Mohon tunggu...
Suhut Tumpal Sinaga
Suhut Tumpal Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa

Mahasiswa sekaligus dosen. Pengajar sekaligus pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak E-Dagang Menyambut Revolusi Industri 4.0

13 Maret 2020   11:08 Diperbarui: 13 Maret 2020   12:04 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Terbit di Kompas 29/01/2019]

Pemerintah baru saja menerbitkan ketentuan tentang perlakuan perpajakan atas transaksi e-dagang (e-commerce). Beleid ini diatur dalam PMK nomor 210/PMK.010/2018. Dalam berbagai kesempatan Menteri Keuangan menyampaikan bahwa terbitnya PMK 210 ini tidak berarti mengenakan pajak yang baru dan berbeda dari sebelumnya kepada transaksi e-dagang dibandingkan transaksi konvensional. Pajak yang berlaku tetap sama dengan yang diatur dalam ketentuan perpajakan secara umum. Yang diatur di dalam PMK ini hanya mekanisme pengenaan pajak dan tata administrasi nya saja. Terdapat tambahan kewajiban (administratif) bagi market place, dan sama sekali tidak ada tambahan kewajiban (administratif maupun materil pajak) bagi pedagang atau penyedia jasa di market place (merchant).

Salah satu tambahan kewajiban administratif itu adalah adanya kewajiban bagi pengusaha marketplace untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) tanpa melihat lagi besarnya omset. Berbeda dengan pengusaha lain pada umumnya yang diberi kebebasan memilih menjadi PKP atau tidak jika memenuhi batasan omset sebagai pengusaha kecil (kini besarnya adalah 4,8 miliar rupiah setahun). Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa pengusaha marketplace wajib memungut PPN atas setiap penyerahan jasa (dan barang) yang diberikan tanpa melihat batasan omset.

Yang kedua adalah kewajiban merchant untuk memberitahukan NPWP atau NIK (nomor induk kependudukan) kepada marketplace. Atau dalam praktiknya sebenarnya ini akan menjadi kewajiban marketplace untuk mengumpulkan data NPWP atau NIK dari para merchant-nya. Kemudian marketplace diwajibkan untuk melaporkan rekapitulasi transaksi dari setiap merchant kepada DJP (tentu dengan NPWP atau NIK nya). Cara melaporkannya adalah dengan melampirkan di dalam laporan SPT Masa PPN dari marketplace. Sepertinya alasan ini lah yang menjadi latar belakang kenapa semua marketplace wajib PKP tanpa melihat batasan omset lagi.

Dari sini jelas terlihat bahwa tidak ada kewajiban perpajakan yang baru bagi marketplace maupun merchant. Ketentuan pajak PPh maupun PPN tetap mengikuti ketentuan umum yang berlaku sebelumnya. Apabila omset setahun tidak melebihi 4,8 miliar, dapat dikenakan PPh final dengan tarif 0,5% sebagaimana diatur dalam  PP nomor 23 tahun 2018. Sedangkan jika omset setahun mencapai 4,8 miliar atau lebih, maka wajib dikenakan PPh dengan mekanisme umum dan tarif sesuai pasal 17 Undang-Undang PPh.

Begitu juga untuk perlakuan pajak PPN tidak ada yang baru, kecuali wajib PKP bagi setiap marketplace tadi. Apabila omset setahun tidak melebihi 4,8 miliar, merchant dapat memilih untuk tidak menjadi PKP sehingga tidak ada kewajiban PPN sama sekali. Sedangkan jika omset setahun mencapai 4,8 miliar atau lebih, maka merchant wajib menjadi PKP sehingga wajib untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN (dan PPnBM jika ada) atas transaksi penyerahan yang dilakukannya.

Kemudian untuk perlakuan impor barang, PMK 210 ini sepertinya berusaha mendorong marketplace untuk menggunakan mekanisme DDP (delivery duty paid). Mekanisme ini mewajibkan marketplace untuk bertanggungjawab atas bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI). Tetapi jika nilai pabean lebih dari FOB 1500 USD, atau tidak menggunakan skema DDP, maka perlakuan impor nya mengikuti ketentuan tentang impor barang kiriman sebagaimana diatur dalam PMK 112/PMK.04/2018. Selain itu juga marketplace wajib untuk menyampaikan e-invoice dan e-catalog kepada Ditjen Bea Cukai.

