Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebangkitan PKI: Siapa Diuntungkan?

1 Oktober 2020   02:36 Diperbarui: 17 Juni 2023   20:11 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengelola Trauma Terhadap PKI

Politik segitiga Bung Karno yang dikenal dengan istilah Nasakom sebagai akronim dari Nasionalis, Agama, dan Komunis pada pertengahan tahun 1960an kehilangan keseimbangan. Kegagalan politik segitiga Bung Karno ini berujung dengan gugurnya para perwira TNI AD dan pembunuhan massal.  Dalam sejarah perang barangkali hanya Indonesia yang jenderal militernya tewas begitu banyak, bahkan dalam sekejap waktu.

Tragedi berdarah tersebut kemudian di ikuti oleh huru - hara politik yang berujung dengan lengsernya Bung Karno dari tampuk kekuasaan. PKI dianggap sebagai institusi yang paling bertanggungjawab atas tragedi tersebut, khususnya gugurnya para Kusuma Bangsa dan sejumlah peristiwa politik yang menjadi prolog dan epilognya.

Perseteruan antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan kelompok Agama, Islam khususnya. Sekaligus infiltrasi PKI ke dalam tubuh tentara telah menimbulkan berbagai ketegangan sepanjang tahun 1940an sampai dengan 1960an. Rentetan aksi revolusioner PKI bisa ditelusuri menjelang 1926 terhadap pemerintah Hindia Belanda dan kontra revolusioner pada 1948 karena dilakukan terhadap Indonesia yang baru mengusir kaum penjajah.

Gerakan 30 September 1965 atau Gestok sebagai istilah lain dari G30S merupakan aksi kontra revolusi yang gagal. Gerakan yang dikomandoi oleh Kolonel Untung dari pasukan Cakrabirawa itu berlangsung dini hari, pada tanggal 1 Oktober 1965. Agenda utama yang dilakukan oleh kelompok kontra revolusi ini adalah melakukan penculikan kepada sejumlah perwira tinggi TNI AD menyusul adanya isyu Dewan Jenderal. Peristiwa penculikan tersebut kemudian menghadirkan pahlawan revolusi sebagai akibat dari aksi sepihak yang dilakukan oleh Kolonel Untung dan kawan-kawannya.

G30S sejatinya merupakan aksi kontra revolusi, sebab, dikala Indonesia sedang menjalankan operasi Dwikora untuk menghalau pembentukan negara Malaysia yang di inisiasi oleh Inggris yang ditentang oleh Indonesia kala itu. Sehingga sumber daya tercurahkan dan dimobilisasi kesitu, padahal Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan akibat kebijakan politik luar negeri yang menimbulkan kegelisahan bagi sejumlah pihak sebagai efek dari perang dingin yang melanda dunia. Selain daripada itu, kondisi ekonomi Indonesia sedang mengalami keterpurukan.

Kondisi demikian memang merupakan momentum yang baik untuk membegal kekuasaan melalui jalan revolusi. Oleh sebab itu, hanya kaum Komunis yang mengangap bahwa G30S adalah aksi revolusioner karena hal itu terkait dengan tujuan ideologi perjuangan kaum komunis dalam rangka melakukan revolusi klas sosial sebagai cita-cita perjuangan komunisme, sedangkan bagi pemerintah Indonesia yang sedang menghadapi berbagai masalah nasional merupakan penghianatan terhadap negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Revolusi nasional untuk memperjuangkan dan mempertahankan Indonesia di peroleh dengan pengorbanan jiwa dan raga dari seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum Nasionalis dan Agama dalam konteks Nasakom.

Di penghujung rezim Orde Lama, Bung Karno tetap besikukuh dengan idealisme politik Nasakom, bahkan desakan dari sejumlah kalangan agar Bung Karno mengubur Nasakom dijawab dengan rumusan idealisme politik baru yang ditawarkan yaitu Nasasos (Nasionalis, Agama, dan Soaialis). Kenyataan ini pula yang kemudian menjadikan partai MURBA kembali direhabilitasi oleh rezim Orde Baru walaupum sudah dibekukan dimasa Orde Lama, namun tidak demikian dengan Masyumi dan PSI.

Gerakan kontra revolusi pada 30 September 1965 menjadi turbulensi politik bagi PKI sebagai partai terbesar ke-4 pada pemilu 1955. Akibatnya, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh wilayah Indonesia melalui TAP MPRS nomer 25/1966.

Pembubaran kelembagaan PKI sekaligus menjadikannya sebagai partai terlarang tidak serta merta mengakhiri eksistensi ideologi komunis, marxisme - leninisme. Walaubagaimanapun ideologi tersebut sempat tumbuh dengan subur dan eksis di tanah air. Memori kejayaan sekaligus kegagalan komunisme di Indonesia telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan bangsa

Bukan hanya itu, para pendatang baru, generasi muda yang sedang melalukan pencarian dan krisis identitas cukup giat mempelajari teori-teori revolusioner, mengidolakan tokoh revolusioner semacam Che Guevara. Walaupun kebanyakan tidak sempat mempraktekan ideologi tersebut untuk memperoleh pengalaman empirik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun