Filsuf Martin Heidegger memperkenalkan gagasan being-in-the-world, yang menekankan bahwa keberadaan manusia selalu terhubung dengan dunia di sekitarnya. Namun, ketika hubungan itu terasa kosong, kita berada dalam kondisi thrownness-seolah dilemparkan ke dunia tanpa pegangan.
Namun, dari kekosongan itu, ada peluang untuk menciptakan makna baru. Kebahagiaan yang sunyi mungkin menjadi cerminan bahwa kita belum menemukan tempat untuk berbagi cerita, bukan karena kebahagiaan itu kurang, melainkan karena waktu berbagi belum tiba.
Kebahagiaan sebagai Perjalanan, Bukan Tujuan
Puncak kesedihan adalah ketika kebahagiaan tidak memiliki ruang untuk dibagikan. Namun, kebahagiaan juga adalah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia mengajarkan kita untuk menghargai momen apa adanya, tanpa tergesa-gesa menjadikannya cerita untuk orang lain.
Mungkin, suatu hari, kita akan bertemu seseorang yang tepat untuk mendengarkan cerita kita. Tetapi sampai saat itu tiba, kebahagiaan tetap layak dirayakan, meski hanya oleh diri kita sendiri. Sebab, pada akhirnya, kebahagiaan yang tidak tergantung pada respons orang lain adalah bentuk kebahagiaan yang paling mandiri dan murni.
Dan ketika hari itu datang, di mana kebahagiaan menjadi cerita yang hidup di antara kita dan orang lain, kita akan sadar bahwa sunyi pun telah mengajarkan banyak hal. Bahwa kebahagiaan, sebagaimana hidup, adalah perjalanan menemukan makna-bersama, atau sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H