Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Romantisme Orgasme Pemikiran di Kalangan Anak Filsafat

10 Desember 2024   16:07 Diperbarui: 10 Desember 2024   16:07 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dua orang sedang berdiskusi (Pexels/Jopwell)

Di antara diskusi larut malam yang diselimuti asap rokok dan secangkir kopi Kapal Api yang mulai dingin, para mahasiswa filsafat sering kali menemukan momen yang begitu mendalam sehingga dunia seakan berhenti sejenak. Itulah yang mereka sebut orgasme pemikiran. Istilah yang terdengar nyeleneh ini sebenarnya melambangkan momen euforia intelektual---sebuah titik di mana ide, konsep, dan argumen yang bertabrakan tiba-tiba mencapai harmoni sempurna.

Orgasme pemikiran bukan sekadar kesenangan intelektual. Ia adalah perayaan akan keindahan berpikir, sebuah bentuk romantisme yang sering kali hanya dipahami oleh mereka yang memilih hidup di jalur filsafat.

Euforia dalam Kerumitan

Bagi anak-anak filsafat, kompleksitas adalah tantangan yang memabukkan. Mereka tidak takut tenggelam dalam labirin pemikiran Nietzsche, Derrida, atau Simone de Beauvoir. Sebaliknya, mereka menikmatinya. Setiap argumen yang dibongkar, setiap kontradiksi yang ditemukan, memberikan sensasi unik---sebuah keasyikan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Namun, orgasme pemikiran tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari proses panjang: membaca, berdiskusi, dan merenungkan. Ketika sebuah ide yang tampaknya abstrak tiba-tiba menjadi jelas, atau ketika dua pemikiran yang tampak bertentangan menemukan titik temu, di situlah letupan intelektual terjadi.

Romantisme dalam Diskusi

Ruang diskusi menjadi panggung utama bagi para filsuf muda ini. Berbekal argumen dan kutipan dari tokoh besar, mereka saling bertukar gagasan, berdebat, hingga larut malam. Suasana diskusi ini sering kali terasa seperti tari-tarian ide---kadang lembut, kadang sengit, tetapi selalu memukau.

Di momen-momen seperti ini, mereka tidak hanya belajar untuk berpikir kritis tetapi juga menemukan keindahan dalam perbedaan. Bahkan ketika diskusi memanas, ada rasa saling menghargai, sebuah kesadaran bahwa setiap pemikiran, betapapun berbedanya, memiliki nilai.

Kegelisahan yang Menyulut Api

Namun, romantisme ini juga lahir dari kegelisahan. Anak-anak filsafat sering kali merasa tidak puas dengan jawaban sederhana. Mereka terus bertanya, menggali lebih dalam, bahkan ketika itu berarti menghadapi ketidakpastian.

Kegelisahan ini adalah api yang menyulut orgasme pemikiran. Ia mendorong mereka untuk melampaui batas-batas pemahaman, untuk terus mencari kebenaran, meskipun tahu bahwa kebenaran sejati mungkin tidak pernah benar-benar ditemukan.

Ketika Pemikiran Menjadi Seni

Bagi para filsuf muda, berpikir adalah seni. Setiap argumen adalah sapuan kuas, setiap gagasan adalah warna, dan diskusi adalah kanvas tempat semuanya bersatu. Orgasme pemikiran adalah puncak dari seni ini---sebuah momen di mana segalanya terasa selaras, indah, dan bermakna.

Meskipun momen ini sering kali singkat, ia meninggalkan jejak yang mendalam. Ia mengingatkan mereka mengapa mereka memilih jalur ini, mengapa mereka terus berpikir, bertanya, dan mencari.

Melampaui Romantisme

Namun, seperti halnya segala sesuatu, orgasme pemikiran tidak selalu cukup. Ada saat-saat di mana diskusi berubah menjadi sekadar ajang pamer intelektual, atau di mana romantisme ini mulai terasa hampa.

Di sinilah pentingnya refleksi. Anak-anak filsafat perlu mengingat bahwa tujuan berpikir bukanlah untuk mencapai orgasme pemikiran semata, tetapi untuk memahami dunia, diri sendiri, dan orang lain dengan lebih baik.

Romantisme orgasme pemikiran adalah keindahan yang unik, sebuah pengalaman yang mungkin hanya dipahami oleh mereka yang terbiasa berenang di samudra ide. Tetapi di balik itu semua, ia juga mengingatkan kita bahwa berpikir adalah perjalanan, bukan tujuan. Dan dalam perjalanan itulah, keindahan sejati ditemukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun