Jelang Pemilu 2024, ramai-ramai membahas tentang Presidential Threshold (PT). Bahkan ada beberapa pihak yang melayangkan uji materi ke Mahkamah Kontitusi (MK) meminta ketentuan PT itu dihapus.
Menurut catatan hingga tahun 2021, uji materi tentang PT ini telah 13 kali diajukan ke MK dan selama itu pula MK menolaknya. MK beralasan bahwa kebijakan PT merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang dapat dirumuskan oleh presiden dan DPR.
Lalu apa itu presidential threshold? Secara sederhana, presidential threshold adalah ambang batas kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara partai politik untuk mencalonkan presiden.
Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2027 Tentang Pemilu menyebutkan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya.
Harus disadari memang, ambang batas yang telalu tinggi seperti saat ini membuat oligarki partai politik semakin tinggi, dapat memangkas jumlah calon sehingha yang muncul calon "itu-itu" saja, dan terjadinya polarisasi atau pembelahan politik yang begitu tajam. Ditambah besarnya biaya politik yang dikeluarkan oleh calon yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang disampaikan Ketua KPK RI.
Memang tidak ada yang ideal, argumentasi-argumentasi diatas apapun sistemnya yang namanya politik kekuasaan. Polarisasi politik, politik transaksional, oligarki politik itu pasti terjadi. Sebab argumentasi dasar politik adalah kepentingan. Semua orang punya kepentingan meraih kekuasaan. Namun setidaknya dengan mendesain suatu sistem, dapat meminimalisir terjadinya hal-hal diatas.
Harus disadari bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk dan pemilih yang besar. Dengan alasan itu, seharusnya dibuka ruang yang luas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi calon Presiden dan Calon Wakil Presiden namun tetap dengan syarat. Syaratnya itu, dengan membatasinya melalui PT.
Namun demikian, PT hingga 0% juga tidak rasional dan proporsional. Ambang batas yang terlalu terbuka dan "vulgar" seperti ini, memberi peluang partai politik untuk "mencomot" siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi calon tanpa diketahui tanpa melihat latar belakang dan kapasitasnya oleh masyarakat.
Lalu apa solusinya? Menurut saya, jalan tengahnya adalah dengan menurunkan angka PT dengan tidak menghapusnya sama sekali atau menjadi 0%.
Jika sekarang ambang batas 20% diturunkan menjadi 10% dari jumlah kursi DPR dan 15% dari jumlah suara sah nasional. Dengan demikian, dapat mengurangi oligarki, polarisasi politik yang tajam dan meminimalisir potensi terjadinya korupsi. Pada satu sisi calon-calon yang muncul juga bisa dibatasi.