Pemerintah mengambil kebijakan yang cukup populer beberapa tahun terakhir ini yaitu menerbitkan sukuk negara sebagai instrumen pembiayaan defisit APBN dan pembiayaan proyek.Â
Sukuk negara dipilih karena memang secara praktik dapat digunakan sebagai pembiayaan proyek pemerintah. Sukuk negara saat ini menjadi salah satu instrumen andalan pemerintah dalam rangka menunjukkan eksistensinya dalam melakukan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu sejak tahun 2018 pemerintah menerbitkan green sukuk.
Penerbitan green sukuk ini juga merupakan bukti nyata pemerintah dalam memerangi perubahan iklim, seperti janjinya dalam forum Paris Agreement (Perjanjian Paris). Green sukuk merupakan instrumen pembiayaan yang mensyaratkan proyek green sebagai underlying asset dalam penerbitannya.Â
Jadi sebelum terbit akan ada penilaian dari ahli lingkungan terkait dengan berapa besar dampak pengurangan risiko perubahan iklim yang diakibatkan dari pembangunan proyek tersebut.
Meskipun pemerintah telah mempunyai instrumen keuangan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan belum pantas rasanya pemerintah berpuas diri akan pencapaian yang belum tuntas ini. Pekerjaan berikutnya adalah bagaimana agar tumpukan utang negara akibat penerbitan surat utang yang masif?
Meskipun sebenanya utang bertujuan untuk perbaikan infrastuktur tapi hal tersebut perlu untuk menjadi obyek kekhawatiran bersama, adalah bagaimana jika pemerintah tidak mampu mencapai target pertumbuhan yang diinginkan sedangkan utang sudah terlampau tinggi? hingga tahun 2019 total utang Indonesia hampir mencapai 5.000Triliun.
Pertanyaan sederhananya adalah, akankah green sukuk ini berakhir sebagai instrumen penumpuk utang belaka atau memang jalan terbaik untuk membangun perekonomian Indonesia?
Prestasi Indonesia dalam menerbitkan green sukuk masih belum bisa diapresiasi telalu jauh. Karena senyatanya penerbitan green sukuk ini masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah. Pertama, penerbitan green sukuk Indonesia belum bisa menghimpun mayoritas investor green. Porsi Investor green pada penebritan green sukuk sejauh ini masih 29% sedangkan yang konvensional masih 71%. Masing terpaut jauh, padahal semestinya green sukuk ini mampu menarik minat investor green.
Kedua, penerbitan green sukuk Indonesia masih manargetkan pasar internasional padahal semestinya pasar domestik dimaksimalkan. Pemerintah bisa menerbitkan green sukuk khusus untuk pasar domestik. Penerbitan ini akan membuka peluang masyarakat untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia.Â
Ketiga, penerbitan green sukuk pertama Indonesia masih menyisakan tanda tanya perihal kemampuan coveraged-nya hanya bisa menjangkau 5 tujuan SDGs yang ada. Padahal dalam SDGs terdapat 17 target ambisisus yang hendak dicapai. Terlepas dari beberapa pekerjaan rumah diatas prestasi yang perlu di apresiasi adalah pemerintah sudah berhasil menjadi perhatian dunia dengan menjadi penerbit green sukuk pertama di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H