Sehari pasca debat pilpres, sebenarnya jemari saya agak gatal untuk menulis terkait trend baterai masa depan. Dari mahasiswa hingga bekerja lebih dari 15 tahun di Jerman, saya dikarunia Allah kesempatan mengunjungi beberapa produsen baterai kelas dunia. Termasuk produsen baterai berbasis Litium yang pernah saya kunjungi sekitar 15 tahun lalu.
Cuma karena pasca debat adalah masa yang berpotensi tertutup subjektivitas, maka saya urungkan niat untuk posting tulisan ini.
Perdebatan di masa kampanye Pilpres lalu terkait baterai litium umumnya berpusat pada beberapa isu utama, yang mencakup aspek lingkungan, ekonomi, dan teknologi. Indonesia, sebagai negara dengan cadangan Nikel dan Litium yang besar, memiliki peran penting dalam rantai pasokan baterai litium-ion, selain komponen nikel yang juga komponen kunci dalam aternatif proses pembuatan baterai.
Pada ujung debat, ada kekhawatiran mengenai dampak lingkungan dari penambangan nikel, yang merupakan bahan baku penting untuk baterai yang umum saat ini. Kehawatiran itu karena proses penambangan dan pemurnian nikel dapat menyebabkan degradasi lingkungan, pencemaran air dan udara, serta penggusuran komunitas lokal. Debat sering berkisar pada bagaimana meminimalkan dampak lingkungan ini sambil tetap memanfaatkan potensi ekonomi dari sumber daya alam. Karenanya, ada kritikan deras karena terkesan pemerintah begitu memanjakan perusahaan tambang nikel dengan segala potensi masalahnya. Bagi para kritikus baterai berbasi Nikel, teknologi baterai berbasi Litium perlu mendapat perhatian di masa depan.
Lalu, bila investasi di Indonesia akhirnya memilih mengembangkan baterai Litium, apakah sudah tepat? Karena sifat teknologi adalah adanya disrupteive technology yang berpotensi muncul perkembangan yang pesat, Â adakah alternatif lain selain Litium?
Karenanya, dalam tulisan ini saya mencoba memberikan kilasan potensi teknologi yang dimaksud. Teknologi yang dimaksud berpotensi menggantikan teknologi baterai berbasis Litium adalah baterai Kalsium. Teknologi ini sudah mencapai kematangan teknologi, meski masih banyak di dunia riset dan sampai pada kematangan teknologi dan pasar untuk menerima. Akan tetapi, diprediksi bila teknologi baterai Kalium ini mencapai masa kematangannya, maka diprediksi berpotensi menggantikan baterai Litium yang digadang-gadangkan lebih baik untuk investasi di tanah air.Â
Menilik dari beberapa keunggulan secara teknis, keunggulan baterai Kalsium adalah sebagai berikut.
Pertama, Kalsium lebih melimpah di dibandingkan dengan litium. Perbandingan ketersediaan Kalsium bahkan hingga 2500  kali lebih banyak dari pada Litium di bumi. Karenanya, bahan baku untuk baterai kalsium lebih mudah dan murah untuk diperoleh. Oleh karena itu, dari sudut pandang suplai bahan baku dapat berpotensi menurunkan biaya produksi baterai kalsium dan membuatnya lebih sustainable (berkelanjutan).
Kedua, Kalsium, sebagai elemen kimia memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan litium, terutama dalam hal penggalian dan ekstraksi. Konsekuensinya, proses pembuatan baterai Kalsium berpotensi lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan baterai litium.
Ketiga, baterai kalsium menawarkan keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan baterai litium-ion karena kalsium memiliki reaktivitas yang lebih rendah saat terpapar air dan udara. Berdasar pertimbangan ini, penggunaan baterai Kalsium mengurangi risiko kebakaran dan ledakan yang terkait dengan baterai litium-ion.
Selanjutnya, yang keempat, beberapa penelitian baterai kalsium memiliki densitas energi lebih besar dari pada baterai Litium. Dengan demikian, baterai kalsium berpotensi menyimpan lebih banyak energi dalam ukuran yang sama atau lebih kecil.
Keunggulan berikutnya, yang kelima, adalah baterai kalsium memiliki potensi untuk beroperasi secara efektif dalam rentang suhu yang lebih luas dibandingkan dengan baterai litium. Dengan sifat seperti ini membuat baterai Kalsium cocok untuk aplikasi dalam kondisi suhu ekstrem, baik panas maupun dingin.
Keunggulan terakhir adalah baterai Kalsium berpotensi dapat diisi lebih cepat daripada baterai litium karena konduktivitas ionik yang lebih tinggi dari elektrolit kalsium. Ini adalah keuntungan penting untuk aplikasi seperti kendaraan listrik, di mana waktu pengisian adalah pertimbangan kunci.
Selain hal fundamental teknis di atas, perlu kiranya mengetahui aspek etis dan lingkungan perbandingan baterai Kalsium dengan Litium.
Secara umum, penambangan Litium memiliki konsekuensi etis dan lingkungan lebih berat dibandingkan baterai Kalsium. Penambangan litium, khususnya melalui proses penguapan larutan garam (air laut misalkan) yang kaya litium, memerlukan jumlah air yang sangat besar. Di daerah kering seperti di Amerika Selatan, yang mencakup bagian dari Argentina, Bolivia, dan Chile, secara etis menyinggung dan mempengaruhi ketersediaan air untuk penduduk lokal dan pertanian. Selain itu, bahan kimia yang digunakan dalam penambangan komponen lain untuk baterai Litium dapat mencemari air tanah dan permukaan, mengancam pasokan air minum.
Penambangan litium dan logam lainnya yang dibutuhkan untuk baterai litium-ion, seperti kobalt dan nikel, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Ini termasuk penghancuran habitat, pencemaran sungai dan tanah oleh logam berat, dan pelepasan gas rumah kaca.
Bahan kimia dan logam berat yang digunakan dalam produksi baterai litium-ion dapat berbahaya bagi kesehatan. Pekerja di tambang dan pabrik mungkin terpapar zat berbahaya. Kobalt, yang sering digunakan dalam baterai litium-ion, berpotensi menyebabkan penyakit paru-paru pada pekerja yang menambang dan saat memprosesnya.
Penambangan bahan baku seperti kobalt juga menimbulkan  kritik dari sudut pandang etika, seperti misalkan di Kongo, di mana sebagian besar kobalt dunia berasal. Laporan tentang pekerjaan anak, kondisi kerja yang buruk, dan eksploitasi telah didokumentasikan di beberapa tambang kobalt.
Pada akhir siklus hidup produk, baterai litium-ion menjadi tantangan untuk mencemari lingkungan saat pembuangan karena mengandung logam berat dan bahan kimia. Daur ulangnya kompleks dan mahal, dan banyak baterai berakhir di tempat pembuangan sampah, yang dapat menyebabkan masalah lingkungan jangka panjang.
Masalah-masalah tersebut pada akhirnya mengarahkan akan pentingnya mengembangkan alternatif baterai yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta meningkatkan kemampuan daur ulang dan umur siklus teknologi baterai yang ada. Penelitian dan pengembangan di bidang ini sangat penting untuk meminimalkan dampak negatif produksi baterai dan mendukung transisi ke masa depan energi yang lebih hijau dan etis.
Indonesia berambisi untuk tidak hanya menjadi eksportir bahan baku seperti Nikel dan Litium, tetapi juga untuk mengembangkan industri pengolahan dan pembuatan baterai ramah lingkungan di dalam negeri. Pemilihan teknologi selalu menimbulkan debat tentang bagaimana membangun industri yang kompetitif secara global, termasuk tantangan dalam teknologi, investasi, dan infrastruktur.Â
Bila ingin memulai dari nol, maka tidak salah kita memulai dari titik di mana orang lain juga memulai, bukan dari titik di mana orang lain telah meninggalkannya. Â
Yogyakarta, 28 Februari 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H