Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi Mengingkari Putusannya Sendiri

14 Desember 2022   17:56 Diperbarui: 14 Desember 2022   22:29 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permohonan pemohon untuk menghilangkan frase "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" pada pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan pasal 28 J Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, "setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, ddan bernegara" berdasarkan dalil tersebut di atas. Dan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon tersebut menjadikan norma alternatif pada Undang-undang pemilu menjadi berlaku kumulatif. 

Dan putusan tersebut seolah menyatakan bahwa keberadaan Cakada atau Caleg mantan Terpidana tidak menghormati HAM, setidak-tidaknya HAM dari pemohon. Pada kondisi ini MK melupakan jumlah Terpidana dan mantan Terpidana yang dirampas haknya melalui putusan tersebut. Bahkan mengabaikan usaha mantan Terpidana yang telah bertobat, berbuat baik,dan melakukan re-integrasi dengan masyarakat, bahkan berusaha untuk keluar dari steriotip, prasangka, penghukuman dan stigmatisasi berkepanjangan. 

Padahal Pasal 2 ayat (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa tujuan diselenggarakannya pemasyarakatan yaitu untuk "meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggungjawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan." Sehingga satu-satunya nalar yang bisa memaklumi isi putusan MK tersebut ialah bahwa MK masih menganut paradigma lama, yaitu, bahwa pemidanaan sebagai alat balas dendam, sehingga membolehkan perlakuan diskirminatif terhadap mantan Terpidana. Padahal di negara - negara yang peradabannya lebih maju dari Indonesia telah meninggalkan paradigma tersebut, demikian halnya dengan Undang-undang pemasyarakatan yang baru disahkan.

Selain daripada itu, keputusan yang diputuskan oleh MK selain bertolak belakang dengan putusan MK sebelumnya, juga membatalkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 46p/HUM/2018 yang menyatakan bahwa pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1) huruf d, dan lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Caleg pada frase "mantan terpidana korupsi" bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juncto Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang -undangan. Karenanya tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum. Anehnya lagi, MK dalam naskah putusannya berpendapat untuk mengesampingkan pasal 54 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur ketentuan bahwa, "Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Padahal munculnya frase alternatif tersebut dalam Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu telah ada putusan-putusan MK terdahulu.

 

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Seperti Lembaga Tertinggi

Trias Politica adalah konsep pemisahan kekuasaan. Trias politica dalam sistem kenegaraan adalah suatu sistem pemerintahan yang memisahkan antara dua atau lebih dari setiap cabang kekuasaan agar tidak bersifat absolut. Konsep trias politica pertama kali dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya, "L'Esprit des Lois". Konsep trias politica membagi pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Penerapan trias politica di Indonesia didasarkan pada pembagian kekuasaan menjadi kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan untuk membuat undang-undang. Walaupun terdapat 3 (tiga) lembaga tinggi negara sebagai kekuasaan legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Akan tetapi fungsi - fungsi legislasi ada pada DPR. 

Kekuasaan Legislatif yang ada pada MPR sesudah reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 menjadi lebih bersifat semu, sebab Indonesia kemudian menganut sistem Dua Kamar (bicameral) yaitu DPR RI dan DPD RI, dimana keduanya merupakan anggota MPR RI, dengan susunan dan kedudukan yang berbeda. Adapun fungsi-fungsi legislasi, bugeting dan pengawasan lebih banyak diperankan oleh DPR RI sebagai fungsi kekuasaan legislatif serta check and balance.

Kekuasaan berikutnya adalah kekuasaan eksekutif yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-undang dan jalannya pemerintahan. Kekuasaan eksekutif dipegang dan dipimpin oleh Presiden. Namun dalam prakteknya, Presiden memiliki kewenangan untuk mendelegasikan tugas eksekutif kepada pejabat pemerintah untuk turut membantu Presiden, yakni para Menteri. Selain daripada itu, ada beberapa institusi semacam Kepolisian dan Kejaksaan yang khusus menjalankan fungsi-fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan walaupun dalam kedudukannya berada dibawah kekuasaan eksekutif;

Cabang kekuasaan ketiga ialah yudikatif sebagai kekuasaan yang memiliki kewajiban mempertahankan Undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya atau kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun