Mohon tunggu...
Dr Ing. Suhendra
Dr Ing. Suhendra Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Tinggal di Jogja, hoby travel dan baca. Sehari-hari sebagai konsultan, dosen dan pembina beberapa start-up

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Stop Ekspor Nikel, Jalankan Hilirisasi dan Lihat Bagaimana Teknologi Dunia Tanpa Nikel Indonesia

3 Februari 2025   01:26 Diperbarui: 3 Februari 2025   01:54 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dunia tergantung nikel dari Indonesia. (Sumber: Foto pribadi) 

Dampak pada Industri Kendaraan Listrik

Nikel adalah logam yang tak tergantikan. Dari baja tahan karat hingga baterai kendaraan listrik, nikel mendukung berbagai industri yang menopang kemajuan teknologi global. Jika Indonesia berhenti menjual nikel mentahnya, dunia tidak hanya kehilangan pasokan utama tetapi juga menghadapi konsekuensi yang tak terbayangkan.

Kendaraan listrik kini menjadi simbol masa depan yang lebih ramah lingkungan, tetapi keberlanjutannya sangat bergantung pada ketersediaan baterai berbasis nikel. Saat ini, sekitar 30% permintaan nikel dunia berasal dari industri baterai, dan angka ini diperkirakan akan melonjak hampir 30 kali lipat pada tahun 2040. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi produsen kendaraan listrik global seperti Tesla, yang membutuhkan lebih dari 1,5 juta ton nikel per tahun untuk memenuhi target produksinya. Jika pasokan dari Indonesia---sebagai produsen nikel terbesar di dunia---terganggu atau hilang, maka rantai pasokan industri kendaraan listrik akan berantakan, menghambat transisi menuju transportasi yang lebih berkelanjutan.

Selain dampak terhadap produksi, ketergantungan tinggi pada nikel juga berpotensi memicu lonjakan harga yang signifikan. Saat ini, harga baterai rata-rata berada di kisaran USD 132 per kWh, tetapi tanpa pasokan yang stabil, harga tersebut bisa meroket hingga USD 250 per kWh. Kenaikan ini akan membuat harga kendaraan listrik jauh lebih mahal, menghambat adopsi massal di berbagai negara, terutama di pasar negara berkembang. Oleh karena itu, upaya diversifikasi sumber bahan baku dan pengembangan teknologi baterai alternatif menjadi langkah penting untuk memastikan pertumbuhan industri kendaraan listrik tetap berkelanjutan dan terjangkau bagi masyarakat luas.

Anjloknya Pasar Baja Tahan Karat

Nikel memiliki peran krusial dalam industri global, dengan sekitar 65% produksinya digunakan untuk pembuatan baja tahan karat. Material ini menjadi tulang punggung berbagai sektor, termasuk konstruksi, otomotif, dan barang rumah tangga. Tanpa pasokan nikel yang stabil, terutama dari Indonesia sebagai produsen terbesar, industri-inustri ini akan menghadapi tantangan besar. Proyek infrastruktur seperti gedung pencakar langit, jembatan besar, dan fasilitas publik lainnya dapat tertunda karena kelangkaan baja berkualitas tinggi. Keterlambatan ini tidak hanya berdampak pada pengembang dan kontraktor, tetapi juga pada perekonomian yang lebih luas, karena banyak sektor bergantung pada kelangsungan proyek konstruksi.

Selain itu, ketergantungan yang tinggi terhadap nikel juga berpotensi mendorong lonjakan harga yang drastis. Jika pasokan nikel terganggu, biaya produksi baja tahan karat yang saat ini berkisar USD 1.700 per ton bisa meroket hingga lebih dari USD 3.000 per ton. Kenaikan harga ini akan mengguncang berbagai sektor ekonomi, mulai dari perumahan hingga manufaktur, serta meningkatkan biaya produksi barang konsumsi yang menggunakan baja tahan karat. Dalam jangka panjang, industri perlu mencari alternatif bahan baku atau mengembangkan teknologi baru untuk mengurangi ketergantungan pada nikel, guna menjaga stabilitas pasar dan keberlanjutan industri global.

 

Efek Geopolitik

Keputusan Indonesia dalam mengelola ekspor dan pemanfaatan nikelnya berpotensi mengguncang tatanan geopolitik global. Salah satu negara yang paling terdampak adalah China, sebagai konsumen nikel terbesar di dunia. Dengan hampir 60% pasokan nikelnya bergantung pada impor dari Indonesia, China menghadapi tekanan besar jika terjadi perubahan kebijakan yang membatasi ekspor atau menaikkan harga. Ketergantungan ini membuat China rentan terhadap gangguan pasokan, yang dapat mempengaruhi industri manufaktur dan teknologi mereka, terutama dalam sektor baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat. Situasi ini dapat memaksa China untuk mencari alternatif sumber nikel dari negara lain atau mengembangkan strategi investasi baru di sektor pertambangan Indonesia.

Di sisi lain, posisi dominan Indonesia dalam pasar nikel global memberinya kekuatan untuk bertindak layaknya "OPEC-nya nikel." Dengan kontrol penuh atas pasokan, Indonesia memiliki potensi untuk menetapkan harga dan mengatur pasar, seperti yang dilakukan OPEC terhadap minyak bumi. Hal ini memberikan leverage ekonomi dan politik yang kuat bagi Indonesia dalam negosiasi perdagangan dan investasi internasional. Jika dikelola dengan baik, strategi ini tidak hanya meningkatkan nilai tambah industri dalam negeri tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam transisi energi global. Namun, langkah ini juga dapat memicu ketegangan dengan negara-negara konsumen utama, sehingga diperlukan kebijakan yang seimbang agar Indonesia dapat memanfaatkan posisinya secara optimal tanpa menciptakan instabilitas diplomatik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun