau cerita "Putri Pandan Berduri"?? Mana pula yang lebih sering didengar: Musik "K-Pop" atau "Musik keroncong"? Saya cukup pesimistis bahwa jawaban yang kedua dari tiap pertanyaan akan terdengar labih familiar bagi pemuda-pemudi saat ini. Pada posisi ini, saya secara pribadi prihatin. Saat kita tengah begitu semangat untuk menggembar-gemborkan keinginan untuk mencintai karya negeri sendiri, kita justru terlena dengan karya-karya produksi luar. Terlebih, stasiun-stasiun televisi pun sepertinya tidak merasa keberatan untuk memberi porsi besar bagi film-film produksi luar. Tentu saja, The More Adv The More Profit. PEMAKLUMAN AKAN KETIDAKBERDAYAAN Saya kemudian mematikan televisi dan memasang status BBM mengenai keprihatinan saya setelah melihat acara televisi tadi yang saya lanjutkan dengan pertanyaan, "Kapan kita membentuk euforia perfilman kita ke negeri orang?" Beberapa teman mengirim pesan sebagai balasan terhadap status tersebut kepada saya. Salah satunya mengatakan, "Film Indonesia juga banyak kok yang membanggakan dan sukses di negeri orang". Mereka lantas menyebut judul-judul film Indonesia yang mendapat penghargaan dari festival-festival film di luar negeri mendukung argumentasi mereka. Saya merenung sejenak. Mungkin ada benarnya juga pikir saya.
Ketidakpuasan dalam hati muncul saat saya memikirkannya. Menurut saya keadaannya berbeda. Apakah film-film kita itu begitu dielu-elukan di negeri orang? Apakah orang luar negeri membuat acara atau program khusus untuk mendatangkan aktor-aktor kita? Di dunia musik, Kita juga tahu bahwa salah satu artis kita yang sudah lama mengupayakan Go Internasional kemudian berhasil merilis album di Amerika. Efek yang dihasilkan di Amerika? Biasa saja, bahkan kurang dari ekspektasi. Di Indonesia? Lihat apa yang sudah Indonesia lakukan saat mendatangkan Shahrukh Khan dan aktor-aktor serta penyanyi-penyanyi Korea.
Saya lalu membalas pesan teman-teman tadi yang intinya menyampaikan bahwa film-film Indonesia yang mereka sebutkan tadi memang adalah film-film yang hebat. Akan tetapi hanya sebatas itu! Tidak ada efek jangka panjang yang ditanam oleh film-filmyang disebutkan tadi layaknya film korea dan India apalagi Amerika yang menjamur di Indonesia. Film-film Indonesia di luar negeri mendapat pujian yang datang dari para kritikus film yang notabene adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang dalam dan mendasar soal film. Lingkungan yang sangat limitatif. Penayangannya pun hanya di beberapa negara tertentu. Kalaupun film itu sukses, aromanya tidak akan terasa dalam tahun-tahun yang akan datang. Mendengar jawaban tersebut seorang teman lama membalas, "Sulit bro. jangan bandingkan kita dengan mereka. Sangat jauh." WAWWWW!!!!! BINGOOOOO!!!! Itulah masalahnya. Jiwa yang seperti disampaikan teman saya ini yang membuat kita hanya menjadi importir film dan lagu dari luar negeri dan sangat minim dalam mengekspor film kita ke luar negeri. Spirit yang dibawa oleh teman saya itu sepertinya adalah jamur di kulit, yang sayangnya tidak segera diobati hingga terus menjalar ke seluruh tubuh. Saya menyebutnya sebagai "The Spirit of It's Okay". Jiwa pemakluman yang bagi saya tidak boleh dimaklumi.
Kita selalu memaklumi masyarakat lebih menyukai film dan lagu dari hollywood, bollywood, maupun Korea karena kita merasa kita tidak bisa membuat sesuatu yang DAHSYAT seperti mereka. Kita kemudian mencari pembenaran dan legitimasi atas hal tersebut berdasarkan kekurangan SDM maupun Teknologi kita. Televisi kemudian berargumentasi, film luar lebih menguntungkan. Indonesia tidak bisa buat yang seperti itu dan lain sebagainya. It's okay... dan selalu it's okay bagi kita selama hati kita senang, Televisi untung, masyarakat tenang, dan orang lain tidak terganggu. Jiwa inilah yang selalu meliputi jiwa bangsa yang hanya akan merangkak dan kemudian terjatuh tanpa mampu bangkit lagi untuk menuju kemajuan.
Kita seharusnya belajar dari Jepang. Mereka memiliki spirit yang luar biasa. Mereka menyebutnya "The Spirit of Excellent". Spirit yang menuntut optimalisasi diri. Spirit yang tidak menaruh toleransi terhadap pemakluman akan ketidakberdayaan. Spirit persaingan dan kompetisi unggul. Hal ini hanya akan terwujud melalui masyarakat yang sadar diri dan memiliki visi besar lebih dari sekedar "saya senang, masyarakat tenang, dan tidak ada orang yang terganggu".
PENJAJAHAN MODEL BARUÂ
Saat hendak mencari kata-kata melanjutkan tulisan ini, saya seperti mengalami kontempelasi dan perenungan mengenai apa sebenarnya beda antara karya dari luar yang masuk ke Indonesia dengan karya Indonesia yang sudah pernah mendapat apresiasi di luar negeri. Saya menemukan satu kata yang membedakan keduanya yaitu "EKSPANSI" atau yang secara sederhana kita pahami sebagai 'perluasan'. Dalam bahasa inggris disebut 'EXPANSION' yang dalam kamus Oxford English diartikan sebagai 'the action of becoming large or expanding' - "Aksi untuk munjadi lebih besar atau meluas".
Saya teringat akan cerita sukses musisi legendaris asal Inggris 'The Beatles' yang mengguncang Amerika dengan lagu-lagunya yang menurut saya sebagian terkesan picisan namun cukup artistik di era 60-an. Sejak sukses di Amerika, grup yang digawangi John Lennon, Paul Mccartney, George Harrison, dan Ringo Starr ini kemudian menuai sukses ke seluruh penjuru dunia. Para penggemar khususnya wanita yang menyebut diri mereka "BEATLEMANIA" sangat histeris setiap keempat pria asal Liverpool itu melakukan konser. Kondisi sangat ribut dan tidak terkontrol. Saking euforianya, The Beatles sendiri memutuskan berhenti melakukan konser sejak 1966 karena setiap konser, musik yang mereka mainkan tidak lagi terdengar karena kerasnya suara penonton. Sejak datangnya The Beatles arus masuknya musisi Inggris ke Amerika seperti Rolling Stones, Led Zeppelin, dan musisi Inggris lainnya terus berlangsung hingga kini. Anda pun mungkin adalah salah satu penggemar Coldplay atau Oasis yang lagu-lagunya sering kita dengar saat ini.