Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup Ini Memang Keras: Menghadapinya dengan Stoisisme dan Amor Fati

2 November 2024   19:14 Diperbarui: 2 November 2024   21:09 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi City Light (Pexels/Patricia Lazaro)

Di zaman serba cepat ini, hidup memang terasa makin keras. Pekerjaan, hubungan, tanggung jawab, dan segala harapan yang tak jarang terasa seperti tekanan tiada henti membuat banyak orang merasa terjebak dalam pusaran yang sulit untuk disinggahi. Tapi, kalau hidup memang sudah keras, bukankah kita malah bisa belajar menikmatinya dengan keteguhan hati? Seperti batu karang yang dihantam ombak tanpa bergeming, kita bisa berlatih menerima semuanya dengan lebih tenang. Dan di situlah stoisisme dan amor fati bisa menjadi kunci.

Stoisisme: Menerima Apa yang Tak Bisa Diubah

Dalam filosofi Stoisisme, kita diajarkan untuk menerima apa yang ada di luar kendali kita. Para filsuf Stoa seperti Marcus Aurelius atau Epictetus mengingatkan kita bahwa manusia tidak bisa mengendalikan semua hal. Hidup penuh dengan ketidakpastian dan masalah, dari sekadar cuaca yang buruk hingga peristiwa besar yang mengubah arah hidup kita. Namun, daripada meronta atau menyesali keadaan, Stoisisme mengajak kita untuk menerima dan fokus pada hal yang bisa kita kendalikan: bagaimana kita meresponsnya.

Ketika hidup menjadi keras, stoisisme memberi ruang bagi kita untuk tidak mudah larut dalam kekacauan emosi. Kita mungkin sedang dihadapkan pada hal-hal yang mengecewakan, seperti kegagalan atau penolakan. Dalam filosofi ini, kegagalan bukan akhir dari segalanya, tetapi bagian dari proses hidup yang tak terhindarkan. Tidak ada gunanya melawan apa yang sudah terjadi, tetapi kita bisa memilih untuk melangkah dengan kepala tegak, belajar dari pengalaman, dan menghadapi esok hari dengan lebih tegar.

Amor Fati: Mencintai Takdir

Selain menerima, ada satu langkah lagi yang bisa membawa kita pada kedamaian: mencintai apa yang telah terjadi, atau amor fati. Nietzsche menyebut amor fati sebagai "cinta terhadap takdir." Bukan hanya menerima hal-hal yang tak bisa kita ubah, tetapi merangkulnya dengan sepenuh hati. Dengan mempraktikkan amor fati, kita diajak melihat setiap tantangan sebagai hal yang bermakna, bahkan ketika hal tersebut tampak tidak menyenangkan.

Amor fati adalah konsep radikal karena mengubah cara kita melihat hidup. Jika stoisisme mengajarkan kita untuk tidak mengeluh atas keadaan yang buruk, amor fati mengajak kita untuk merayakannya. Misalnya, saat kita mengalami kesulitan finansial, kita bisa saja merasa marah atau frustrasi. Namun, dengan amor fati, kita justru menghargai pengalaman itu sebagai pelajaran, sebagai kesempatan untuk melihat hal-hal dari sudut pandang yang berbeda, dan menjadi lebih kuat.

Menciptakan Kebahagiaan di Tengah Kesulitan

Menggabungkan stoisisme dan amor fati bisa membantu kita melihat kerasnya hidup sebagai kesempatan untuk bertumbuh. Kita tidak hanya berdiam diri dan pasrah, tapi berusaha menemukan sisi baik dari setiap kejadian. Ketika kehilangan sesuatu, kita belajar melepaskan; saat gagal, kita belajar bersabar; dan saat kecewa, kita belajar tidak bergantung pada ekspektasi. Ini bukan berarti kita menjadi dingin atau tak peduli, tetapi justru sebaliknya, kita menjadi lebih damai.

Melalui stoisisme dan amor fati, hidup yang keras ini bisa menjadi latihan terus-menerus untuk melatih ketenangan. Dan di tengah kekerasan hidup, siapa yang tidak ingin menemukan ketenangan itu? Bukankah lebih baik menerima dan merangkul apa pun yang terjadi, daripada mengeluh tanpa henti?

Jadi, daripada menganggap hidup ini hanya sebagai beban, kita bisa memilih untuk menikmatinya dengan keberanian. Setiap masalah bisa menjadi latihan bagi kita untuk menjadi lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih memahami diri sendiri. Stoisisme mengajarkan kita menerima tanpa syarat, dan amor fati mengajarkan kita merangkul dengan cinta. Keduanya mengingatkan kita bahwa kehidupan bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal menerima dan mencintai apa pun yang terjadi.

Di dunia yang keras ini, mungkin itu yang kita butuhkan: keberanian untuk mencintai hidup apa adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun