Mengelola Trauma Terhadap PKI
Politik segitiga Bung Karno yang dikenal dengan istilah Nasakom sebagai akronim dari Nasionalis, Agama, dan Komunis pada pertengahan tahun 1960an kehilangan keseimbangan. Kegagalan politik segitiga Bung Karno ini berujung dengan gugurnya para perwira TNI AD dan pembunuhan massal. Dalam sejarah perang barangkali hanya Indonesia yang jenderal militernya tewas begitu banyak, bahkan dalam sekejap waktu.
Tragedi berdarah tersebut kemudian di ikuti oleh huru - hara politik yang berujung dengan lengsernya Bung Karno dari tampuk kekuasaan. PKI dianggap sebagai institusi yang paling bertanggungjawab atas tragedi tersebut, khususnya gugurnya para Kusuma Bangsa dan sejumlah peristiwa politik yang menjadi prolog dan epilognya.
Perseteruan antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan kelompok Agama, Islam khususnya. Sekaligus infiltrasi PKI ke dalam tubuh tentara telah menimbulkan berbagai ketegangan sepanjang tahun 1940an sampai dengan 1960an. Rentetan aksi revolusioner PKI bisa ditelusuri menjelang 1926 terhadap pemerintah Hindia Belanda dan kontra revolusioner pada 1948 karena dilakukan terhadap Indonesia yang baru mengusir kaum penjajah.
Gerakan 30 September 1965 atau Gestok sebagai istilah lain dari G30S merupakan aksi kontra revolusi yang gagal. Gerakan yang dikomandoi oleh Kolonel Untung dari pasukan Cakrabirawa itu berlangsung dini hari, pada tanggal 1 Oktober 1965. Agenda utama yang dilakukan oleh kelompok kontra revolusi ini adalah melakukan penculikan kepada sejumlah perwira tinggi TNI AD menyusul adanya isyu Dewan Jenderal. Peristiwa penculikan tersebut kemudian menghadirkan pahlawan revolusi sebagai akibat dari aksi sepihak yang dilakukan oleh Kolonel Untung dan kawan-kawannya.
G30S sejatinya merupakan aksi kontra revolusi, sebab, dikala Indonesia sedang menjalankan operasi Dwikora untuk menghalau pembentukan negara Malaysia yang di inisiasi oleh Inggris yang ditentang oleh Indonesia kala itu. Sehingga sumber daya tercurahkan dan dimobilisasi kesitu, padahal Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan akibat kebijakan politik luar negeri yang menimbulkan kegelisahan bagi sejumlah pihak sebagai efek dari perang dingin yang melanda dunia. Selain daripada itu, kondisi ekonomi Indonesia sedang mengalami keterpurukan.
Kondisi demikian memang merupakan momentum yang baik untuk membegal kekuasaan melalui jalan revolusi. Oleh sebab itu, hanya kaum Komunis yang mengangap bahwa G30S adalah aksi revolusioner karena hal itu terkait dengan tujuan ideologi perjuangan kaum komunis dalam rangka melakukan revolusi klas sosial sebagai cita-cita perjuangan komunisme, sedangkan bagi pemerintah Indonesia yang sedang menghadapi berbagai masalah nasional merupakan penghianatan terhadap negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Revolusi nasional untuk memperjuangkan dan mempertahankan Indonesia di peroleh dengan pengorbanan jiwa dan raga dari seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum Nasionalis dan Agama dalam konteks Nasakom.
Di penghujung rezim Orde Lama, Bung Karno tetap besikukuh dengan idealisme politik Nasakom, bahkan desakan dari sejumlah kalangan agar Bung Karno mengubur Nasakom dijawab dengan rumusan idealisme politik baru yang ditawarkan yaitu Nasasos (Nasionalis, Agama, dan Soaialis). Kenyataan ini pula yang kemudian menjadikan partai MURBA kembali direhabilitasi oleh rezim Orde Baru walaupum sudah dibekukan dimasa Orde Lama, namun tidak demikian dengan Masyumi dan PSI.
Gerakan kontra revolusi pada 30 September 1965 menjadi turbulensi politik bagi PKI sebagai partai terbesar ke-4 pada pemilu 1955. Akibatnya, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh wilayah Indonesia melalui TAP MPRS nomer 25/1966.
Pembubaran kelembagaan PKI sekaligus menjadikannya sebagai partai terlarang tidak serta merta mengakhiri eksistensi ideologi komunis, marxisme - leninisme. Walaubagaimanapun ideologi tersebut sempat tumbuh dengan subur dan eksis di tanah air. Memori kejayaan sekaligus kegagalan komunisme di Indonesia telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan bangsa
Bukan hanya itu, para pendatang baru, generasi muda yang sedang melalukan pencarian dan krisis identitas cukup giat mempelajari teori-teori revolusioner, mengidolakan tokoh revolusioner semacam Che Guevara. Walaupun kebanyakan tidak sempat mempraktekan ideologi tersebut untuk memperoleh pengalaman empirik.Â
Namun lain halnya dengan mereka yang pernah dijadikan Tahanan Politik / Narapidana Politik selama rejim Orde Baru akibat keterlibatannya dengan PKI, baik langsung maupun tidak lansung. Luka batin, trauma, kemarahan, maupun dendam akibat perlakuan tidak adil oleh lawan-lawan ideologis mereka yang kemudian berkuasa selama pemerintahan Orde Baru menjadikan luka - luka mereka semakin perih tiada terkira.Â
Simpatisam PKI sebagai kelompok yang terpinggirkan, ditambah dengan penguasaan teori revolusi dan pengalaman gagal dalam melakukan suatu aksi revolusi sehingga menjadi aksi kontra revolusi menyisakan pengalaman getir yang amat mendalam. Kritik oto kritik menambah rasa penasaran sekaligus meningkatkan gairah radikalime.
Kegetiran demi kegetiran menjadikan kelompok tersebut memilih tampil dalam berbagai bentuk paguyuban berlabelkan agenda sosial budaya, membantuk lembaga dan LSM dalam rangka merawat jaringan, menjaga eksistensi, sarana transformasi ide dan nilai-nilai, sekaligus menjadi trauma healing bersama atas kengerian tragedi kemanusiaan sepanjang era 1960an.
Dalam perjalanannya, sejumlah pihak mensinyalir bahwa ada sejumlah orang yang berhasil direkrut dan dipengaruhi untuk menerima faham komunisme. Kader yang berhasil direkrut pada umumnya bersumber dari dua jalur yaitu Turunan dan Tularan.Â
Turunan ialah anak, cucu dan famili dari simpatisan PKI termasuk organisasi underbouwnya. Sedangkan Tularan ialah orang yang berhasil dipengaruhi sehingga berpaham marxisme - leninisme dan bersedia terlibat dalam kegiatan dan program mereka. Walaupun jumlah kader tularan ini bisa dibilang sangat sedikit atau bisa dikatakan tidak ada.
Jadi wacana musiman tentang kebangkitan PKI sesungguhnya tidak terlepas dari kondisi yang ada di tanah air dimana korban akibat kebijakan Orde Baru beserta keluarganya cukup besar jumlahmya. Sedangkan tabir atas penuntusan peristiwa tersebut lebih sebagai komoditas politik.
Selain itu, kondisi IPOLEKSOSBUD di masyarakat memang sangat memungkinkan bagu tumbuhnya ideologi radikal, ekstrimisme, dan revolusioner semacam Komunisme. Oleh sebab itu, memahami wacana musiman tentang kebangkitan PKI sebagai upaya menjaga memori tragedi kemanusiaan 1965 / 66 dengan segala trauma yang ditimbulkannya bisa didekati dari tiga perspektif kepentingan, yaitu :
Pertama, bagi simpatisan dan keluarga PKI. Tragedi 1965 merupakan memori kolektif kekalahan politik dalam melalukan aksi sepihak. Walaupun dalam banyak kesempatan mereka lebih banyak mengemukakan sebagai kelompok yang menjadi korban fitnah dan pesakitan.Â
Namun demikian, Bung Karno dalam pidatonya yang berjudul Nawaksara tidak memungkiri adanya oknum PKI yang keblinger. Bahwa kemudian banyak anggota, simpatisan maupun masyarakat biasa yang tidak tahu - menahu bahkan menjadi korban amuk politik adalah permasalahan keadilan yang tidak akan pernah tuntas dalam pendekatan keadilan substantif;
Kedua, pihak yang lebih menekankan kepada momentum peringatan agar kejadian semacam G30S Â tidak terulang kembali sehingga perlu memastikan bahwa PKI tidak memiliki ruang untuk bangkit dan eksis di Indonesia, apalagi telah ada payung hukimnya. Kewaspadaan itu karena mengingat ideologi revolusioner PKI yang sangat digandrungi oleh masyarakat yang terperangkap dalam kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, sehingga Indonesia bisa dengan mudah menjadi persemaian untuk melakukan revitalisasi komunisme. Jadi lebih kepada mengeliminasi potensi ancaman atas ketentraman yang telah tercipta sejak PKI dilarang;
Ketiga, apabila kedua kelompok tersebut diatas dengan mudah ditelusuri dari ekspresi gerakan, sesungguhnya perspektif ketiga ini nyaris lepas dari pengamatan. Karena  kelompok ini adalah mereka yang sengaja memelihara memori bahaya laten PKI, trauma korban PKI, trauma korban orde baru, trauma di-PKI-kan. Padahal kelompok - kelompok itu belum tentu menyadari bahwa mereka telah dijadikan obyek komoditas politik melalui sintemen kelompok yang di kelola sedemikian rupa.Â
Kelompok tersebut adalah mereka yang mengelola keseimbangan politik aliran dimana eksistensinya dijaga dengan mempertajam sentimen ideologi ditengah-tengah masyarakat. Kesadaran bahwa Indonesia membutuhkan kehadiran ekstrim kiri walaupun kehadirannya bersifat semu, sebab kehadiran secara nyata sangat berbahaya. Wacana kehadiran ekstrim kiri dimaksudkan untuk mengimbangi semakin menguatnya ekstrim kanan.
Mengelola memori, trauma, sekaligus memelihara sentimen politik dengan maksud menggiring aspirasi ekstrim kiri ke kelompok tertentu memang membutuhkan momentum, musim, dan kebiasaan mengingat simpatisan PKI tidak mungkin membangun kembali puing-puing PKI secara legal, oleh sebab itu, ia membutuhkan saluran aspirasi formal, dalam hal ini adalah partai politik. Dengan mengelola sentimen sekaligus memastikan aspirasi politik mereka tersalurkan ke parpol yang dianggap paling bersenyawa dengan mereka. Dalam hal ini aktornya bisa parpol atau lembaga - lembaga pemerintah dan swasta tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ia adalah perseorangan, baik simpatisan partai, pejabat, atau keluarga PKI yang memiliki agenda ideologis dan pragmatis.
Memang belum ada penelitian yang dilakukan oleh lembaga yang cukup kredibel untuk memastikan bahwa aspirasi dari turunan dan keluarga PKI ini disalurkan kepada salah satu parpol tertentu saja sebagai perwujudan organisasi tanpa bentuk (OTB) PKI, apakah hanya ke satu atau beberapa parpol tertentu pada saat momentum pemilu, serta seberapa masif dan efektif jaringan itu bekerja. Akan tetapi pada umumnya kelompok ekstrim kiri banyak memberikan aspirasinya ke partai pemenang pemilu.
Disamping itu, ada kelompok dan institusi yang memang menegaskan komitmen ideologi mereka untuk membentengi kehidupan politik Indonesia dari kemungkinan bangkitnya PKI. Sebab wacana musiman tetang bangkitnya Komunis merupakan persinggungan antara idealisme dengan pragmatism yang dikelola oleh banyak pihak, baik oleh para pembela maupun penentangnya sama-sama mengail keuntungan dari memori tragedi 1965.
Ruang Sinergi Komunis China - Indonesia
Wacana kebangkitan PKI bagi sebagian pihak dianggap ilusi setelah keruntuhan Uni Soviet dan reaktualisasi Komunisme di China, walaupun ada Korea Utara, Vietnam dan Kuba sebagai rezim yang juga bernafaskan Komunisme. Namun keberadaan mereka dianggap bukan sebagai mainstrem komunisme dunia.
RRC atau Republik Rakyat China walaupun sudah menjadi salah satu induk dari kapitalisme global namun secara ideologi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka menganut komunisme. Memang komunisme yang digagas oleh PKC berbeda dari tempat asalnya, Uni Soviet, setelah beberapa kali mengalami reaktualisasi. Dan begitu seharusnya, ideologi harus mampu memperbaharui dirinya dari dalam dengan melakukan serangkaian penyesuaian, redefinisi.Â
Namun sejauh ini, para pengidap phobia komunisme belum mendeteksi ruang sinergi antara kebangkitan PKI dengan PKC, entah karena tidak punya keberanian atau belum punya data akurat. Mungkin pula bahwa RRC dari kacamata politik Indonesia bukan lagi negara komunis karena telah mengadopsi prinsip-prinsip ekonomi kapitalistik. Namun demikian sejatinya setiap negara memiliki national interest, termasuk RRC dan Indonesia. Perspektif kepentingan nasional mendasari kewaspadaan nasional dari setiap negara sehingga relasi bilateral dan multilateral tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, tidak ada makan siang gratis.
