Mohon tunggu...
Suhendra L. Hardi
Suhendra L. Hardi Mohon Tunggu... pendidik -

Bilai ketulusanmu tidak dihargai, balaslah ia dengan keikhlasan, lalu pergilah sejauh mungkin, tanpa pernah mengingat-ingat lagi |Menikmati Utopia Kehidupan|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(cerpen) Aruna dan Nyala Obor Takbir

5 Juli 2016   05:27 Diperbarui: 5 Juli 2016   09:30 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau tak mau aku bungah, anak mana yang tidak bahagia akan diajari membaca Al Quran. Bila mengaji di surau dengan Wak Jamal kami harus lama sekali mengantri. Karena hanya Wak Jamal satu-satunya guru ngaji yang harus mengajari kami ber 32. Lebih lagi Wak Jamal memprioritaskan mereka yang masih IQRA di bawah 4. Maka tawaran ini sungguh sangat menggembirakan.

Sejak saat itu, kutau bahwa hariku menjadi lebih menyenangkan. Aku rupanya punya seorang yang bisa ku panggil Abang. Dan lebih istimewa karena di puasaku yang pertama, Abang selalu memiliki agenda harian bersamaku. Kadang Abang masuk ke kamar dan mengambil sebuah buku tebal penuh gambar warna. Dengan setia Abang membacakan keterangan gambar dalam buku itu. Gambar negeri yang sangat jauh dari tempatku. Di hari lain Abang mengajakku membuat mobil mainan dari batang pisang, ketapel dari ranting jambu, wayang dari tangkai daun ubi kayu, dan banyak lagi. Setiap sore sebelum buka, Abang juga mengajakku membantu Umi menyiapkan buka puasa. Ah begini rasanya punya Abang. Menyenangkan sekali. Tak sabar aku ingin bercerita di depan kelas pas sekolah nanti. Supaya semua temanku tahu kalau aku punya Abang yang keren, supaya Ibu Rahma juga tahu kalau Abangku pun pandai membuat mainan dari bahan alam.

`Aruna, nanti setelah matahari tampak, kita akan ke ladang cari bambu buat bikin obor malam takbir. Mau kan?`

Tentu saja aku mau sekali, aku selalu ingin bertualang ke ladang bersama Abi. Biasanya Umi akan melarang aku ikut ke ladang karena jauh. Jadilah aku sehari-hari hanya bermain di sekitar rumah saja. Tidak buruk sih, karena Umi sering mengajakku membuat sesuatu dari sisa kain jahitan Umi. Beberapa kain perca itu bahkan pernah ku buat menjadi kain pel, ya walau tidak layak digunakan sebenarnya. Tapi aku senang Umi mengajarku sesuatu.

`Kita akan mencari bambu terbaik, yang bersih sisi kulitnya, tapi kokoh di dalam. Supaya nyala obor bisa dipakai sepanjang pawai takbir` Aku menganggung takzim. Tak sabar menunggu terbit matahari. Dan tak sabar melihat sepeti apa obor terbaik itu.  

***

Segera aku menghambur ke rumah setelah diantar Wak Jamal dari pawai obor takbir lebaran. Aku sangat ingin menceritakan pengalamanku keliling kampung bersama anak-anak lainnya memakai obor dan takbir yang bersahut tanpa henti.

Abi dan Umi telah menungguku di pintu. Setelah mengucapkan salam dan trimakasih ke Wak Jamal, kami masuk ke rumah. Langsung saja aku berkeliling rumah untuk mencari Abang. Tak sabar menceritakan bahwa obor buatan Abang adalah obor yang nyalanya paling lama dari kawan-kawan lain. Lalu bentuk obornya pun indah, dengan api yang tak putus dan paling terang sepanjang pawai. Teman-teman banyak yang iri pada obor yang aku bawa.

`Mi, Abang dimana ?`

Aku  lalu membuka kamar depan yang tidak terkunci. Pelan-pelan kulihat ke dalam, dibalik remang lampu neon hanya kutemukan selembar sajadah. Aku berbalik, umi sudah jongkok lalu memelukku.

`Tamu istimewa itu sudah pergi Nak, kita berdoa semoga Allah mempertemukan kembali kita di Ramadan berikutnya`.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun