Mohon tunggu...
Dr Ing. Suhendra
Dr Ing. Suhendra Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Tinggal di Jogja, hoby travel dan baca. Sehari-hari sebagai konsultan, dosen dan pembina beberapa start-up

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masjid Tidak Perlu CCTV, Karena yang Jaga Tuhan Kita: Catatan dari Hilangnya Kotak Amal Masjid Kami

15 Januari 2025   10:40 Diperbarui: 15 Januari 2025   18:58 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Relvansi Manusia dan Tuhan (Sumber: Gambar Pribadi)

Masjid Tidak Perlu CCTV, Karena Yang Jaga Tuhan Kita: Catatan dari Hilangnya Kotak Amal Masjid Kami

Oleh: Dr.-Ing. Suhendra (Pengamat Sosial, Budaya dan Teknologi Jerman, Permanent Resident di Eropa)

Beberapa hari lalu, sebuah kejadian kecil mengusik ketenangan kampung kami. Kotak amal milik masjid kami dicuri. Hebatnya, dicuri saat siang hari. Bukan hanya sekali, kejadian ini ternyata berulang di beberapa masjid sekitar. Saat pertemuan membahas hal ini, sebagian wajah-wajah pengurus masjid tampak terekam kegeraman. Sebagian sedih dan lainnya ada menyembul rasa belas kasihan.

Objek pencuri terekam CCTV kami. Sayangnya, CCTV yang terpasang di sudut-sudut masjid, meskipun sudah merekam baik, tidak memberikan jawaban siapa pencuri uang kotak amal masjid kami. Resolusi gambarnya buram, wajah pelaku hanya tampak seperti bayangan samar yang sulit dikenali. "Ini bukan CCTV, ini cuma pajangan," kelakar salah satu jamaah, meskipun nadanya getir.

Namun, situasi ini tidak berhenti di sana. Dalam rapat pengurus masjid, salah satu anggota mengusulkan pembaruan. "Kita harus beli CCTV baru! Minimal delapan titik, teknologi modern, resolusi tinggi, biar maling mana pun ketangkap dan kapok kita viralkan," serunya. Ide itu disambut dengan anggukan dari beberapa pengurus. Tapi tidak semua setuju. Seorang pengurus senior, Pak Hadi, dengan tenang menyela, "Untuk apa kita beli CCTV mahal, kalau masalah sebenarnya bukan di sana?"

CCTV atau Rasa Memiliki Tuhan?

Pak Hadi melanjutkan pendapatnya, yang kemudian menjadi bahan diskusi hangat. Menurutnya, fenomena pencurian kotak amal adalah sebuah tanda yang lebih dalam. Bukan hanya soal teknologi pengamanan yang ketinggalan zaman, tetapi soal bagaimana kita sebagai komunitas gagal menciptakan lingkungan di mana orang merasa cukup dan memiliki rasa takut kepada Tuhan. Toh kalaupun teknologi lebih modern kita pasang, kalau masalahnya ada di manusianya, maka manusia itu akan cari cara mengakali teknologi itu.

"Kalau kita beli CCTV baru, malingnya mungkin akan lebih canggih lagi. Mereka akan cari cara untuk tidak terekam CCTV modern kita. Satu orang dengan masalah yang sama sukses mengakali teknologi, akan dikader puluhan lainnya dengan berjamaah." Pak Hadi mencoba menguraikan idenya dengan tenang dan bijak.

"Tantangan kita adalah bagaimana manusia-manusia seperti pencuri kotak amal itu tidak pernah ada lagi dengan kesadaran sendiri. Sudah sejahtera dan sudah sadar bahwa Gusti Allah relevan dalam hidupnya. Kalau kita bisa membuat orang-orang sekitar merasa bahwa Tuhan itu relevan dalam hidup mereka, bahwa mencuri bukan solusi dari masalah mereka, mungkin kita tidak perlu CCTV lagi dan masjid kita juga tidak perlu dikunci seperti sekarang" tegas Pak Hadi membuat kesimpulan menyejukkan.

Pernyataan ini memicu perdebatan. Sebagian merasa bahwa solusi praktis, seperti CCTV modern, lebih cepat dan nyata. Tapi sebagian lain mulai berpikir: bagaimana sebenarnya kita bisa menghadirkan Tuhan dalam kehidupan saudara kita sebangsa?

Sikap Manusia Terhadap Tuhan

Pada titik ini, diskusi berkembang ke arah yang lebih filosofis. Sikap manusia terhadap Tuhan memang beragam, tergantung pada pengalaman, pendidikan, dan budaya mereka. Ada yang ateis, menyangkal keberadaan Tuhan karena merasa tidak ada bukti yang cukup. Ada pula yang agnostik, di tengah-tengah antara percaya dan ragu.

Sebagian besar masyarakat kita mungkin termasuk dalam kategori teisme, meyakini keberadaan Tuhan. Namun, keyakinan ini sendiri terbagi-bagi: monoteisme yang percaya pada satu Tuhan, politeisme dengan banyak dewa, hingga panteisme yang melihat Tuhan dalam segala sesuatu. Ada juga mereka yang religius, menjalankan ibadah secara rutin, dan yang spiritual, lebih memilih hubungan pribadi dengan Tuhan tanpa terikat ritual formal.

Namun, di luar semua itu, ada kelompok yang apatis, merasa bahwa keberadaan Tuhan tidak relevan dalam hidup mereka. Mungkin, inilah akar dari masalah di kampung kami. Ketika seseorang merasa bahwa Tuhan tidak relevan, tindakan mereka tidak lagi terikat oleh rasa takut atau tanggung jawab kepada Sang Pencipta.

Perspektif Global terhadap Teisme dan Ateisme

Di belahan bumi lainnya, sikap manusia terhadap nilai-nilai teisme dan ateisme juga beragam. Di negara-negara maju, warisan sekularisme dan komunisme sering kali menjadi faktor utama menjamurnya ateisme. Negara seperti Swedia, Norwegia, dan Prancis menunjukkan peningkatan jumlah orang yang secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai ateis. Tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi dan pendidikan di negara-negara ini membuat banyak orang merasa bahwa agama atau Tuhan tidak lagi relevan dalam kehidupan mereka.

Sebaliknya, agnostisisme kerap merebak di negara-negara yang meskipun sebagian besar penduduknya mengaku percaya kepada Tuhan, namun masih bergulat dengan masalah kesejahteraan ekonomi. Orang-orang dalam situasi ini sering mempertanyakan keadilan dan relevansi Tuhan ketika kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi. Contohnya dapat ditemukan di berbagai negara berkembang, di mana krisis ekonomi dan sosial memperdalam keraguan tentang peran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, teisme tetap menjadi nilai inti di banyak masyarakat tradisional, terutama di negara-negara dengan sejarah budaya dan agama yang kuat. Di kawasan Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin, keyakinan kepada Tuhan sering kali terjalin erat dengan identitas budaya dan politik. Meski demikian, tantangan modernisasi dan globalisasi turut memengaruhi generasi muda yang mulai membuka diri terhadap skeptisisme religio dan spiritualitas non-religius.

Skeptisme itu kemudian dianggap pemicu kelahiran agnotisme yang merajalela. Mudahnya, mereka yakin Tuhan ada. Tapi Tuhan tidak perlu terlalu jauh ikut campur urusan pribadi saya, urusan kantor saya hingga tidak perlu ada label urusan Tuhan dalam mengurus ekonomi, berpolitik dan bernegara.

Membuat Tuhan Relevan

Cerita tentang Pak Hadi sampai pada hikmah yang mengusulkan pendekatan yang lebih mendalam: memperbaiki hubungan kita dengan masyarakat sekitar. "Kalau ada orang yang mencuri kotak amal, berarti ada yang lapar di sekitar kita. Ada yang merasa hidupnya tidak cukup, sehingga mereka rela melanggar aturan. Selama kita tidak menyelesaikan masalah itu, mereka akan terus mencuri, sekalipun kita pasang seratus CCTV," katanya.

Membuat Tuhan relevan bukan berarti kita memaksa orang beribadah. Sebaliknya, ini berarti menciptakan lingkungan di mana kehadiran Tuhan terasa nyata dalam keseharian. Menjadikan masjid lebih dari sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat kepedulian sosial. Memberikan makan kepada yang lapar, membantu yang kesusahan, dan mendekatkan hati-hati yang jauh dari Tuhan.

Diskusi itu akhirnya menghasilkan konsensus. CCTV baru tetap akan dibeli, tetapi fokus utama adalah membangun kembali rasa kebersamaan dan kepedulian. Pengurus masjid sepakat untuk lebih aktif membantu masyarakat sekitar, mengadakan program pendidikan, pelatihan kerja, dan santunan rutin.

Karena pada akhirnya, teknologi seperti CCTV hanyalah alat. Tetapi rasa memiliki Tuhan, rasa takut kepada-Nya, dan keyakinan bahwa Tuhan itu relevan dalam hidup kita, adalah solusi yang jauh lebih mendasar. Dengan itu, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat perbaikan jiwa dan kehidupan. Dan mungkin, suatu hari nanti, kita tidak lagi butuh CCTV, karena kita sudah punya Tuhan di hati kita.

Yogyakarta, 15 Januari 2025.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun