Mohon tunggu...
Suherman Juhari
Suherman Juhari Mohon Tunggu... Penulis - Kalau Bukan Kita Siapa lagi?Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi ?

Seorang Peneliti di Institute for Economic Research and Training (INTEREST) dan dosen Ekonomi yang memiliki semangat dan harapan untuk pendidikan Indonesia agar lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Green Sukuk vs Climate Change

27 September 2019   10:32 Diperbarui: 27 September 2019   10:35 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Teori lama pembangunan menuai banyak kritikan karena terlalu berfokus pada pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Dari beragam kritikan tersebut memunculkan gagasan pembangunan berkelanjutan. 

Isu yang paling populer yang sering dikaitkan dengan pembanguan berkelanjutan adalah masalah climate change (perubahan iklim) yang menjadi ancaman hidup masyarakat.  

Perubahan iklim menjadi semakin diperhatikan oleh banyak pihak oleh karena beberapa tahun terakhir telah dirasakan proses perubahan iklim yang berjalan semakin cepat. Selain daripada itu dampak-dampak perubahan iklim juga telah dirasakan semakin melebar menyentuh aspek kehidupan masyarakat.

Salah satu dampak yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya masalah perubahan iklim yaitu dalam aspek ekonomi. Perubahan iklim memberikan dampak terhadap perekonomian khususnya dalam hal kemampuan negara dalam men-develop (mengembangkan) diri. 

Hal tersebut merupakan akibat terburuk yang diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Sederhananya dapat dikatakan bahwa ekploitasi berlebihan terhadap lingkungan akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan tersebut, sehingga kedepannya dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang di inginkan suatu negara tidak dapat tercapai.

. Selanjutnya dalam Aspek sosial misalnya perubahan iklim dapat menyebabkan permukaan air laut yang kedepannya bisa menganggu pemukiman masyarakat yang ada di sekitar laut tersebut. 

Selanjutnya dalam aspek ekonomi dampak kenaikan air laut ini akan mempersulit nelayan dalam memperoleh tangkapan ikan. Selain itu dampak perubahan iklim bagi petani akan sulit menentukan jadwal bercocok tanam.

Dalam kesehatan masyarakat dampak perubahan iklim misalnya terjadinya gangguan pernafasan akibat adanya kebakaran hutan dan alih fungsi lahan. Pada pernyataan tersebut ditekankan bahwa perlu adanya antisipasi lebih awal sebelum dampak perubahan iklim menjadi lebih buruk. Hal-hal yang kedepannya berpotensi menggunakan anggaran besar apabila terjadi kondisi buruk perubahan iklim diantaranya pembangunan kembali kampung nelayan yang terkena dampak, kerugian gagal panen para petani, biaya perawatan serta obat-obatan untuk warga yang terkena dampak kabakaran hutan.

Kemunculan isu perubahan iklim ini adalah tantangan bagi seluruh pemerintah dunia dalam mengontrol pembangunan yang telah dilaksanakan selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Sebagai negara yang memiliki banyak pulau serta kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki potensi besar untuk terkena dampak negatif perubahan iklim.

Dalam memerangi perubahan iklim, pemerintah beberapa tahun terakhir semakin gencar dalam mengiternalisasikan nilai-nilai pembangunan berkelanjutan dalam Rencana Kerjanya. Setidaknya ada 5P (People, Prosverity, Planet, Peace and Partnership) yang menjadi konten dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ke-5 poin diatas harus terpenuhi sebagai syarat keberlanjutan pembangunan.

Pemerintah mengambil kebijakan yang cukup populer beberapa tahun terakhir ini yaitu menerbitkan sukuk negara sebagai instrumen pembiayaan defisit APBN dan pembiayaan proyek. 

Sukuk negara dipilih karena memang secara praktik dapat digunakan sebagai pembiayaan proyek pemerintah. Sukuk negara saat ini menjadi salah satu instrumen andalan pemerintah dalam rangka menunjukkan eksistensinya dalam melakukan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu sejak tahun 2018 pemerintah menerbitkan green sukuk.

Penerbitan green sukuk ini juga merupakan bukti nyata pemerintah dalam memerangi perubahan iklim, seperti janjinya dalam forum Paris Agreement (Perjanjian Paris). Green sukuk merupakan instrumen pembiayaan yang mensyaratkan proyek green sebagai underlying asset dalam penerbitannya. 

Jadi sebelum terbit akan ada penilaian dari ahli lingkungan terkait dengan berapa besar dampak pengurangan risiko perubahan iklim yang diakibatkan dari pembangunan proyek tersebut.

Meskipun pemerintah telah mempunyai instrumen keuangan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan belum pantas rasanya pemerintah berpuas diri akan pencapaian yang belum tuntas ini. Pekerjaan berikutnya adalah bagaimana agar tumpukan utang negara akibat penerbitan surat utang yang masif?

Meskipun sebenanya utang bertujuan untuk perbaikan infrastuktur tapi hal tersebut perlu untuk menjadi obyek kekhawatiran bersama, adalah bagaimana jika pemerintah tidak mampu mencapai target pertumbuhan yang diinginkan sedangkan utang sudah terlampau tinggi? hingga tahun 2019 total utang Indonesia hampir mencapai 5.000Triliun.

Pertanyaan sederhananya adalah, akankah green sukuk ini berakhir sebagai instrumen penumpuk utang belaka atau memang jalan terbaik untuk membangun perekonomian Indonesia?

Prestasi Indonesia dalam menerbitkan green sukuk masih belum bisa diapresiasi telalu jauh. Karena senyatanya penerbitan green sukuk ini masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah. Pertama, penerbitan green sukuk Indonesia belum bisa menghimpun mayoritas investor green. Porsi Investor green pada penebritan green sukuk sejauh ini masih 29% sedangkan yang konvensional masih 71%. Masing terpaut jauh, padahal semestinya green sukuk ini mampu menarik minat investor green.

Kedua, penerbitan green sukuk Indonesia masih manargetkan pasar internasional padahal semestinya pasar domestik dimaksimalkan. Pemerintah bisa menerbitkan green sukuk khusus untuk pasar domestik. Penerbitan ini akan membuka peluang masyarakat untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. 

Ketiga, penerbitan green sukuk pertama Indonesia masih menyisakan tanda tanya perihal kemampuan coveraged-nya hanya bisa menjangkau 5 tujuan SDGs yang ada. Padahal dalam SDGs terdapat 17 target ambisisus yang hendak dicapai. Terlepas dari beberapa pekerjaan rumah diatas prestasi yang perlu di apresiasi adalah pemerintah sudah berhasil menjadi perhatian dunia dengan menjadi penerbit green sukuk pertama di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun