Drama demi drama disertai humor tuna gagasan terus menyeruak ke permukaan publik Indonesia. Babak demi babak, episode demi episode, seri demi seri selalu diserta dengan kegersangan kenegarawanan, alienasi kehendak antara pemimpin dengan yang dipimpin, disparitas berbagai kasus dengan penuntasannya agar tidak pilih tebang, kesatuan kehendak antara berbagai praktek kejahatan dengan komitmen pemberantasan kejahatan yang terkesan mesra berdampingan, kontradiksi antara sebab dengan akibat yang merusak akal sehat. Semua itu membentuk suatu kondisi yang melahirkan kebingungan sekaligus memproduksi kebodohan akut melalui operasi para buzer dan partisan orderan yang sangat tergantung dengan bayaran. Jangan heran bila Tuan hari ini bisa berlawan pada esok hari. Artinya, jangan pernah tanya siapa yang mereka bela karena sudah pasti kepenuhan perut diri sendiri, maksimal adalah kawan ngopi.Â
Sengkarut beredarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 yang kemudian dinarasikan sebagai putusan yang mereduksi putusan MK tentang sengketa Pilpres, dimana MK telah menolak gugatan salah satu pasangan Calon Presiden dan menetapkan pemenang Pilpres. Framing opini putusan MA tersebut telah menarik minat berbagai kalangan, mulai yang awam soal hukum sampai para pakar, dimana penulis ada diantaranya, bukan pakar tetapi turut menyaksikan bagaimana praktek hukum ditanah air diterapkan. Tulisan ini sekaligus sebagai atensi bahwa usaha mencerdaskan nalar publik merupakan tanggungjawab semua pihak.
PUTUSAN PARA MAHKAMAH
MA mengabulkan gugatan Rachmawati Soekarnoputri, dkk atas uji materi pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 yang berbunyi: "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih." Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Publik juga mahfum bahwa putusan MA tersebut tidak dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenangkan pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin setelah gugatan Pasangan Prabowo Subijanto - Sandiaga Uno di tolak oleh MK. Sehingga penetapan Joko Widodo - Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres menjadi sebuah keniscayaan hukum. Dan dalil yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Joko Widodo - Ma'ruf Amin menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat sedangkan putusan MA bersifat prospektif atau berlaku kedepan, sejak tanggal diputuskan. Wajar bila kemudian ada yang berpendapat bahwa sengkarut putusan para Mahkamah tersebut adalah drama usang yang diputar ulang walaupun tanpa iklan, terutama saat menyaksikan upload foto Menhan RI menyimak arahan Presiden Jokowi dengan ta'dzim
Putusan para Mahkamah yang menegaskan bahwa pasangan Calon Presiden Joko Widodo - Ma'ruf Amin yang sekarang menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI memiliki legitimasi sesuai dengan ketentuan hukum perundang-undangan sebagaimana dikemukakan  oleh Yusril Izha Mahendra. Kemenangan paket Joko Widodo - Ma'ruf Amin dalam Pipres 2019 dikuatkan oleh berbabagai dalil hukum lengkap dengan argumentasinya yang menyertainya, diantaranya :
Pertama, putusan MK sudah sesuai dengan kewenangannya untuk mengadili sengketa Pilpres dan putusan yang telah dibuat tidak bertentangan dengan Undang-undang. Namun menurut Theo Huijbers bahwa pokok persoalan hukum bukanlah quid iuris, melainkan quid ius. Kebenaran hukum sebagai quid iuris berorientasi pada dan sebagai hukum positif yang berlaku dan sedang berlaku, disinilah kebenaran hukum putusan MK menjadi landasan legitimasi. Sedangkan kebenaran hukum sebagai quid ius berorientasi kepada sesuatu yang substantif dan esensial dimana sebagian pihak melihat kebenaran hukum putusan MA lebih kepada substansi demokrasi yang telah selesai di pemilu 2019. Jadi putusan MA tersebut tidak berkonsekuensi hukum terhadap putusan MK.
Kedua, MA tidak memiliki domain untuk menangani sengketa pemilu dan putusannya tidak bersifat retroaktif, surut ke belakang, sehingga tidak berlaku pada Pilpres 2019 karena putusan MA nomor 44 P/PHUM/2019 walaupun baru diunggah tanggal 3 Juli 2020 tetapi putusan telah dibuat 28 Oktober 2019. Dimana dalam putusannya, MA menyatakan bahwa pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1, tetapi Presiden terpilih telah ditetapkan dan dilantik per tanggal 1 Oktober 2019. Jadi putusan MA tersebut tidak memiliki konsekuensi apapun terhadap pelaksanaan Pilpres 2019.
Ketiga, KPU Pusat menegaskan bahwa Pilpres 2019 didasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemillu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden." Dan dalam hal ini pelaksanaan pilpres menurut Hasyim Asy"ari telah merujuk kepada UU No. 7/2019.
Keempat, Yusril Ihza Mahendra mendalillkan bahwa "Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan."
Dari sejumlah dalil hukum dan argumentasi tersebut sesungguhnya Putusan Mahkamah yang berlaku saat ini dan menjadi agenda untuk menjadi norma dimasa mendatang telah nyata untuk dirumuskan oleh para regulator pemilu. Namun bagi sebagian yang kontra terhadap putusan MK mengetengahkan pendapat bahwa putusan yang dibuat tidak serta merta mewakili suatu fakta kebenaran mengenai praktek penyelenggaraan pemilu yang LUBER & JURDIL atau "Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil". Kebutuhan suatu Pemilu yang sesuai dengan azas Luber & Jurdil menyeruak ke ruang publik seolah pelaksanaan pemilu 2019 telah berlangsung sebaliknya. Suatu hipotesa tentang eksistensi dari sistem demokrasi yang dibangun atas dasar kebenaran sebagai kebutuhan demi keberlangsungan demokrasi terus memproduksi opini dan persepsi. Kebutuhan itu ditambah dengan prasangka yang di simplifikasi sebagai suatu bentuk ketidakpuasan para pendukung kontestasi salah satu Pasangan Calon, bukan sebagai suatu koreksi atas berbagai kelemahan tata kelola demokrasi dalam pelaksanaan pemilu yang telah membuat masyarakat terpolarisasi secara diametral. Akibatnya, diskursus dalam rangka memproduksi kesadaran berdemokrasi yang dilandasi kebenaran dalam koridor law enforcement mengalami kejumudan.
KEBENARAN HUKUM BERSIFAT RELATIF
Beredarnya putusan MA bukan saja membuat praktek hukum di Indonesia disalahpahami tetapi seolah dianggap telah terjadi penyalahgunaan untuk menutupi kebenaran. Mengingat ada dua putusan Mahkamah terkait dengan proses pelaksanaan Pilpres 2019, maka kadar kepercayaan terhadap masing-masing putusan mahkamah tersebut sesuai dengan prasangka dan kebutuhan masing - masing dimana kedua putusan  dianggap sebagai suatu keputusan yang saling menegasikan antara yang satu dengan yang lain.
Putusan MA memang tidak membatalkan hasil Pilpres 2019, namun tidak bisa diabaikan bahwa ada fakta lain selain putusan MK yang menjadi dasar legitimasi Pilpres. Terlepas dari pemenang Pilpres, sesungguhnya permasalahan yang muncul kepermukaan lebih kepada distrust terhadap lembaga - lembaga yang ada, terutama pengadilan MA dan MK sebagai solusi akhir atau pemutus perkara dimana melekat dalam dirinya kewenangan menyelesaikan suatu perbedaan, perselisihan, dan sengketa diantara berbagai kepentingan. Putusan peradilan seyogyanya dilakukan atas dasar obyektifitas sehingga menemukan kebenaran hakiki dan salah mutlak. Sebab manakala putusan dari suatu pengadilan dipersoalkan maka sejatinya meragukan integritas peradilan itu sendiri dalam menilai fakta untuk kemudian menjadi kebenaran hukum. Sebab produk pengadilan yang dipahami sebagai suatu pembeda antara benar dan salah menjadi samar, mahkamah sebagai pengadilan yang maha mulia pun disoal.
Ada dua hal yang menjadi sorotan oleh sebagian kalangan berkenaan dengan putusan MA tersebut. Beredarnya putusan MA yang sudah diputus setahun lalu dengan kemudian ditampilkan secara online dalam situs resmi MA dianggap sebagai bagian dari suatu upaya untuk menutupi - nutupi fakta yang terjadi sepanjang sengketa Pilpres 2019. Argumenrasi ini tentu saja mengabaikan berbagai permasalahan administratif dan kinerja birokrasi di MA itu sendiri. Disamping itu, putusan MA dipandang tidak sejalan dengan putusan MK mengenai Pilpres 2019. Sebab diantara dua putusan tersebut tidak berkorespondensi. Sehingga salah satu putusan diragukan sebagai kebenaran hukum yang dihasilkan dari suatu peradilan yang menjadi landasan legitimasi Pilpres. Ada tiga teori dalam menentukan kriteria kebenaran hukum, yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatik.
Kebenaran hukum menurut teori korespondensi adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dengan situasi yang melingkupi pertimbangan itu. Jadi suatu putusan adalah benar jika materi hukum yang dikandung putusan itu berkorespondensi (berhubungan). Dalam pendekatan ini bisa dipandang bahwa putusan MA dengan MK tidak berkorespondesi. Teori yang kedua ialah koherensi. Berdasarkan teori ini suatu putusan dianggap benar bila putusan itu bersifat koheren atau konsisten dengan putusan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya, konsistensi antara putusan MK dengan putusan MA bisa dikatakan tidak menemukan koherensinya. Namun putusan MK konsisten dengan putusan sebelumnya, putusan No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 tetapi tidak koheren dengan UU No. 7/2017. Sedangkan putusan MA koheren dengan UU No. 7/2017 tentang pemilu sekaligus tidak konsisten dengan putusan MK. Dari sini kemudian dalil bahwa putusan MK setara dengan norma Undang-undang butuh diendapkan.
Teori ketiga ialah pragmatik yang
menganut kebenaran berdasarkan pada manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan. Teori ini menekankan kepada kebenaran hukum sebagai sesuatu yang harus dilihat dari manfaatnya secara praktis. Sehingga dalam perspektif kebenaran hukum secara pragmatis tidak berorientasi pada sebuah proses atau
suatu peristiwa hukum tetapi kepada hasil dari proses atau peristiwa hukum itu. Jadi sesuatu dikatakan benar apabila mempunyai manfaat, umumnya bagi kehidupan umat manusia. Apa yang dirasakan bermanfaat itulah kebenaran hukum. Dalam pendekatan ini maka putusan MA tersebut dianggap bukan sebagai kebenaran hukum karena bisa dikatakan tidak ada manfaatnya, karena putusan dibuat setelah hasil pemilu ditetapkan atau bahkan pelantikan Presiden. Jadi teori ini berbeda dengan dua teori sebelumnya.Â
Teori pragmatik tidak bisa digunakan secara mutlak dalam mencari dan mengungkapkan kebenaran hukum. Sebab das sollen dan das sein tidak selalu berjalan bersamaan. Das sollen adalah apa yang seharusnya, dimana kebenaran hukum masih pada tataran teoritik sebagaimana diungkapkan oleh para ahli hukum dimana hukum baru dalam bentuk bagaimana seharusnya. Sedangkan das sein lebih kepada hukum sebagai fakta kebenaran, yaitu hukum yang hidup berkembang dan berproses di tengah masyarakat (law in action). Das sein mencerminkan kebenaran hukum karena bersifat faktual.
Selain tiga teori tersebut diatas, dikenal pula asas presumption of innocent atau asas praduga tidak bersalah. Asas ini menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga yang menentukan apakah sesuatu itu merupakan suatu kebenaran atau bukan, kesalahan. Sehingga dalam pendekatan Das Sollen maka semua yang diputus tidak bersalah oleh pengadilan sudah pasti tidak bersalah, walaupun kenyataannya tidak selalu demikian. Begitu pula dengan Das Sein, bahwa segala sesuatu yang diputus bersalah oleh pengadilan belum tentu pelaku kejahatan. Artinya, pengadilan bisa berbuat tidak benar dengan memutus bersalah kepada yang bukan pelaku kejahatan. Disinilah kemudian terjadi jarak antara das sollen dengan das sein, sehingga kebenaran hukum bersifat relatif, termasuk dalam suatu putusan peradilan.
Pengadilan memang diasumsikan sebagai lembaga yang bebas nilai, dimana keberadaanya tidak ada lain selain untuk keadilan itu sendiri. Akan tetap individu - individu yang ada didalam lembaga peradilan itu tidak pernah bebas nilai, ia selalu berada pada conflict interest dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara hukum ataupun sebagai makhluk sosial, ekonomi, dan politik yang beroperasi melalui peradilan. Oleh sebab itu, terdakwa yang dihadapkan di pengadilan sejatinya bukan dihadapkan pada permasalahan antara benar dan salah tetapi antara menang dan kalah, karena ia berada diantara conflik interest yang berseteru sekaligus bersinergi. Hal ini sejalan dengan pendapat Thomas Hobbes tentang homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Bahwa hukum diharapkan menjadi rule of the games agar tidak saling memangsa sejatinya adalah sesuatu yang absurd. Keberpihakan antara penutut umum dengan penasehat / terdakwa lazimnya tidak pernah sejalan dalam menggali fakta tentang substansi kebenaran atau justru menutupi kebenaran itu sendiri, dimana diantara pihak terjadi conflict interest. Sedangkan harapan untuk menilai fakta kebenaran didalam pengadilan bertumpu kepada arifan Hakim yang acapkali abai dengan fakta persidangan akibat interest yang seringkali tidak ada hubungannya dengan pemenuhan keadilan dan kebenaran hukum. Artinya, seorang hakim juga bisa menjadi homo homini socius kepada selain kebenaran hukum dan keadilan manakala memiliki interest selain menciptakan keadilan, demikian halnya dengan jaksa penuntut. Karena kebenaran hukum condong kepada melindungi kepentingan, sedangkan peradilan lebih sebagai arena pertempuran kepentingan daripada suatu lembaga penentu kebenaran.
---***---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H