Salah satu persoalan yang menjadi perbincangan hangat jagat media sosial dan media masa beberapa hari ini,yakni terkait pemecatan salah satu guru honorer di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Sulawesi Selatan. Ibu Hervina, demikian nama panggilan guru tersebut, dipecat lantaran memposting struk gaji yang hanya sebesar Rp 700.000 di media sosial. Padahal, dia sudah berkarya di sekolah tersebut selama 15 tahun.
Tindakan pemecatan tersebut menuai banyak kritik dari banyak kalangan. Anggota Komisi X DPR, Syaiful Huda misalnya. Syaiful meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar segera membatalkan pemecatan tersebut. Sebab, tindakan pemecatan itu tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mestinya pihak sekolah melakukan musyawarah bersama terlebih dahulu dalam rangka memecahkan masalah yang terjadi. Bukan dengan cara memecat secara sewenang-wenang sebagaimana yang dilakukan oleh kepala sekolah tersebut.
Subjektivitas Kepala Sekolah
Persoalan pemecatan guru honorer di sekolah-sekolah di Indonesia tidak hanya menimpa bu Hervina. Banyak guru honorer di sekolah-sekolah lain selama ini yang barangkali luput dari pantauan media yang juga mengalami nasib serupa. Tindakan pemecatan seperti ini kadang-kadang sangat subjektif. Maksudnya, sangat tergantung pada perasaan pribadi kepala sekola. Bila kepala sekolah tidak suka dengan salah seorang guru, maka ketika guru tersebut melakukan kesalahan tertentu, maka akan dengan mudah dipecat.Â
Hal tersebut justru memicu banyak soal baru. Misalnya, banyak guru honor yang suka membangun pencitraan. Di depan kepala sekolah, mereka berupaya bersikap profesional dalam mendidik peserta didik. Menunjukkan kehebatan-kehebatan pribadi. Memuja-muji kepala sekolah dan hal-hal positif lain yang dibangun secara rapi sehingga kepala sekolah tertarik padanya. Padahal, ketika jauh dari pantauan, mereka justru membicarakan keburukan-keburukan yang dilakukan oleh kepala sekolah tersebut. Itu hal yang amat disayangkan bukan?
Sekelumit Soal
Banyak persoalan yang dialami oleh guru-guru honorer selama ini. Dari sekian banyaknya persolan yang terjadi, penulis hanya menampilkan dua persoalan utamanya. Pertama, upah yang kecil. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak guru honor yang selalu mengeluh karena upah yang diterimanya setiap bulan sangat kecil.
Hal ini dialami oleh hampir semua guru honorer di setiap sekolah di seluruh pelosok tanah air. Kisaran upah yang diterima oleh guru honor, baik di sekolah-sekolah negeri maupun di sekolah-sekolah swasta berbeda, yakni sekitar Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta per bulan.
Belum lagi soal kebijakan-kebijakan pengupahan yang berbeda-beda setiap sekolah. Bahkan ada sekolah-sekolah di daerah yang memberikan upah sekali dalam 3 bulan. Karenanya, banyak yang terpaksa meminjam uang ke tetangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu ini amat sangat disayangkan.
Padahal, lamanya waktu mengajar antara guru honorer dengan guru PNS kurang lebih sama. Demikian juga secara kualitas. Tak ada yang bisa menjamin bahwa guru-guru PNS jauh lebih berkualitas daripada guru-guru honor. Pun guru-guru honor yang mengabdi di kota belum tentu lebih berkualiti ketimbang guru-guru honor yang berkarya di daerah.