Mohon tunggu...
Suherman
Suherman Mohon Tunggu... Lainnya - Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Rakyat Biasa yang Hobi Membaca dan Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Siapa yang Sekolah? Ketika Anak yang Belajar Orang Tua Jadi "Peserta Didik Bayangan"

20 Desember 2024   10:39 Diperbarui: 20 Desember 2024   14:03 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik pintu kelas yang tertutup rapat, ada cerita yang jarang diangkat ke permukaan: sekolah yang seharusnya menjadi tempat anak-anak belajar justru kerap membuat orang tua seolah ikut menjalani "masa sekolah" lagi. Fenomena ini menarik, tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar. Siapa sebenarnya yang sedang menuntut ilmu di sini? Anak atau orang tua?

Mari kita mulai dengan contoh sederhana: tugas prakarya. Dalam banyak kasus, tugas ini awalnya terdengar menyenangkan. Anak-anak diminta membuat kerajinan tangan, entah dari kardus bekas, kain flanel, atau bahkan bahan-bahan alam. Namun, kenyataannya? Orang tua kerap harus turun tangan.

"Ayah, aku nggak bisa bikin ini."
Kalimat sederhana ini sering kali menjadi pintu masuk bagi orang tua untuk terjun langsung. Mereka mengambil alih tugas, membentuk pola, mengelem potongan, bahkan hingga menyelesaikan seluruh karya. Anak, yang seharusnya menjadi kreator, hanya berdiri di samping, mengamati, atau malah sibuk bermain gawai. Sementara itu, orang tua berkeringat, sibuk mewujudkan instruksi dari guru yang mungkin tanpa sadar telah melibatkan mereka lebih dari yang seharusnya.

Tidak berhenti di situ. Ada fenomena lain yang bahkan lebih mengkhawatirkan: pekerjaan rumah (PR). Seorang teman pernah bercerita tentang anaknya yang duduk di kelas 4 SD. Sang anak membawa pulang PR matematika, dan, setelah membacanya, dia berkata, "Bu, aku nggak ngerti. Tolong ajarin." Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, ia mencoba membantu, tetapi ternyata materi yang diberikan sudah setingkat dengan kelas 1 SMP. Akhirnya, bukan si anak yang belajar, melainkan ibunya yang terpaksa mencari tahu. Ia membuka YouTube, mencari buku referensi, bahkan bertanya pada teman-temannya di grup WhatsApp. Lagi-lagi, siapa yang sebenarnya "bersekolah" di sini?

Ironisnya, ada pola yang mulai terlihat. Anak-anak yang tidak memiliki orang tua yang terampil, berpendidikan tinggi, atau punya banyak waktu sering kali tertinggal. Dalam kasus tugas prakarya, anak yang orang tuanya sibuk atau tidak memiliki keterampilan tertentu bisa jadi hanya menyerahkan hasil seadanya. Sementara itu, anak-anak dari keluarga yang "melek tugas" akan membawa hasil yang menakjubkan---bukan karena usaha anak, tetapi karena kemampuan orang tua mereka.

Ini adalah bentuk ketidakadilan yang jarang disorot dalam dunia pendidikan. Apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab anak untuk belajar dan berkembang, menjadi "beban tambahan" bagi orang tua. Tidak semua orang tua memiliki latar belakang pendidikan atau keahlian yang memadai untuk memenuhi tuntutan ini. Lebih dari itu, tidak semua orang tua memiliki waktu luang untuk ikut "sekolah" lagi bersama anak-anak mereka.

Masalah ini menimbulkan beberapa pertanyaan fundamental. Pertama, apa tujuan pendidikan? Jika jawabannya adalah membentuk anak-anak yang mandiri, kreatif, dan mampu berpikir kritis, maka tugas-tugas yang justru melibatkan orang tua secara dominan perlu dievaluasi. Kedua, apakah sistem pendidikan kita terlalu bergantung pada peran orang tua dalam mendampingi anak? Jika demikian, apa yang terjadi pada anak-anak dari keluarga dengan keterbatasan sumber daya?

Sebagian pendidik mungkin berargumen bahwa tugas-tugas ini dirancang untuk mempererat hubungan antara orang tua dan anak. Namun, apakah hubungan itu benar-benar terbangun jika yang terjadi adalah dominasi orang tua dalam pengerjaan tugas? Anak-anak, bukannya merasa tertantang atau terinspirasi, justru belajar untuk menyerahkan tanggung jawab mereka kepada orang dewasa.

Tidak adil rasanya menimpakan seluruh kesalahan pada guru. Dalam banyak kasus, guru juga terjebak dalam sistem yang menuntut mereka untuk menilai berdasarkan hasil, bukan proses. Dalam keterbatasan waktu dan sumber daya, mereka sering kali tidak memiliki pilihan selain memberikan tugas yang "mengundang" keterlibatan orang tua. Namun, ini adalah persoalan sistemik yang membutuhkan refleksi mendalam.

Lalu, apa solusinya? Pendidikan perlu kembali ke inti: membangun kemampuan anak sesuai dengan tingkat perkembangan mereka. Tugas yang diberikan harus realistis dan menantang, tetapi tetap bisa dikerjakan secara mandiri oleh siswa. Selain itu, sekolah perlu menyediakan dukungan tambahan bagi anak-anak yang kesulitan, sehingga mereka tidak harus selalu bergantung pada orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun