Tangan lembut itu membangunkanku lebih awal. Bila biasanya menjelang subuh Umi selalu membangunkanku, maka kini jauh sebelum subuh Umi sudah membelai keningku lalu mengecupnya. Satu kata yang membuatku langsung terjaga, `Sahur, Nak`.
Ya, hari ini akan menjadi hari pertama puasa. Tak sabar rasanya aku ingin menuntaskan sebulan penuh puasa bareng Abi dan Umi. Pasti menyenangkan. Tahun lalu, aku belum mengerti seperti apa puasa. Tapi setelah Wak Jamal cerita banyak soal puasa di surau, yang kedatangannya bak tamu mulia dan istimewa, serta nilai pahalanya yang berlipat dari biasa, aku langsung saja bilang ke Umi untuk bisa ikut sahur dan puasa, seperti Abi dan Umi. Aku pasti sanggup dan kuat. Dan, bila sepertiga malam ini Umi membisikkan bahwa hari ini adalah sahur pertama, tanpa komando aku langsung terjaga dan ke kamar mandi. Beristinsyaq 3 kali, lalu mencuci tangan dan mencuci wajah. Aku siap untuk sahur pertamaku.
Abi tengah asyik berbincang, Umi pula ikut tertawa di sela obrolan itu. Apakah aku yang amnesia atau barangkali ingatanku yang rusak, tapi di antara mereka sedang duduk lelaki berpewakan tinggi mengenakan kemeja hijau dan kain sarung serupa. Kulitnya lebih putih dari kebanyakan orang sini yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Agak ragu aku bergabung di tikar pandan yang telah terhidang juga berbagai menu sahur.
`Aruna, ayo duduk sini` lelaki itu menyapaku.
Bagaimana bisa ia tahu namaku. Umi dan Abi ikut menatapku dengan senyum. Aku tidak tahu harus bagaimana, dengan ragu aku duduk di tepat di sebelah lelaki itu. Tercium semerbak bau wanginya, sejuk sekali. Aku sangat ingin bertanya siapa ia, tapi melihat Abi dan Umi begitu akrab, aku ragu untuk bertanya. Barangkali aku saja yang lupa. Tidak mungkin orang yang tidak dikenal baik bisa duduk di antara kami.
***
Rupanya lelaki itu menginap di rumah. Ia menginap di kamar depan. Aku baru tahu ruangan di salah satu sisi ruang tamu kami adalah kamar. Ah, kemana saja aku selama ini. Apakah bagi anak berusia 5 tahun gejala seperti ini normal, dimana kita sering lupa pada hal-hal di sekeliling kita. Ini adalah rumah dimana aku lahir dan tumbuh, bagaimana aku bisa mengabaikan hal seperti itu. Aku meremas rambutku sendiri sambil menunduk.
`Aruna, bagaimana puasa hari ini, kuat kan?`
Lelaki itu muncul di depanku. Mukaku memerah, malu. Ia lalu mengusap rambutku dan berjongkok sehingga aku apat melihat jelas sorot matanya yang jernih.
`Hari ini, Abang ajari baca Al Quran ya, mau  ?` Aku menganggukkan kepala.
`Nah Aruna wudu dulu, kita ke surau bersama, nanti Abang ajari baca Al Quran. Kata Umi, Aruna sudah sampai IQRA 6 kan, berarti sudah siap membaca Al Quran`.