Bahkan Mahkamah menyatakan bahwa Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009 telah diberikan tafsir baru dengan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009. Sehingga pengakuan secara terbuka sebagai suatu persyaratan administratif belaka bagi calon Kepala Daerah. Mahkamah berpendapat bahwa rezim hukum Pasal 58 huruf f UU No. 32/2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir. Dan sebagai gantinya, maka tafsir baru atas Pasal 58 huruf f Undang-undang Nomor 32/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUUVII/2009 tanggal 24 Maret 2009.Â
Artinya, Mahkamah memberikan perlakuan sama kepada semua mantan Terpidana yang hendak menjadi Caleg dengan syarat memberikan pengakuan / pengumuman secara terbuka sebagai alternatif atau dengan masa tunggu 5 tahun. Akan tetapi berbeda dengan mantan narapidana yang hendak mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah yang disyaratkan harus menunggu selama 5 tahun sejak bebas menjalani masa hukuman. Jadi Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 memberikan syarat yang berbeda terhadap Cakada dengan Caleg mantan Terpidana. Syarat bagi Caleg cukup hanya dengan memberikan pengumuman sebagai mantan Terpidana, tetapi untuk Cakada harus menunggu 5 tahun sejak bebas menjalani hukuman.
Bahkan Mahkamah mendalilkan bila substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 tidak berbeda dengan substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Sementara Amar Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Adapun terhadap Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang- undang Nomor 8 Tahun 2015 menyatakan bahwa norma Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pergeseran perubahan tersebut berlaku setelah Mahkamah mengabulkan sebagian uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Uji materiil diajukan oleh Perludem dan ICW terkait dengan pencalonan mantan terpidana dalam pilkada. Uji materiil dimohonkan pada Pasal 7 ayat (2) huruf g yang berbunyi : "Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan Terpidana." Dalam putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 per tanggal 11/12/2019, Anwar Usman selaku Ketua Majelis Hakim, menyatakan : "Mengadili, dalam provisi mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian." Dalam putusan tersebut, Anwar mengatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g bertentangan dengan Undang - undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga Pasal 7 ayat (2) huruf g berubah bunyinya menjadi, "Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:Â
- "Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa."
- "Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang."
Putusan Mahkamah tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi pemohon karena ICW dan Perludem sebenarnya meminta masa jeda selama 10 tahun. Dan MK hanya memberikan jeda lima tahun bagi mantan Narapidana seusai menjalani pidana penjara untuk bisa mencalonkan diri dalam Pilkada. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah memutuskan waktu jeda lima tahun lantaran menyesuaikan mekanisme lima tahunan pemilihan umum, sebagaimana putusan MK Nomor 04/PUU-XII/2009. Dalam putusan nomor 4/PUU-VII/2009 berbunyi, "Menyatakan ketentuan yang melarang terpidana menjadi calon Kepala Daerah dinyatakan inkonstitusional, tetapi ada syarat yang mesti dipenuhi sebagaimana diuraikan diatas.
Padahal di dalam pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 tersebut tidak dibedakan atau tanpa ada pengecualikan, tentu saja termasuk melindungi hak mantan Terpidana. Dimana sebagai salah satu ciri dari negara demokratis ialah berdasarkan hukum dengan mengakui, menjunjung tinggi, melindungi, memajukan, menegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak para mantan Terpidana. Sehingga argumentasi yang mengemuka untuk memberikan perlakuan diskirminatif terhadap Cakada mantan Narapidana bukan saja tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM tetapi juga dengan Konstitusi. Â
Dan apabila dikaitkan dengan Lembaga Pemasyarakatan, dari perspektif sosiologis dan filosofis, penggantian sebutan Penjara kepada Pemasyarakatan dimaksudkan bahwa pemidanaan selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Sehingga secara filosofis dan sosiologis sistem Pemasyarakatan memandang Terpidana sebagai subjek hukum yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu - waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana. Jadi pemidanaan adalah suatu upaya untuk menyadarkan Narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral, keamanan dan ketertiban dan dapat aktif berperan kembali dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. Walaupun Putusan tersebut diambil tidak dengan suara bulat. Karena dari 9 hakim konstitusi, masih ada 3 hakim memilih berseberangan, yaitu Maria Farida Indarti, I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo. Sebab menurut mereka, UUD 1945 harus dan mampu menjadi konstitusi yang hidup (living constitution). Konstitusi bukanlah suatu benda yang hanya ada dalam nama melainkan dalam kenyataan. Ia bukanlah sesuatu yang ideal, melainkan sesuatu yang senyatanya ada. Dan manakala ia tidak dapat dihadirkan menjadi sesuatu yang dapat dilihat, maka konstitusi itu sesungguhnya tidak ada. Maksudnya, putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 menegasikan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi.
