Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Perasaan Hanya Sebuah Ilusi dan Menjadi Pendengar Tanpa Pendengar

1 Desember 2024   18:46 Diperbarui: 1 Desember 2024   19:11 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kalian merasa bahwa apa yang kalian rasakan selama ini hanyalah ilusi? Sebuah ciptaan pikiran yang terlalu sibuk mencari makna di antara kerumitan hidup? Kadang, kita terjebak di ruang kosong dalam kepala kita sendiri, bertanya-tanya apakah semua ini nyata atau hanya permainan perasaan yang tak kunjung usai. Di sisi lain, mungkin kalian pernah menjadi pendengar setia untuk orang-orang di sekitar, menjadi tempat mereka berlabuh. Tapi saat kalian butuh bercerita, tak tahu harus ke mana.

Ada sesuatu yang ironi dalam posisi itu---menjadi penyimpan rahasia orang lain, tapi tidak punya tempat untuk melepaskan beban sendiri. Kita sering kali merasa tanggung jawab menjadi pendengar adalah bagian dari diri kita, bahwa membantu orang lain lebih penting daripada mencari ruang untuk diri sendiri. Tapi di saat yang sama, rasa sepi itu menggantung. Sebuah rasa sepi yang tidak selalu hadir karena kesendirian fisik, tapi lebih kepada perasaan tidak punya tempat untuk berbagi.

Apakah Semua Ini Nyata?

Kadang, perasaan kita sendiri mulai terasa seperti ilusi. Ada masa-masa di mana kita mempertanyakan segalanya. Apakah kebahagiaan yang kita rasakan benar-benar tulus? Atau hanya dibuat-buat untuk menutupi kesedihan? Apakah rasa sakit ini nyata? Atau hanya cara otak kita menciptakan drama agar hidup terasa lebih menarik?

Overthinking sering kali menjadi teman setia di tengah malam. Pikiran-pikiran itu datang, memaksa kita merenungkan hal-hal yang bahkan tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Bagaimana jika semua emosi yang kita alami hanya refleksi dari ekspektasi sosial? Bagaimana jika apa yang kita anggap cinta hanya keterikatan emosional yang rapuh? Di titik ini, semua yang kita anggap nyata menjadi kabur.

Dan ironisnya, kita terjebak pada ilusi pikiran kita sendiri, tanpa pernah berani untuk melangkah mengubah segalanya. Kita hanya terus berputar di labirin ketakutan dan keraguan, mengulang pola yang sama tanpa tahu bagaimana keluar darinya.

Menjadi Pendengar, Tapi Tak Punya Pendengar

Kemudian ada peran kita sebagai pendengar. Ada banyak dari kita yang tumbuh menjadi seseorang yang selalu siap menjadi bahu untuk orang lain bersandar. Kita mendengarkan cerita, keluh kesah, bahkan rahasia terdalam orang-orang terdekat kita. Kita ada di sana saat mereka merasa hancur, memberi mereka dorongan untuk bangkit lagi.

Tapi siapa yang akan mendengar cerita kita? Di mana tempat kita bersandar ketika semua beban terasa terlalu berat? Sering kali, kita merasa tidak ada yang benar-benar peduli. Atau mungkin, kita terlalu takut membuka diri. Kita takut menjadi rentan, takut terlihat lemah di mata orang lain.

Akhirnya, kita menyimpan semuanya sendiri. Kita belajar menelan rasa sakit, menguburnya jauh di dalam hati, berharap waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi waktu tidak pernah benar-benar menyembuhkan, bukan? Ia hanya mengajarkan kita bagaimana hidup dengan luka yang ada.

Berbicara dengan Diri Sendiri

Di tengah semua kebingungan itu, mungkin solusi terbaik bukanlah mencari orang lain untuk mendengar cerita kita. Mungkin jawabannya adalah belajar mendengar diri sendiri. Sebab, bagaimana kita bisa berharap orang lain memahami apa yang kita rasakan, jika kita sendiri tidak benar-benar mengerti?

Mendengar diri sendiri adalah proses yang sulit. Itu berarti kita harus berani menghadapi semua rasa sakit yang selama ini kita hindari. Kita harus jujur pada diri sendiri tentang apa yang sebenarnya kita rasakan, tanpa mencoba menutupinya dengan alasan atau pembenaran.

Mungkin kalian merasa kesepian, dan itu tidak apa-apa. Mungkin kalian merasa marah, sedih, atau kecewa, dan itu juga tidak apa-apa. Yang penting adalah memberikan ruang bagi diri sendiri untuk merasakan semua emosi itu. Tidak perlu terburu-buru untuk "sembuh" atau "baik-baik saja." Kadang, yang kita butuhkan hanyalah waktu untuk berdamai dengan apa yang ada di dalam hati kita.

Apa yang Membuat Hidup Nyata?

Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah perasaan kita nyata atau hanya ilusi mungkin tidak pernah benar-benar terjawab. Tapi mungkin, itu juga bukan hal yang paling penting. Yang lebih penting adalah bagaimana kita memilih untuk menjalani hidup dengan segala kerumitannya.

Hidup bukan tentang mencari kepastian, tapi tentang belajar menerima ketidakpastian. Begitu juga dengan perasaan kita. Mereka mungkin tidak selalu masuk akal, tapi mereka adalah bagian dari diri kita. Mereka adalah apa yang membuat kita manusia.

Namun, keberanian untuk melangkah adalah hal yang membedakan antara mereka yang terus terjebak dalam ilusi dan mereka yang akhirnya menemukan makna di baliknya. Meskipun langkah kecil terasa berat, itu adalah bentuk perlawanan terhadap ilusi pikiran yang membelenggu kita.

Dan meskipun kita tidak selalu punya orang untuk mendengar cerita kita, itu tidak berarti kita sendirian. Kadang, keberanian untuk menghadapi diri sendiri adalah bentuk cinta terbesar yang bisa kita berikan pada diri kita.

Jadi, jika kalian merasa terjebak dalam ilusi perasaan, atau merasa kesepian sebagai pendengar setia, ingatlah bahwa itu semua adalah bagian dari perjalanan. Tidak ada jalan yang sempurna, dan itu tidak apa-apa. Karena di balik semua keraguan, ada satu hal yang pasti---kita selalu punya diri kita sendiri untuk diandalkan.

Dan itu, pada akhirnya, mungkin adalah kenyataan yang paling nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun