Anak perempuan saya baru saja diangkat menjadi guru honorer di sebuah sekolah dasar di kampungku, tempat saya menempuh pendidikan dasar waktu kecil, dua bulan lalu. Sejak dingkat menjadi pengajar, yang menggembirakan  perilaku hidupnya berubah,  lebih bersemangat, lebih disiplin dan lebih peduli. Â
Hari-harinya juga diisi dengan dunia pendidikan. Membaca menjadi kebiasaan baru yang telah lama ditinggalkan. Melihat itu, sebagai orang tua saya sangat bangga anakku menjadi guru, meskipun masih berstatus guru hunorer, bukan guru PNS bergaji tinggi.
Pada Jumat minggu lalu ia menerima gaji pertamanya, tak besar tapi keberkahanya besar luar biasa. Gajinya cuma  Rp 600 ribu untuk dua bulan. Sepenerima uang, ia ingat ibunya yang sakit menderita sakit gula.Â
Setiba di rumah Ia pun melapor pada kami yang sedang bersantai sambil menonton TV di ruang tamu, belakang. "Ibu saya sudah gajian, tapi uangnya saya belikan alat cek darah/cek gula ibu. Agar ibu bisa mengontrol gulanya dan menyesuaikan makananya", kata anakku dengan rasa bangga.
Sebagai ayah, saya tidak bisa berkata-kata, Â terlebih saya tipe ortu yang mudah mengeluarkan air mata bila mendapatkan kesedihan, terlebih bila ada kebahagian, pipiku langsung dibasahi air mata yang mengalir pelan.
Sejak anakku menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, banyak cerita menarik. Setiap pulang, ia bercerita pada ibunya. Â Setiap hari ada cerita lucu, menggelikan bahkan mengenaskan mengurus siswa SD, umumya masih lugu.
Cerita anakku sering dibahas sama ibu-ibu RT, Â yang tentu saja akan dapat menjadi pembelajaran bagi kami sekeluarga maupun para tetangga.Â
Keikhlasan anakku dalam mengajar menjadi suatu kebanggaan amat mendalam. Bukan uang yang dicari,  tapi untuk semetara, untuk saat ini setidaknya  pengabdian kepada anak bangsa melalui dunia pendidikan.
Tugas guru amat mulia, menciptakan anak-anak bangsa menjadi insan Indonesia yang beriman, terampil dan berbudi pekerti baik, sehingga akan tercipta  masyarakat yang toleran dan bertanggung jawab di masa mendatang.
Kedewasaan anakku juga bertambah tatkala menghadapi anak-anak dengan aneka perilaku kekanak-kanakan  yang butuh kesabaran, perhatian dan penanganan yang tepat dalam menghadapinya. Kesabaran dan kepdulian sangat diuji. Terlbih guru jaman now berbeda dengan guru semasa kami sekolah SD.
Pada hari pertama mengjar, anak-anak menyimak apa yang disampaikan oleh guru yang baru mereka kenal. Pada hari kedua, ada laporan, Â anak-anak berkelahi. Langsung ia berlari melerai dua siswa yang sudah berhadapan siap duel. Alhamdulillah bisa diselesaikan, mereka berdamai.
Hari berikutnya, seorang anak sakit perut. Dan maaf karenanya, anak itu berak di celana. Ia pun harum sabar membimbingnya masuk toilet. Dibersihkan dan diantar pulang.Â
Disampaikan kepada orang tuanya persoalan anaknya diantar pulang, lalu balik lagi ke sekolah melanjutkan mengajar.
Kepada para siswa yang menyaksikan peristiwa itu, sudah menjadi kebiasaan anak tersbut akan dibully kawan-kawanya. Ia pun pasang badan memberikan penegertian kepada para siswanya untuk tidak mengjek kawanya yang terkena musibah, karena musibah bisa menimpa siapa saja. Anak-anak menurut dan esok hari situasi aman.
Karena perhatianya kepada para siswa, anak-anak cocok diberi pelajaran, hingga sampai  ketika anak-anak sudah jam pulang, mereka tidak langsung pulang ke rumah, namun main di Kapal, tempat bu guru mengajar.Â
Kebetulan, selain mengajar ia membuka Ice cream dan kedai makan. Anak-anak usia 7 hingga 8 tahun ini iuran, membeli ice dan juga pesan makan. Mereka bermain ayunan, hingga sore.Â
Keceriaan anak-anak berawal dari sekolah hingga pulang kepangkuan orang tuanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H