Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Dewana Cinta: Sebuah Cerita

29 September 2024   08:30 Diperbarui: 29 September 2024   08:38 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ruang Kelas (Pixabay/Wokandapix)

Di sebuah kelas yang sunyi di kampus, Awan duduk dengan tenang di barisan belakang, menatap papan tulis di depan. Mata kuliah yang sedang berlangsung adalah Filsafat Barat, salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa humaniora. Topiknya tentang eksistensialisme, tentang pemikiran Sartre dan Nietzsche, tentang kebebasan, makna hidup, dan absurditas. Namun, perhatian Awan tidak sepenuhnya tertuju pada materi yang disampaikan dosen. Perhatiannya, sejak hari pertama kelas ini, tertuju pada seorang mahasiswi yang duduk di barisan tengah---Rina.

Pertemuan pertama mereka terjadi di awal semester, ketika Awan baru saja memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk yang sepi di sudut ruangan. Saat itu, ia melihat Rina duduk dengan postur tegak, mendengarkan dosen yang sedang menjelaskan filsafat Plato. Ada sesuatu yang berbeda dalam sorot mata Rina, seolah ia benar-benar menyerap setiap kata yang keluar dari mulut dosen. Wajahnya terlihat tenang, namun penuh perhatian, dan Awan langsung merasa tertarik.

Minggu demi minggu berlalu, dan Awan semakin sering memperhatikan Rina. Dia tidak bisa menghilangkan pandangan tentang betapa anggun dan cerdasnya gadis itu, meskipun mereka belum pernah berbicara. Di tengah pembahasan tentang makna hidup, kebebasan, dan takdir, Awan justru terjebak dalam pikirannya sendiri, memikirkan bagaimana rasanya berbicara dengan Rina. Namun, sebagai orang yang pendiam dan lebih sering mengekspresikan diri lewat puisi, Awan selalu ragu untuk menyapa.

Sampai pada suatu hari, saat kelas berakhir dan semua mahasiswa mulai beranjak, Rina tanpa sengaja menjatuhkan buku catatannya. Awan, yang duduk tak jauh darinya, segera bangkit dan mengambil buku itu sebelum Rina menyadarinya.

"Ini bukumu," kata Awan dengan nada rendah, sambil menyerahkan buku itu pada Rina.

Rina tersenyum lembut. "Oh, terima kasih... Awan, ya?"

Awan terkejut bahwa Rina mengetahui namanya. "Iya, aku Awan. Kamu Rina, kan?"

Rina mengangguk, dan mereka berbicara sebentar tentang mata kuliah yang baru saja mereka hadiri. Pembicaraan itu tidak lama, namun bagi Awan, itu adalah momen yang akan selalu ia kenang. Percakapan singkat tentang filsafat, tentang kebebasan manusia yang dibahas dalam kelas, tapi bagi Awan, itu adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam---setidaknya, dalam hatinya.

Setelah pertemuan itu, mereka semakin sering bertukar kata, meski hanya di sela-sela perkuliahan. Namun, meski Awan mencoba mendekati Rina dengan hati-hati, ia segera menyadari bahwa Rina tidak merasakan hal yang sama. Setiap kali mereka berbincang, Rina selalu menjaga jarak, sebuah jarak yang tidak terlihat tapi terasa nyata. Dia selalu ramah, selalu tersenyum, tapi Awan bisa merasakan batas yang tidak bisa ia lewati.

Waktu berlalu, dan interaksi mereka semakin berkurang. Pesan yang pernah mereka tukar semakin jarang, dan akhirnya lenyap sama sekali. Awan tahu, saat itu Rina sudah membuat keputusan untuk menjaga hubungan mereka tetap sebagai teman sekelas. Meskipun demikian, perasaan Awan tidak berubah. Meski tidak ada lagi percakapan, meski mereka jarang saling menyapa, Awan tetap menyimpan perasaannya dalam-dalam, dalam bentuk puisi-puisi yang ia tulis diam-diam.

"Aku akan tetap mencintaimu," bisik Awan dalam hati setiap kali melihat Rina di kelas. Ia sadar bahwa cintanya tidak akan pernah terbalas, namun baginya, itu bukan masalah. Bagi seorang penyair seperti Awan, mencintai tanpa balasan bukanlah hal yang menyakitkan. Justru di situlah letak keindahannya---mencintai dengan bebas, tanpa harapan untuk memiliki.

Awan mulai merenungkan apa yang mereka pelajari di kelas filsafat. Sartre mengatakan bahwa manusia terkutuk untuk bebas, dan Awan merasa itu benar dalam hal cintanya. Ia bebas untuk mencintai Rina, meski ia tahu bahwa cinta itu tidak akan pernah membawa mereka ke tempat yang ia harapkan. Namun, kebebasan itulah yang membuatnya merasa hidup, meskipun terkadang penuh luka.

Hari-hari Awan berlalu dengan menulis puisi di sela-sela tugas kuliah yang menumpuk. Dalam setiap bait, ia mencurahkan seluruh perasaannya untuk Rina, perasaan yang tak pernah ia ungkapkan secara langsung. Ada kepedihan dalam puisinya, tapi juga ada keindahan. Ia menyadari bahwa cinta tidak selalu harus diakhiri dengan memiliki seseorang. Terkadang, mencintai berarti menghargai prosesnya, menghargai setiap pertemuan kecil, setiap senyuman yang mungkin tidak bermakna bagi orang lain, tapi sangat berarti bagi dirinya.

Semester itu akhirnya berakhir. Hari terakhir kelas Filsafat Barat berlangsung dengan tenang, seperti biasanya. Rina berjalan keluar dari kelas tanpa menyadari bahwa itu adalah kali terakhir mereka akan berada di ruangan yang sama. Awan duduk di bangkunya, memperhatikan Rina dari kejauhan. Tidak ada rasa kehilangan, hanya sebuah kesadaran bahwa perjalanannya dengan Rina telah mencapai akhir. Namun, meski perjalanan itu berakhir, cinta Awan tetap ada. Ia akan selalu mencintai Rina, meski tidak pernah memiliki kesempatan untuk menyatakannya.

Dalam keheningan ruangan yang kosong, Awan tersenyum. Bagi seorang penyair, cinta bukan tentang hasil akhirnya. Cinta adalah perjalanan yang ia jalani dengan sepenuh hati, tanpa perlu tahu ke mana akhirnya akan membawanya. Dan meski cinta itu tidak berbalas, Awan merasa puas. Ia telah mencintai, tanpa syarat, tanpa harapan, tanpa keinginan untuk mengubah apa pun.

Awan pulang malam itu, membawa kenangan tentang Rina dalam hatinya dan puisi-puisi yang ia tulis untuk dirinya sendiri. Cinta yang ia rasakan mungkin tidak pernah akan ia bagi dengan siapa pun, tapi baginya, itu cukup. Sebab mencintai, meski dalam ketidakpastian, adalah bagian dari hidup yang ia hargai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun