[Terbit di Kompas 29/01/2019]
Pemerintah baru saja menerbitkan ketentuan tentang perlakuan perpajakan atas transaksi e-dagang (e-commerce). Beleid ini diatur dalam PMK nomor 210/PMK.010/2018. Dalam berbagai kesempatan Menteri Keuangan menyampaikan bahwa terbitnya PMK 210 ini tidak berarti mengenakan pajak yang baru dan berbeda dari sebelumnya kepada transaksi e-dagang dibandingkan transaksi konvensional. Pajak yang berlaku tetap sama dengan yang diatur dalam ketentuan perpajakan secara umum. Yang diatur di dalam PMK ini hanya mekanisme pengenaan pajak dan tata administrasi nya saja. Terdapat tambahan kewajiban (administratif) bagi market place, dan sama sekali tidak ada tambahan kewajiban (administratif maupun materil pajak) bagi pedagang atau penyedia jasa di market place (merchant).
Salah satu tambahan kewajiban administratif itu adalah adanya kewajiban bagi pengusaha marketplace untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) tanpa melihat lagi besarnya omset. Berbeda dengan pengusaha lain pada umumnya yang diberi kebebasan memilih menjadi PKP atau tidak jika memenuhi batasan omset sebagai pengusaha kecil (kini besarnya adalah 4,8 miliar rupiah setahun). Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa pengusaha marketplace wajib memungut PPN atas setiap penyerahan jasa (dan barang) yang diberikan tanpa melihat batasan omset.
Yang kedua adalah kewajiban merchant untuk memberitahukan NPWP atau NIK (nomor induk kependudukan) kepada marketplace. Atau dalam praktiknya sebenarnya ini akan menjadi kewajiban marketplace untuk mengumpulkan data NPWP atau NIK dari para merchant-nya. Kemudian marketplace diwajibkan untuk melaporkan rekapitulasi transaksi dari setiap merchant kepada DJP (tentu dengan NPWP atau NIK nya). Cara melaporkannya adalah dengan melampirkan di dalam laporan SPT Masa PPN dari marketplace. Sepertinya alasan ini lah yang menjadi latar belakang kenapa semua marketplace wajib PKP tanpa melihat batasan omset lagi.
Dari sini jelas terlihat bahwa tidak ada kewajiban perpajakan yang baru bagi marketplace maupun merchant. Ketentuan pajak PPh maupun PPN tetap mengikuti ketentuan umum yang berlaku sebelumnya. Apabila omset setahun tidak melebihi 4,8 miliar, dapat dikenakan PPh final dengan tarif 0,5% sebagaimana diatur dalam  PP nomor 23 tahun 2018. Sedangkan jika omset setahun mencapai 4,8 miliar atau lebih, maka wajib dikenakan PPh dengan mekanisme umum dan tarif sesuai pasal 17 Undang-Undang PPh.
Begitu juga untuk perlakuan pajak PPN tidak ada yang baru, kecuali wajib PKP bagi setiap marketplace tadi. Apabila omset setahun tidak melebihi 4,8 miliar, merchant dapat memilih untuk tidak menjadi PKP sehingga tidak ada kewajiban PPN sama sekali. Sedangkan jika omset setahun mencapai 4,8 miliar atau lebih, maka merchant wajib menjadi PKP sehingga wajib untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN (dan PPnBM jika ada) atas transaksi penyerahan yang dilakukannya.
Kemudian untuk perlakuan impor barang, PMK 210 ini sepertinya berusaha mendorong marketplace untuk menggunakan mekanisme DDP (delivery duty paid). Mekanisme ini mewajibkan marketplace untuk bertanggungjawab atas bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI). Tetapi jika nilai pabean lebih dari FOB 1500 USD, atau tidak menggunakan skema DDP, maka perlakuan impor nya mengikuti ketentuan tentang impor barang kiriman sebagaimana diatur dalam PMK 112/PMK.04/2018. Selain itu juga marketplace wajib untuk menyampaikan e-invoice dan e-catalog kepada Ditjen Bea Cukai.
Kekhawatiran Pedagang
Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa merchant tidak diwajibkan memiliki NPWP pada saat mendaftar di marketplace. Jika memang belum punya NPWP, cukup memberitahukan NIK saja kepada marketplace. Berdasarkan ketentuan perpajakan, memang benar bahwa tidak ada kewajiban NPWP bagi merchant kalau hanya mau mendaftar saja di marketplace.
Mereka menjadi wajib pajak kalau sudah melakukan transaksi penjualan pertama kali (berdasarkan PP nomor 23 tahun 2018). Namun karena PMK 210 tidak mengatur tentang kewajiban perpajakan bagi merchant (baik material maunpun administratrif), itu berarti bahwa ketentuan perpajakan yang umum akan berlaku bagi mereka. Ditjen Pajak akan menindaklanjuti data transaksi yang dilaporkan oleh marketplace dengan melakukan penelitian, ekstensifikasi, dan intensifikasi. Bisa dibayangkan tambahan beban administrasi yang harus ditanggung DJP untuk tugas ini. Apalagi kalau data ini akan diolah secara manual dengan metode pengolahan data konvensional.
Di sisi lain kekhawatiran asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) menjadi masuk akal. PMK 210 jelas menjadi alat baru bagi DJP untuk meningkatkan level pengawasan kepada merchant. Berdasarkan data dan informasi yang wajib diberikan oleh marketplace, DJP dengan mudah akan mengetahui siapa merchant yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar.