Mohon tunggu...
suherman agustinus
suherman agustinus Mohon Tunggu... Guru - Dum Spiro Spero

Menulis sama dengan merawat nalar. Dengan menulis nalar anda akan tetap bekerja maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekerasan di Sekolah, Salah Siapa?

9 Maret 2020   16:37 Diperbarui: 9 Maret 2020   16:39 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini kita disuguhkan oleh banyak berita kekerasan. Baik kekerasan di dalam rumah tangga maupun kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Sebagai masyarakat sebangsa dan setanah air, kita tentu saja menolak segala bentuk tindak kekerasan karena mencederai hak asasi seseorang (korban). 

Dalam tulisan ini, penulis fokus pada tindakan kekerasan di sekolah. Namun, sebelum itu, penulis perlu menceritakan sekilas pengalaman masa lalu kepada pembaca. 

Ketika saya masih berada di bangku pendidikan dasar (SD),  saya kerapkali ditampar dan bahkan ditendang oleh bapa/ibu guru lantaran melakukan pelanggaran tertentu. Misalnya telat datang  sekolah, brantem dengan teman, tidak kosentrasi dalam proses belajar, dll. 

Setelah menerima tindakan kekerasan tersebut, saya tidak melaporkannya kepada orang tua. Sebab, kalau dilapor---bukannya orang tua membela---tapi malah ditampar lagi, parah bukan? Namun, saya juga sadar bahwa reward and punisment adalah salah metode yang dipakai oleh guru dalam mendidik.

Pengalaman penulis di atas, sangat berbeda dengan anak-anak jaman sekarang. Anak didik sekarang suka memberitahukan kepada orang tua segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekolah. 

Apalagi kalau terjadi tindakan kekerasan. Jangankan dipukul, dibentak saja sama guru langsung diinformasikan kepada orang tua. Persoalannya, kadang orang tua menelan secara mentah laporan yang dinarasikan oleh anaknya.

Fakta di atas tentu saja mempengaruhi mental dan karakter anak. Dampak lanjutannya, anak-anak bisa saja melakukan pelanggaran serupa, sebab di dalam benaknya terbersit pikiran bahwa dia akan selalu dibela sama orang tua manakala diberi sanksi sama gurunya.  

Padahal, sanksi itu wajib diberikan oleh guru dalam rangka membentuk karakter peserta didik. Sehingga ketika mereka sudah menyelesaikan pendidikan dan terjun ke dalam lingkungan masyarakat, mereka dapat menjadi generasi yang berkualitas.

Mengapa Guru Melakukan Tindakan Kekerasan?

Bapak/ibu guru adalah manusia biasa yang tak luput dari kejahatan. Mereka memiliki kesabaran yang tinggi, kendati ada pula yang temperamen dan emosinal. Oleh sebab itu, peserta didik perlu mengenal karakter gurunya. Kalau guru memberikan peringatan, anak didik mestinya berpikir dua kali sebelum mengulangi kesalahan yang sama. 

Sebab, kadang-kadang tindakan kekerasan terjadi karena guru tersebut tak dapat mengendalikan emosi saat mengajar, atau mungkin juga karena kesel melihat anak-anak yang telat ke sekolah. 

Untuk itu,  kita perlu berkaca pada kekerasan yang dilakukan oleh guru yang juga adalah wakil kepala sekolah di SMAN 12 Bekasi pada 11 Februari yang lalu. Pada saat itu, siswa yang berinisial RF dipukul oleh gurunya di lapangan karena telat dan tidak memakai ikat pinggang. Masalah ini berujung pada pencopotan pelaku (guru) dari sekolah.

Melihat masalah di atas, kita pasti marah pada guru tersebut. Lagi pula, masih ada hukuman lain yang dapat memberikan efek jerah terhadap peserta didik. Misalnya berlutut selama satu jam pelajaran, menghormati bendera di bawah terik matahari, membersihkan sampah di lingkungan sekolah, berlutut selama satu jam pelajaran dan masih ada hukuman lain yang dapat dipraktikan. 

Hukuman seperti itulah yang sering penulis praktikan di sekolah. Efeknya sangat jelas, siswa tak berani melakukan pelanggaran selama berlangsungnya Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Perlu disadari juga bahwa tindakan kekerasan terhadap peserta didik tidak menjamin bahwa anak itu akan berubah. Mungkin saja kekerasan itu membuat anak didik semakin apatis dan "kepala batu".

Cara Menanggulangi Kekerasan
Ada banyak cara menanggulangi  tindakan kekerasan di lingkungan sekolah. Misalnya menciptakan aturan khusus terhadap pelaku kekerasan. Siapapun yang melakukan keekerasan, baik siswa maupun murid langsung dikeluarkan dari sekolah. 

Aturan ini mesti dibuat dan harus konsisten. Maksudnya, tak perlu banyak pertimbangan kalau terjadi kekerasan di sekolah. Kedua, menciptakan rasa aman. Bapa/ibu guru perlu menciptakan rasa aman di lingkungan sekolah. Artinya, bapak/ibu guru perlu mengawasi pergaulan siswa, baik di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah. 

Di samping itu, sebagai orang tua, perlu mengetahui seluruh peraturan sekolah. Sehingga ketika ada siswa yang melakukan pelanggaran tertentu. Orang tidak main hakim sendiri, agar tidak terulang lagi  lagi masalah seperti yang terjadi di SMAN 10 Tanjung Barat, Jambi, dimana Seorang wali murid membawa pistol dan menganiaya kepala sekolah. Lantas, kita bertanya siapa yang bersalah atas semua kekerasan di sekolah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun