Reklamasi Jakarta Untuk Warga mana?
Reklamasi merupakan areal yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dengan salah satu pengembang papan atas seperti Agung Podomoro Land. Reklamasi pantai utara Jakarta dilakukan melalui payung hukum Keppres No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta pada tanggal 13 Juli1995.
Kemudian Pemda DKI Jakarta menerbitkan PERDA Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2030 untuk menjadikan Pantai Utara Jakarta sebagai lokasi program pengembangan baru DKI Jakarta. Maksud dari Reklamasi adalah proses perbaikan lahan agar sesuai untuk penggunaan yang lebih insentif. Jadi reklamasi menciptakan lahan, baik dengan menghilangkan air dari daerah berlumpur atau menaikan permukaan tanah.
Reklamasi Pantai Utara Jakarta terus berlanjut bila dilihat dari terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 206 tahun 2016 tentang Panduan Rancangan Kota Pulau Reklamasi yang diterbitkan oleh Gubernur Ahok dimana aturan tersebut kemudian dijadikan dasar hukum oleh Gubernur Anis untuk menerbitkan IMB terhadap 932 bagunan yang pernah di segel di pulau D. Dan reklamasi kembali berlanjut dengan terbitnya Keputusan Gubernur nomor 237 tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dufan seluas lebih dari 35 hektar dan Kawasan Ancol sekitar 120 hektar.
Nilai tambah yang bisa diperoleh oleh warga Jakarta dari hasil reklamasi tersebut nyaris tidak ada. Namun warga sekitar secara bertahap mulai digusur dan tergusur akibat adanya reklamasi. Dan kini penggusuran kembali dilakukan dengan cara menonaktifkan NIK warga Jakarta. Sedangkan keuntungan dari reklamasi bagi warga Jakarta khususnya dan WNI pada umumnya masih bersifat utopia, hanya retorika, tidak kongkrit dan untuk kepentingan sekelompok orang semata. Sebab, keuntungan riil dari Pemda DKI Jakarta dari reklamasi pantai utara Jakarta menurut Daniel Johan, hanya mendapat retribusi 5 persen sesuai peraturan yang berlaku.
Sementara nilai keuntungan dari proyek reklamasi dari pulau A sampai pulau M menurut perhitungan yang dilakukan oleh Daniel bisa mencapai 516,9 triliun pada tahun 2017 dengan asumsi utilitas lahan hanya 55 persen saja yang dikomersilkan. Keuntungan yang bernilai fantastis tersebut hanya akan masuk ke kantong para pengembang yang bisa memesan paket menu kebijakan melalui para pemangku kepentingan, termasuk menggusur daerah sekitar reklamasi untuk menciptakan kawasan elit dan pengurangan DPT Jakarta melalui proyek penggusuran NIK.
Sejalan dengan pandangan diatas, Imam Mahdi dalam Jurnalnya tentang Reklamasi Teluk Jakarta; Sebuah Prespektif Kekuasaan Dalam Ekonomi Politik menyimpulkan bahwa “dampak ekonomi yang ditimbulkan dari proyek reklamasi lebih banyak dirasakan oleh pengembang atau perusahaan. Masyarakat tidak mendapatkan hak yang semestinya mereka dapatkan. Hak tersebut meliputi akses terhadao ekonomi dan pekerjaan yang sepadan. Sedangkan pemerintah akan berkutat pada pajak retribusi daerah.” Artinya, warga Jakarta yang tidak mendapat manfaat secara ekonomi, hanya tinggal selangkah lagi akan dilumpuhkan secara politik, dengan beberapa paket penggusuran dari Jakarta secara terencana.
Memang pembahasan mengenai pulau - pulau Reklamasi di pantai Jakarta perlahan berangsur meredup, seiring dengan dinamika kehidupan Kota dan isu-isu lain. Padahal Reklamasi pantai utara Jakarta yang terdiri dari 17 pulau, mulai pulau A sampai dengan pulau Q mencapai luas total 5.153 hektar, dimana pulau M merupakan pulau paling luas yaitu 587 hektar, Pulau L menjacapi 481 hektar, dan Pulau P mencapai luas 463 Hektar. Reklamasi ini sangat bernilai strategis, baik dari segi ekonomi maupun politik. Ingat, areal reklamasi ini lebih luas dari Jakarta Pusat yang mempunyai luas 4.813 Hektar dengan total penghuni sekitar 1.105.731 jiwa.
Tolal keseluruhan penduduk DKI Jakarta ialah 10.562.088 jiwa tersebar di 5 kota dan 1 kabupaten yaitu kepulauan seribu. Artinya, bila ada warga yang masuk ke wilayah reklamasi sesuai daya tampungnya, yaitu lebih dari 1 juta jiwa, maka konfigurasi demografi dan poltik di Jakarta bisa mengalami perubahan secara signifikan dimasa - masa yang akan datang. Kita tentu ingat bagaimana Malaysia memberikan status kewarganegaraan kepada TKI demi menjamin kemenangan Partai UMNO selama bertahun- tahun, demikian halnya dengan Singapura.
Nilai politik dari reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak menemukan korelasinya bila tidak dikaitkan dengan jumlah Tenaga Kerja Asing yang masuk dan akan terus masuk ke Indonesia; Eksploitasi atas Sumber Daya Alam Indonesia yang dilakukan secara berlebihan; WNI yang akan menjadi asing di negerinya sendiri, dimana mulai terusir secara bertahap dari kota-kota kesayangannya. Pengusiran itu terjadi melalui sejumlah paket kebijakan -- seperti penonaktifan NIK warga Jakarta, -- yang lahir dari paket-paket perjanjian dimasa lalu.