Pernahkah kalian merasa bahwa apa yang kalian rasakan selama ini hanyalah ilusi? Sebuah ciptaan pikiran yang terlalu sibuk mencari makna di antara kerumitan hidup? Kadang, kita terjebak di ruang kosong dalam kepala kita sendiri, bertanya-tanya apakah semua ini nyata atau hanya permainan perasaan yang tak kunjung usai. Di sisi lain, mungkin kalian pernah menjadi pendengar setia untuk orang-orang di sekitar, menjadi tempat mereka berlabuh. Tapi saat kalian butuh bercerita, tak tahu harus ke mana.
Ada sesuatu yang ironi dalam posisi itu---menjadi penyimpan rahasia orang lain, tapi tidak punya tempat untuk melepaskan beban sendiri. Kita sering kali merasa tanggung jawab menjadi pendengar adalah bagian dari diri kita, bahwa membantu orang lain lebih penting daripada mencari ruang untuk diri sendiri. Tapi di saat yang sama, rasa sepi itu menggantung. Sebuah rasa sepi yang tidak selalu hadir karena kesendirian fisik, tapi lebih kepada perasaan tidak punya tempat untuk berbagi.
Apakah Semua Ini Nyata?
Kadang, perasaan kita sendiri mulai terasa seperti ilusi. Ada masa-masa di mana kita mempertanyakan segalanya. Apakah kebahagiaan yang kita rasakan benar-benar tulus? Atau hanya dibuat-buat untuk menutupi kesedihan? Apakah rasa sakit ini nyata? Atau hanya cara otak kita menciptakan drama agar hidup terasa lebih menarik?
Overthinking sering kali menjadi teman setia di tengah malam. Pikiran-pikiran itu datang, memaksa kita merenungkan hal-hal yang bahkan tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Bagaimana jika semua emosi yang kita alami hanya refleksi dari ekspektasi sosial? Bagaimana jika apa yang kita anggap cinta hanya keterikatan emosional yang rapuh? Di titik ini, semua yang kita anggap nyata menjadi kabur.
Dan ironisnya, kita terjebak pada ilusi pikiran kita sendiri, tanpa pernah berani untuk melangkah mengubah segalanya. Kita hanya terus berputar di labirin ketakutan dan keraguan, mengulang pola yang sama tanpa tahu bagaimana keluar darinya.
Menjadi Pendengar, Tapi Tak Punya Pendengar
Kemudian ada peran kita sebagai pendengar. Ada banyak dari kita yang tumbuh menjadi seseorang yang selalu siap menjadi bahu untuk orang lain bersandar. Kita mendengarkan cerita, keluh kesah, bahkan rahasia terdalam orang-orang terdekat kita. Kita ada di sana saat mereka merasa hancur, memberi mereka dorongan untuk bangkit lagi.
Tapi siapa yang akan mendengar cerita kita? Di mana tempat kita bersandar ketika semua beban terasa terlalu berat? Sering kali, kita merasa tidak ada yang benar-benar peduli. Atau mungkin, kita terlalu takut membuka diri. Kita takut menjadi rentan, takut terlihat lemah di mata orang lain.
Akhirnya, kita menyimpan semuanya sendiri. Kita belajar menelan rasa sakit, menguburnya jauh di dalam hati, berharap waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi waktu tidak pernah benar-benar menyembuhkan, bukan? Ia hanya mengajarkan kita bagaimana hidup dengan luka yang ada.