Beredarnya putusan MA bukan saja membuat praktek hukum di Indonesia disalahpahami tetapi seolah dianggap telah terjadi penyalahgunaan untuk menutupi kebenaran. Mengingat ada dua putusan Mahkamah terkait dengan proses pelaksanaan Pilpres 2019, maka kadar kepercayaan terhadap masing-masing putusan mahkamah tersebut sesuai dengan prasangka dan kebutuhan masing - masing dimana kedua putusan  dianggap sebagai suatu keputusan yang saling menegasikan antara yang satu dengan yang lain.
Putusan MA memang tidak membatalkan hasil Pilpres 2019, namun tidak bisa diabaikan bahwa ada fakta lain selain putusan MK yang menjadi dasar legitimasi Pilpres. Terlepas dari pemenang Pilpres, sesungguhnya permasalahan yang muncul kepermukaan lebih kepada distrust terhadap lembaga - lembaga yang ada, terutama pengadilan MA dan MK sebagai solusi akhir atau pemutus perkara dimana melekat dalam dirinya kewenangan menyelesaikan suatu perbedaan, perselisihan, dan sengketa diantara berbagai kepentingan. Putusan peradilan seyogyanya dilakukan atas dasar obyektifitas sehingga menemukan kebenaran hakiki dan salah mutlak. Sebab manakala putusan dari suatu pengadilan dipersoalkan maka sejatinya meragukan integritas peradilan itu sendiri dalam menilai fakta untuk kemudian menjadi kebenaran hukum. Sebab produk pengadilan yang dipahami sebagai suatu pembeda antara benar dan salah menjadi samar, mahkamah sebagai pengadilan yang maha mulia pun disoal.
Ada dua hal yang menjadi sorotan oleh sebagian kalangan berkenaan dengan putusan MA tersebut. Beredarnya putusan MA yang sudah diputus setahun lalu dengan kemudian ditampilkan secara online dalam situs resmi MA dianggap sebagai bagian dari suatu upaya untuk menutupi - nutupi fakta yang terjadi sepanjang sengketa Pilpres 2019. Argumenrasi ini tentu saja mengabaikan berbagai permasalahan administratif dan kinerja birokrasi di MA itu sendiri. Disamping itu, putusan MA dipandang tidak sejalan dengan putusan MK mengenai Pilpres 2019. Sebab diantara dua putusan tersebut tidak berkorespondensi. Sehingga salah satu putusan diragukan sebagai kebenaran hukum yang dihasilkan dari suatu peradilan yang menjadi landasan legitimasi Pilpres. Ada tiga teori dalam menentukan kriteria kebenaran hukum, yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatik.
Kebenaran hukum menurut teori korespondensi adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dengan situasi yang melingkupi pertimbangan itu. Jadi suatu putusan adalah benar jika materi hukum yang dikandung putusan itu berkorespondensi (berhubungan). Dalam pendekatan ini bisa dipandang bahwa putusan MA dengan MK tidak berkorespondesi. Teori yang kedua ialah koherensi. Berdasarkan teori ini suatu putusan dianggap benar bila putusan itu bersifat koheren atau konsisten dengan putusan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya, konsistensi antara putusan MK dengan putusan MA bisa dikatakan tidak menemukan koherensinya. Namun putusan MK konsisten dengan putusan sebelumnya, putusan No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 tetapi tidak koheren dengan UU No. 7/2017. Sedangkan putusan MA koheren dengan UU No. 7/2017 tentang pemilu sekaligus tidak konsisten dengan putusan MK. Dari sini kemudian dalil bahwa putusan MK setara dengan norma Undang-undang butuh diendapkan.
Teori ketiga ialah pragmatik yang
menganut kebenaran berdasarkan pada manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan. Teori ini menekankan kepada kebenaran hukum sebagai sesuatu yang harus dilihat dari manfaatnya secara praktis. Sehingga dalam perspektif kebenaran hukum secara pragmatis tidak berorientasi pada sebuah proses atau
suatu peristiwa hukum tetapi kepada hasil dari proses atau peristiwa hukum itu. Jadi sesuatu dikatakan benar apabila mempunyai manfaat, umumnya bagi kehidupan umat manusia. Apa yang dirasakan bermanfaat itulah kebenaran hukum. Dalam pendekatan ini maka putusan MA tersebut dianggap bukan sebagai kebenaran hukum karena bisa dikatakan tidak ada manfaatnya, karena putusan dibuat setelah hasil pemilu ditetapkan atau bahkan pelantikan Presiden. Jadi teori ini berbeda dengan dua teori sebelumnya.Â
Teori pragmatik tidak bisa digunakan secara mutlak dalam mencari dan mengungkapkan kebenaran hukum. Sebab das sollen dan das sein tidak selalu berjalan bersamaan. Das sollen adalah apa yang seharusnya, dimana kebenaran hukum masih pada tataran teoritik sebagaimana diungkapkan oleh para ahli hukum dimana hukum baru dalam bentuk bagaimana seharusnya. Sedangkan das sein lebih kepada hukum sebagai fakta kebenaran, yaitu hukum yang hidup berkembang dan berproses di tengah masyarakat (law in action). Das sein mencerminkan kebenaran hukum karena bersifat faktual.
Selain tiga teori tersebut diatas, dikenal pula asas presumption of innocent atau asas praduga tidak bersalah. Asas ini menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga yang menentukan apakah sesuatu itu merupakan suatu kebenaran atau bukan, kesalahan. Sehingga dalam pendekatan Das Sollen maka semua yang diputus tidak bersalah oleh pengadilan sudah pasti tidak bersalah, walaupun kenyataannya tidak selalu demikian. Begitu pula dengan Das Sein, bahwa segala sesuatu yang diputus bersalah oleh pengadilan belum tentu pelaku kejahatan. Artinya, pengadilan bisa berbuat tidak benar dengan memutus bersalah kepada yang bukan pelaku kejahatan. Disinilah kemudian terjadi jarak antara das sollen dengan das sein, sehingga kebenaran hukum bersifat relatif, termasuk dalam suatu putusan peradilan.
Pengadilan memang diasumsikan sebagai lembaga yang bebas nilai, dimana keberadaanya tidak ada lain selain untuk keadilan itu sendiri. Akan tetap individu - individu yang ada didalam lembaga peradilan itu tidak pernah bebas nilai, ia selalu berada pada conflict interest dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara hukum ataupun sebagai makhluk sosial, ekonomi, dan politik yang beroperasi melalui peradilan. Oleh sebab itu, terdakwa yang dihadapkan di pengadilan sejatinya bukan dihadapkan pada permasalahan antara benar dan salah tetapi antara menang dan kalah, karena ia berada diantara conflik interest yang berseteru sekaligus bersinergi. Hal ini sejalan dengan pendapat Thomas Hobbes tentang homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Bahwa hukum diharapkan menjadi rule of the games agar tidak saling memangsa sejatinya adalah sesuatu yang absurd. Keberpihakan antara penutut umum dengan penasehat / terdakwa lazimnya tidak pernah sejalan dalam menggali fakta tentang substansi kebenaran atau justru menutupi kebenaran itu sendiri, dimana diantara pihak terjadi conflict interest. Sedangkan harapan untuk menilai fakta kebenaran didalam pengadilan bertumpu kepada arifan Hakim yang acapkali abai dengan fakta persidangan akibat interest yang seringkali tidak ada hubungannya dengan pemenuhan keadilan dan kebenaran hukum. Artinya, seorang hakim juga bisa menjadi homo homini socius kepada selain kebenaran hukum dan keadilan manakala memiliki interest selain menciptakan keadilan, demikian halnya dengan jaksa penuntut. Karena kebenaran hukum condong kepada melindungi kepentingan, sedangkan peradilan lebih sebagai arena pertempuran kepentingan daripada suatu lembaga penentu kebenaran.
---***---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H