Sistem keselamatan KA saat itu dalam proses penataan, sehingga kebijakan penempatan kereta aling-aling juga bagian dari proses menuju keselamatan operasi KA yang permanen untuk menjamin keselamatan KA secara keseluruhan.
Penerapan kebijakan penempatan gerbong kereta aling-aling pada masa itu jumlah gerbong B atau BP sebagai gerbong aling-aling paling ideal sangat terbatas. Sehingga KAI menggunakan kereta-kereta penumpang untuk digunakan sebagai kereta aling-aling.
Kontan saja kereta kelas eksekutif, bisnis dan kereta ekonomi dikorbankan untuk kereta aling-aling. Dampak kebijakan tidak populer ini pro kontra di internal dan eksternal KAI.
Kontra internal karena kebijakan itu mengurangi kapasitas angkut kereta. Setiap perjalanan harus mengurangi 1 hingga 2 gerbong kereta dikosongkan. Bagian pemasaran khawatir pendapatan berkurang karena alokasi tempat duduk dipakai untul kereta aling-aling.
Kontra di bagian sarana karena harus menutup rapat gerbong kereta. Semula di Krul (ikat) pakai kawat. Namun krul kawat sering dibuka paksa oleh segerombolan roker (rombongan kereta). Mereka masuk dalam jumlah besar, sehingga kru KA tidak mampu mencegah.
Karena krul tidak mampu menahan para penumpang nakal, akhirnya gerbong kereta aling-aling dilas semua semua pintunya. Jendela kaca yang sering dipecahkan penumpang diganti besi pelat baja. Akibatnya gerbong kereta tidak bisa dimasukin penumpang dan juga petugas.
Kondisi sterilisasi gerbong kereta yang ketat membuat kereta sulit dibersihkan. Jok, lantai, dinding berdebu sehingga para roker mulai takut memasuki gerbong kereta aling-aling. Gerbong menjadi angker dan ada pula yang memberi sebutan Kereta setan atau kereta hantu karena angker.
[caption id="attachment_358895" align="aligncenter" width="700" caption=" gerbong aling-aling menggunakan kereta K3 (foto: semboyan35.com)"]
Julukan kereta hantu dan angker tidak digubris KAI demi penegakan aturan untuk menjamin keselamatan KA, penumpang dan harta benda para penumpang yang diangkut KA. Direksi KAI tegas ke dalam dan tidak lunak ke luar. Sehingga ketika suatu peristiwa Gerbong kereta aling-aling dimasuki ratusan oknum TNI dan beberapa stasiun tidak bisa mengatasi, Direksi memilih menurunkan pejabat tertinggi di Cirebon. Kadaop harus menerima sanksi mutasi.
Direksi menilai Kadaop yang bersangkutan belum mampu melaksanakan tugas dan mendukung kebijakan perusahaan. Direksi berkesimpulan Kadaop seharusnya melepas kereta paling belakang, ditinggal di Stasiun Cirebon. Langkah ini agar menjadi pelajaran para roker yang mengganggu pelayanan KA. Roker umumnya tidak punya tiket, sering melemahkan petugas dan seenaknya menggunakan KA.
Dengan acungan dua jempol kepada KAI karena gerbong kereta aling-aling yang pro kontra di internal dan eksternal berhasil diterapkan untuk melindungi penumpang. Bertahap KAI juga sudah menyelesaikan pengadaan gerbong Bagasi sebagai pelindung kereta penumpang.