Guru paham bahwa mereka harus tetap menjadi figur dewasa yang memberikan contoh baik, tetapi harga dari sikap itu adalah mengorbankan perasaan mereka sendiri.
Lantas, siapa yang bertanggung jawab ketika mental guru rusak akibat perilaku anak didiknya? Sekolah sering kali tak memiliki sistem yang cukup untuk mendukung kesehatan mental para guru.Â
Bimbingan konseling atau dukungan psikologis lebih banyak difokuskan pada siswa, sementara para guru dibiarkan mengandalkan diri sendiri dan sesama rekan kerja.Â
Pada banyak tempat, pembahasan tentang kesejahteraan mental guru masih menjadi topik yang jarang diangkat. Seolah-olah, mengakui bahwa guru pun rentan adalah sebuah tanda kelemahan yang tabu.
Satu peristiwa nyata bisa menggambarkan hal ini. Bayangkan seorang guru muda yang baru dua tahun mengajar. Dia memulai harinya dengan semangat, percaya bahwa setiap anak memiliki potensi.Â
Namun, hari itu dia menghadapi kelas yang penuh dengan siswa yang sedang sulit dikendalikan. Salah satu siswa bahkan mengucapkan kata-kata kasar yang menyentuh harga diri sang guru.Â
Meski mencoba tetap profesional, sang guru pulang dengan hati yang penuh luka. Ia duduk di rumah, merenungkan apa yang salah, bertanya-tanya apakah ia cukup baik untuk pekerjaan ini.
Dukungan mental yang dibutuhkan guru sering kali terabaikan dalam hiruk-pikuk dunia pendidikan yang terus berputar. Orang tua berharap guru menjadi pendidik sekaligus pelindung mental anak-anak mereka.Â
Masyarakat berharap guru menjadi teladan sempurna tanpa cela. Namun, realitas menunjukkan bahwa guru pun memerlukan perlindungan, pemahaman, dan dukungan.Â
Jika tidak, pendidikan yang baik akan terancam oleh guru-guru yang kelelahan dan hilang motivasi, tidak karena kurangnya dedikasi, tetapi karena tak ada yang menjaga mereka saat mereka jatuh.
Akhirnya, jawaban tentang siapa yang bertanggung jawab atas kesehatan mental guru harus menjadi refleksi bersama. Apakah sekolah perlu membuat kebijakan yang lebih inklusif terhadap kesejahteraan guru?Â