Kekhawatiran Pedagang

Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa merchant tidak diwajibkan memiliki NPWP pada saat mendaftar di marketplace. Jika memang belum punya NPWP, cukup memberitahukan NIK saja kepada marketplace. Berdasarkan ketentuan perpajakan, memang benar bahwa tidak ada kewajiban NPWP bagi merchant kalau hanya mau mendaftar saja di marketplace.

Mereka menjadi wajib pajak kalau sudah melakukan transaksi penjualan pertama kali (berdasarkan PP nomor 23 tahun 2018). Namun karena PMK 210 tidak mengatur tentang kewajiban perpajakan bagi merchant (baik material maunpun administratrif), itu berarti bahwa ketentuan perpajakan yang umum akan berlaku bagi mereka. Ditjen Pajak akan menindaklanjuti data transaksi yang dilaporkan oleh marketplace dengan melakukan penelitian, ekstensifikasi, dan intensifikasi. Bisa dibayangkan tambahan beban administrasi yang harus ditanggung DJP untuk tugas ini. Apalagi kalau data ini akan diolah secara manual dengan metode pengolahan data konvensional.

Di sisi lain kekhawatiran asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) menjadi masuk akal. PMK 210 jelas menjadi alat baru bagi DJP untuk meningkatkan level pengawasan kepada merchant. Berdasarkan data dan informasi yang wajib diberikan oleh marketplace, DJP dengan mudah akan mengetahui siapa merchant yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar.

Sementara pengawasan terhadap perdagangan e-commerce di luar marketplace (seperti media sosial) tidak ditingkatkan. Tentu saja hal ini akan mendorong para pelaku e-commerce untuk berpindah dari marketplace ke media sosial. Pasal 9 PMK 210 hanya menyebutkan bahwa marketplace dapat memberikan data dan informasi ke DJP tentang transaksi e-commerce di luar marketplace. Layak dipertanyakan, sampai sejauh mana marketplace mempunyai data ini dan upaya mereka untuk melaporkannya.

Hal ini menjadi kontradiktif dengan pernyataan DJP yang ingin mendorong pengusaha e-commerce (yang kebanyakan adalah pengusaha UMKM) supaya pindah ke platform marketplace. Harapan nya hal ini akan meningkatkan kepatuhan pajak. Namun tanpa insentif yang memadai, tentu sulit membayangkan para pengusaha ini mau secara sukarela pindah ke marketplace. Yang ada justru merchant yang sudah di marketplace akan pindah ke luar marketplace karena takut akan pajak. Sementara saat ini kemampuan DJP untuk mengawasi platform di luar marketplace masih terbatas. Bukannya meningkat, PMK 210 justru dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kepatuhan pajak.

Misalnya ketika tarif pajak UMKM diturunkan dari 1% (PP 46 tahun 2013) menjadi 0,5% (pp 23 tahun 2018). Harapannya akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Namun belum pernah kita melihat laporan statistik yang menunjukkan kebenaran argumentasi tersebut. Jika ternyata kepatuhan wajib pajak UMKM tidak meningkat signifikan setelah tarif pajak diturunkan, tentu ada alasan lain yang membuat kepatuhan pajak UMKM ini tetap rendah.

Lalu bagaimana cara yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak pengusaha ecommerce ini? Konferensi OECD tentang pemajakan e-commerce di Ottawa pada tahun 1998 misalnya sudah menyepakati bahwa prinsip-prinsip pemajakan pada perdagangan konvensional harus diberlakukan sama juga pada transaksi e-commerce. Prinsip-prinsip itu adalah : netralitas, efisiensi, kepastian dan kesederhanaan, efektifitas dan keadilan, dan fleksibilitas. Dari kacamata wajib pajak (khususnya merchant), prinsip yang pertama dan ketiga sangatlah penting. Merchant menuntut adanya kesamaan level playing field antara marketplace dengan di luar marketplace (netralitas), dan berharap kesederhanaan, kemudahan, dan kepastian dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya (simplicity and certainty).