Rangkaian kejadian semenjak reformasi 1998 memberikan pesan akan pentingnya kewaspadaan nasional atas berbagai fenomena yang berlangsung di tanah air.Â
Niat baik dari beberapa partai politik yang cukup intens melakukan kerjasama dengan Partai Komunis China (PKC) dilihat oleh sebagian orang sebagai suatu proses Brainwash, walaupun tidak harus se-ekstrim itu menilai suatu kerjasama antara lembaga. Para negarawan di partai politik tidak selalu hitam putih dalam menilai suatu persoalan. Demikiam pula para pemangku kepentingan yang tidak selalu hitam putih dalam memilah antara kepentingan nasional dengan kepentingan pribadi dan oligarki.
Namun demikian, desas-desus adakalanya berhembus. Motif dari desas-desus itu bisa berbagai tendensi, sebab, boleh jadi sebagian dari mereka yang mengikuti program pelatihan di PKC sekarang telah menjadi Anggota Legislatif atau Eksekutif, sehingga turut menentukan arah kebijakan pemerintahan di segala lini kehidupan.
Bukan hanya desas - desus kerjasama kader partai yang ditenggarai sebagai suatu brainwash dan satelit politik komunis glohal, belakangan menyeruaknya masalah Tenaga Kerja Asing (TKA), khususnya TKA Â asal China yang disinyalir sebagai Tentara China. Hal itu cukup meresahkan sebagian masyarakat, bahkan menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kalangan masyarakat dengan melakukan berbagai aksi demonstrasi di sejumlah tempat.Â
Walaupun sebagian orang tidak begitu yakin bahwa para TKA tersebut adalah tentara atau kader PKC yang disusupkan. Barangkali terlalu naif apabila menilai bahwa para pemangku kebijakan tersebut telah kehilangan patriotisme dan nasionalismenya, apalagi bila mengangap mereka tidak menguasai persoalan layaknya para pejabat boneka yang abai dengan kepentingan nasional negaranya.Â
Sebab, apabila benar bahwa TKA asal China itu merupakan Kuda Troya asal Tirai Bambu yang dipersiapkan untuk melakukan serangan dari dalam, maka para pemangku kebijakan tidak boleh begitu saja mengabaikan potensi acaman yang bisa hadir ditengah-tengah kita. Ditambah dengan berbagai masalah yany sedang di hadapi oleh Indonesia ditengah wabah Covid 19 yang sedang melanda. Artinya kondisi nasional Indonesia sangat rentan apabila harus menghadapi serangan dari dalam sebagai bentuk ekspansi kepentingan.
Memang kekhawatiran sejumlah kalangan cukup beralasan karena resesi ekonomi kini melanda sejumlah negara, tanpa terkecuali dengan Indonesia, ditambah degan defisit anggaran yang menimpa APBN Indonesia. Semua itu merupakan masalah serius dalam segi kedaulatan. Situasi semacam ini apabila sampai salah langkah maka hanya akan menghantarkan Indonesia menjadi negara gagal, karena dililit hutang.Â
Masih segar dalam ingatan bahwa sejak Indonesia menandatangani Letter of Intent dengan IMF, maka sejumlah kebijakan nasional harus menyesuaikan dengan selera IMF, Word Bank dan WTO. Indonesia bisa kembali mengulangi memori kelam tersebut apabila dalam mengatasi resesi ekonomi 2020 kembali mengandalkan hutang luar negeri. Â
Barangkali RRC akan menawarkan bantuan berupa pinjaman kepada Indonesia dalam mengatasi resesi ekonomi 2020, namun dampaknya bisa lebih buruk dari pesakitan IMF. Dan jika hal itu yang terjadi maka Indonesia mengulangi memori kemitraan Nusantara dengan VOC yang berjung pada praktek kolonialisme Belanda.
Jadi kebangkitan Komunisme yang dicemaskan sejatinya bukan hanya dari anak turunan PKI maupun korban kebijakan Orde Baru dimana kini sebagian besar dari mereka masih sibuk mengais rejeki ditengah proxy war yang situasinya belum tentu bisa dipahami oleh semua orang, sama seperti tragedi 30 September 1965, dimana jutaan nyawa melayang tetapi aktor dan pelaku yang bertanggungjawab masih terus diperdebatkan. Bahkan boleh jadi mereka yang memikul beban sejarah dan trauma masa lalu masih mencari keadilan dengan tetap dijadikan sebagai komoditas politik, membangun sentimen, kebencian, dan fitnah atas nama demokrasi, dukungan, ideologi, dan modal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H