Sedangkan alasan Pemohon yang mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan apabila Caleg dan Cakada yang berasal dari mantan terpidana korupsi terpilih menjadi wakil rakyat atau pejabat publik merupakan suatu kesadaran yang mengabaikan hakekat demokrasi itu sendiri, yaitu, "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan."Â Benar, bahwa Hakim adalah penentu putusan perkara di pengadilan, tetapi tidak demikian dengan ranah politik. Penentu putusan dalam suatu kontestasi politik di negara demokrasi adalah rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Ditambah dengan adanya syarat pernyataan terbuka dan jujur dari mantan Narapidana untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten), maka segala sesuatunya terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan Narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Jadi rakyatlah yang menentukan siapa yang berhak mewakili dan menduduki jabatan publik. Dan mantan Narapidana pun bisa menggunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bebas merdeka tanpa ada belenggu atas nama konstitusi.
Mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu lembaga yang diberikan kewenangan oleh konstitusi, yaitu pasal 24C ayat 1 UUD Negara RI 1945 untuk menguji konstitusionalitas suatu norma yang ada di dalam Undang-undang terhadap norma yang ada di dalam UUD Negara RI 1945 dengan putusan yang bersifat final and binding. Artinya, MK adalah lembaga yang ditugaskan oleh konstitusi untuk menjaga agar seluruh Undang-undang berjalan bersesuaian arah dengan konstitusi atau dengan kata lain sebagai penjaga konstitusi, the guardian of constitusion. Namun dalam kenyatannya, putusan nomor 42/PUU-XIII/2015 yang ditegaskan kembali dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016 sejalan dengan Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007 yang ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009 serta Putusan Nomor 79/PUU-X/2012. dan masih selaras dengan putusan nomor 82/PUU-XVI/2018 dan putusan Nomor 83/PUU-XVI/2018 tetapi tidak bersesuaian dengan putusan nomor 56/PUU-XVII/2019.
Mahkamah Konstitusi memandang dan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap Calon Legislatif dengan Calon Kepala Daerah. Perbedaan putusan tersebut seolah ada perbedaan hakekat dari masing - masing pemilu legislatif (DPD, DPR RI, dan DPRD) dengan pemilu kepala daerah (Gubernur, Bupati / Walikota). Selain daripada itu, ada perbedaan perlakuan terhadap mantan Terpidana Culpa Levis. Perbedaan tersebut timbul karena konten judicial review yang diajukan memiliki perbedaan tafsir terhadap kontestan Pemilu Kepada Daerah (Pilkada) dengan Pemilu Legislatif (pileg) yang menyandang status sebagai mantan Terpidana ataukah karena sebab-sebab lain. Padahal dalam hakekat politik dan Hukum seharusnya setiap warga negara memperoleh perlakukan yang sama, selain yang diputuskan oleh pengadilan. Perbedaan perlakuan kepada Culpa Levis mengabaikan praktek kriminalisasi yang masih marak terjadi dalam penegakan hukum di tanah air. Oleh sebab itu, Putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019 dipandang sebagai putusan yang mengandung inkonsistensi dan mengandung unsur diskriminatif terhadap calon pejabat publik yang dipilih dengan status mantan Terpidana. Sebab hak konstitusional mantan terpidana sebagai warga negara tidak boleh dibedakan atau dikurangi selama pengadilan tidak memutuskan untuk diperlakukan demikian.
Â