Dalam permohonannya pemohon juga memberikan argumentasi bahwa korupsi oleh Calon Kepala Daerah dilakukan untuk pengumpulan modal pemenangan, khususnya dana kampanye. Pemohon mensinyalir bahwa korupsi menyebabkan skandal pendanaan, seperti yang telah mengguncang banyak negara. Dalam argumentasi tersebut pemohon mengabaikan bahwa perilaku koruptif terjadi pula pada aparatur sipil, jabatan karir yang tidak melalui mekanisme pemilu, bahkan penyelenggara pemilu pun bisa terjerat oleh kasus serupa. Di dalam alasan permohonan pemohon pada putusan 81/PUU-XVI/2018 mengutip data yang dimiliki oleh Departemen Sejarah Universitas Gadjahmada pada tanggal 12 Oktober 2018 yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2001 sampai 2015 ternyata ada 2.569 orang terpidana korupsi tetapi hanya terdapat 559 orang diantaranya yang berasal dari Kepala Daerah (eksekutif) dan Wakil Rakyat (Legislatif). Argumentasi pemohon perkara dengan register nomor 56/PUU-XVII/2019 yang manyatakan bahwa Cakada harus menunggu selama waktu tertentu untuk dapat mencalonkan kembali sebagai bagian dari upaya mencegah praktek korupsi tidak bisa dijadikan alasan pokok karena bukti-bukti empiris yang dikemukakan pun terbantahkan.
Dan apabila mahalnya biaya politik disinyalir sebagai penyebab korupsi oleh pemohon dengan menyajikan temuan Badan Litbang Kemendagri bahwa untuk menjadi Walikota / Bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp 20 - Rp 30 miliar, sedangkan untuk menjadi Gubernur besaran biaya mencapai Rp 20 - Rp 100 miliar. Dengan menambahkan data dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramono Anung bahwa Caleg mesti menyiapkan uang antara Rp 300 juta hingga Rp 22 miliar untuk maju dalam pemilihan, bahkan ada yang mengeluarkan Rp 18 miliar hanya untuk membayar konsultan politik. Sesungguhnya argumentasi tersebut terbantahkan dari data tabulasi kuantitas korupsi yang disebutkan di atas.Â
Sayangnya Hakim Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon.  Dalam hal itu pemohon berargumentasi bahwa hak politik adalah sesuatu yang dijamin pemenuhannya oleh UUD NRI 1945, akan tetapi hak politik adalah hak yang dapat dibatasi (derogable rights). Suatu argumentasi yang membenarkan bahwa ketika hendak menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia, maka dalam situasi tertentu negara dapat melakukan pembatasan-pembatasan tertentu sehingga hak-hak asasi yang berada di bawah jaminan negara dapat dilindungi, dihormati, dan dipenuhi. Argumentasi tersebut berlawanan dengan nalar sebagai negara demokrasi, terutama prinsip sebagai negara hukum dan persamaan hak di dalam pemerintahan. Dalil tersebut mengabaikan prinsip Rechstaat (negara hukum) dan mengarahkan menjadi negara Machstaat (negara kekuasaan). Disini terlihat bahwa putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 mengesampingkan hak -- hak sipil dan politik, supremasi hukum, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan praktek ini lebih mirip dengan praktek negara-negara otoriter, bukan negara demokrasi yang mengedapan supremasi hukum dimana kedaulatan sepenuhnya ada ditangan rakyat.
Â
Perampasan Hak Tanpa Peradilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU/XVII/2019 berbeda dengan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, walaupun subjek dari kedua putusan bisa dikatakan berbeda yaitu antara Cakada dengan Caleg mantan Terpidana. Akan tetapi pada kenyatannya, baik Cakada maupun Caleg sama - sama jabatan publik yang dipilih (elected officials), namun kedua putusan memberikan norma yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Putusan 56/PUU/XVII/2009 berbeda dengan Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 terhadap subjek hukum yang sama yaitu calon pejabat publik, walaupun dalam pokok perkara diklasifikasikan sebagai Calon Gubernur / Wakil Gubernur, Calon Bupati / Wakil Bupati, Calon Walikota / Wakil Walikota mantan Terpidana. Padahal Mahkamah pernah menolak adanya perlakuan diskirminatif kepada mantan terpidana korupsi dengan terpidana lainnya melalui Putusan Nomor 81/PUU-XVI/2018 yang menghendaki mantan terpidana korupsi dilarang menjadi calon DPR RI, DPD RI dan DPRD. Demikian halnya dengan Putusan Nomor 83/PUU-XVI/2018 dimana pemohon mengajukan permohonan agar mantan Terpidana Korupsi, Narkoba, Kejahatan Seksual Terhadap Anak, dan  Terorisme dilarang menjadi Caleg. Kedua putusan tersebut dinyatakan ditolak oleh Hakim Mahkamah Konstitusi, dimana sejatinya kedua putusan yang di tolak tersebut memperkuat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.
Putusan - putusan Mahkamah tersebut diatas, selain memberi dampak konstitusi mengenai norma pemilu, ternyata menimbulkan ketidakpastian mengenai maksud dari pejabat publik yang dipilih (elected officials). Perbedaan antara putusan yang satu dengan putusan yang lain memberikan perbedaan perlakuan terhadap Caleg dengan Cakada. Bahkan Putusan Nomor 17/PUU-V/2007 yang menyatakan larangan bagi mantan terpidana untuk bisa mencalonkan diri menjadi kepala daerah adalah norma yang bersifat konstitusional bersyarat, sepanjang larangan bagi mantan terpidana itu tidak mencakup kepada tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa levis). Putusan ini dibuat atas uji materiil Pasal 58 huruf f Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan pandangan atas kasus Pindana dengan Culpa Levis dengan Kriminalisasi bisa menjadi debatable, terutama terkait dengan maraknya praktek kriminalisasi dalam berbagai kasus hukum. Ketidakpastian yang timbul bukan hanya dalam perspektif hukum, pemenuhan hak sipil dan politik pun mengalami ketidakpastian. Penghilangan hak warga negara melalui putusan Nomor 56/PUU-XVII/2009 terjadi karena suatu warga negara mengalami perlakuan yang berbeda dengan warga negara yang lainnya, terutama dalam hal hak - haknya sebagai warga negara yang diambil tanpa melalui proses pengadilan. Penghilangan hak warga negara ini bisa dilihat dari dua sisi. Pada sisi pemilih telah terjadi penghilangan hak pilihnya untuk memberikan penilaian secara obyektif dan adil terhadap setiap orang lain, termasuk Cakada yang akan dipilih. Sedangkan pada sisi mantan terpidana telah dirampas haknya untuk diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa Pengadilan.Â
Dikatakan perampasan hak tanpa melalui proses pengadilan karena system peradilan di tanah air telah mengenal pemberatan terhadap suatu kasus pidana tertentu. Hakim dapat memberikan pemberatan hukuman dengan menggunakan dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana di luar KUHPidana. Dasar pemberatan pidana khusus dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Dan Undang - undang mengatur tentang tiga hal dasar yang menyebabkan seorang terpidana mengalami pemberatan hukuman pidana, yaitu :Â
Dasar pemberatan pidana karena jabatan. Pemberatan akibat jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHPidana yang berbunyi : "Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga". Jadi dasar pemberat terletak pada jabatan. Sehingga subjek hukum yang bisa diperberat pidananya adalah seorang pejabat atau pegawai negeri yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan / atau menggunakan jabatannya;
Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana Bendera Kebangsaan. Pemberatan pun bisa dikenakan kepada terpidana yang melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 (a) KUHPidana yang berbunyi, "Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga." Dalam ketentuan ini disebutkan secara tegas tentang tindak pidana subjek hukum yaitu waktu melakukan kejahatan. Jadi bentuk kejahatan ini tidak berlaku pada pelanggaran, tetapi berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut peraturan perundang -undangan yang ada diluar KUHPidana sepanjang "Waktu' atau pada saat melakukan kejahatan memenuhi ketentuan menggunakan sarana Bendera;
Dasar pemberatan pidana karena pengulangan. Selain dua dasar pemberatan sebagaimana disebutkan diatas. Tindak pidana yang dilakukan secara berulang juga bisa dikenakan pasal pemberatan. Ada dua pendekatan dengan terminology pengulangan itu sendiri yaitu menurut masyarakat dan menurut hukum pidana. Apabila masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana kemudian melakukan tindak pidana lagi, maka hal itu merupakan bentuk pengulangan tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Sedangkan pengulangan menurut hukum pidana tidaklah cukup bila hanya melihat berulangnya suatu tindak pidana tetapi perlu dikaitkan dengan syarat - syarat tertentu yang ditetapkan oleh Undang-undang. Dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini terletak pada faktor - faktor berikut ini :
- Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;Â
- Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama;
- Pidana itu telah dijalankan oleh yang bersangkutan.