Revolusi Pajak 4.0

Pemerintah sebenarnya dapat menyediakan prinsip simplicity and certainty ini apabila bekerjasama dengan platform marketplace. Caranya dengan menunjuk marketplace sebagai wajib pungut PPh PP 23 nomor 2018. Marketplace wajib memungut pajak penghasilan merchant dari setiap transaksi yang dilakukan via marketplace. Kemudian marketplace akan menyetor pajak yang dipungut dan melaporkan nya ke DJP.

Dengan dukungan infrastruktur teknologi informasi yang dimiliki oleh marketplace, tambahan kewajiban ini diharapkan tidak akan menambah beban kepatuhan (compliance cost). Mereka cukup menambahkan satu patch di dalam platform mereka yang akan otomatis menghitung pajak yang terutang dan menambahkannya ke jumlah yang harus dibayar pembeli. Interest dari jumlah pajak yang dipungut sebelum disetor ke kas negara (floating interest) akan menjadi insentif bagi platform.

Sementara merchant tidak perlu diwajibkan memiliki NPWP pada saat mendaftar di marketplace. Hal ini untuk menghindari entry barrier seperti yang dikhawatirkan oleh idEA. Bahkan NIK pun tidak perlu diminta. Namun pajak yang dipungut dari merchant yang tidak memiliki NPWP harus lebih tinggi daripada merchant yang sudah memiliki NPWP. Misalnya 20% lebih tinggi, atau bahkan kalau perlu 100% lebih tinggi sehingga menjadi insentif bagi merchant untuk mendaftar NPWP. Karena PPh yang dipungut bersifat final, maka tidak ada lagi kewajiban bagi merchant untuk membayar, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Semua sudah selesai dengan dipungutnya pajak oleh marketplace. Ini juga menjadi insentif bagi merchant yang akan menurunkan compliance cost nya secara signifikan.

Apabila diinginkan, dapat dibuat aturan bagi merchant yang melebihi batas pengusaha kecil bahwa PPh yang dipungut marketplace dapat dikreditkan (tidak lagi menjadi PPh Final). Marketplace wajib memberikan e-bukti pungut kepada merchant yang memintanya. Bukti pungut ini nanti menjadi kredit pajak bagi merchant yang melebihi batas pengusaha kecil di dalam laporan SPT tahunan PPh nya.

Dengan demikian setidaknya ada dua keuntungan bagi merchant di marketplace dibandingkan di luar marketplace, yaitu simplicity dan kepastian. Selain kesederhanaan penghitungan pajak nya, marketplace juga menawarkan kepastian jumlah pajak yang terutang. Karena sifatnya sudah final, maka merchant tidak perlu lagi khawatir akan dikejar-kejar oleh DJP. Berbeda dengan e-commerce di luar marketplace. Karena mengikuti mekanisme self assessment, wajib pajak yang bertanggung jawab untuk menghitung sendiri, menyetor, dan melaporkan pajaknya yang terutang. Apabila suatu waktu nanti DJP punya bukti dan perhitungan yang berbeda, dapat dilakukan koreksi yang akan menambah pajak yang terutang plus dikenakan denda tentunya.

Kerjasama DJP dengan marketplace ini dapat menjadi awal dari revolusi pajak 4.0 di Indonesia. Tingkat kepatuhan wajib pajak dapat meningkat drastis karena terpenuhinya prinsip kepastian dan kesederhanaan. Pemanfaatan teknologi informasi dalam proses bisnis wajib pajak membuat compliance cost semakin kecil. DJP dapat mengumpulkan pajak lebih banyak, lebih pasti, lebih efektif, dan lebih efisien. Hal ini semua dapat dicapai hanya dengan menumpang pada model bisnis wajib pajak yang berkembang seiring revolusi industry 4.0.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun