Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

20 Tahun Reformasi : Menimbang Cita-cita Demokrasi

21 Januari 2018   15:50 Diperbarui: 19 Juni 2023   19:21 2840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

20 TAHUN REFORMASI : MENIMBANG CITA-CITA DEMOKRASI

Oleh : Achmad Suhawi

Tahun 2018 dan 2019 merupakan masa krusial karena ada dua perhelatan besar sedang terjadi di Indonesia. Ada 171 Pilkada, baik Provinsi maupun Kabupaten / Kota pada tahun 2018. Dan Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden secara langsung di tahun 2019. Masih tertanam dalam kesadaran bangsa Indonesia betapa Pilkada yang terjadi di DKI Jakarta sangat menguras energi.

Optimisme pun timbul bahwa perlahan tapi pasti rakyat Indonesia semakin dewasa menapaki jalan demokrasi. Umat Islam sebagai golongan mayoritas mampu menunjukan kedewasaannya untuk berdemokrasi dengan baik dalam menyikapi berbagai perbedaan yang timbul ketika itu. Ujian ditahun 2017 memang memberikan hasil yang memuaskan atas praktek demokrasi yang terjadi, namun eskalasi politik tahun ini dan mendatang jauh berbeda dengan setahun lalu.

Pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi dirancang dan dimaksudkan bukan semata-mata untuk mengganti orang yang satu dengan yang lain, koruptor yang satu dengan koruptor yang baru, diktator yang lama dengan diktator muka baru, tapi lebih daripada itu. Demokrasi sebagai cerminan kehendak rakyat diorentasikan untuk mewujudkan kehendak rakyat. Namun demikian, setelah 20 tahun reformasi, tanda-tanda bahwa demokrasi yang berlangsung merupakan potret kehendak rakyat nampaknya tidak sepenuhnya benar.

Akar Demokrasi Indonesia

Diskursus mengenai demokrasi tidak terlepas dari tiga macam demokrasi yang digagas dalam setiap peradaban. Tiga macam demokrasi itu ialah demokrasi politik, demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik tampak dari adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Kepala Daerah yang dipilih melalui pemilu, dimana ia memiliki kewenangan untuk menjalankan suatu pemerintahan sebagai suatu manifestasi kedaulatan rakyat. 

Namun kedaulatan rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme menurut Bung Hatta. Bung Hatta menegaskan bahwa "kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia haruslah berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme." Dengan demikian demokrasi Indonesia merupakan sinthesa dari semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, aspek lokalitas.

Pertemuan antara spirit kebangsaan yang berkobar ditengah praktek kolonialisme dengan kehendak untuk mendirikan satu negara berdaulat yang menghargai hak asasi manusia (HAM) -- dengan segala keterbatasan akibat penjajahan -- telah melahirkan suatu konsepsi demokrasi perwakilan. Jadi demokrasi Indonesia bukan demokrasi yang mengagungkan individualisme, ia adalah suatu demokrasi yang diramu atas dasar nilai - nilai kebangsaan dan kearifan sebagai bangsa majemuk dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dari aspek sosial budaya, demografis serta geografis, sekaligus sebagai negara postcolonial. Oleh sebab itu, demokrasi Indonesia yang dicita - citakan adalah suatu demokrasi yang hendak menjalankan suatu keadilan politik sekaligus keadilan dalam hal ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi yang dijalankan bersamaan secara seimbang dapat menghadirkan demokrasi sosial, paling tidak secara teoritis.

Dalam demokrasi sosial berkeyakinan bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak kewarganegaraan yang sama, sejak lahir setiap warga negara setingkat dengan yang lain dan dia merdeka. Hal ini bertolak dari kenyataan bahwa orang sering lupa akan rangkaian demokrasi dengan persamaan. Kemerdekaan individu pun diutamakan. 

Persamaan yang dicita-citakan oleh demokrasi sosial itupun mengalami anomali tatkala bersanding dengan realitas demokrasi yang mengedepankan individualisme. Artinya, persamaan yang dipropagandakan dibalik kemerdekaan individu demokrasi liberal bersifat absurd  karena dalam prakteknya hanya membawa persamaan politik saja. Persamaan yang dicita-citakan kalau tidak mau dikatakan sebagai yang diceritakan, tidak berlaku dalam hal persamaan ekonomi. Demokrasi tetap menghadirkan praktek kedigdayaan modal, dimana kapital makin terkonsentrasi kepada sekelompok orang atau golongan saja. Disparitas antara si kaya dengan si miskin semakin kontras dari waktu ke waktu dalam praktek demokrasi liberal, sebab pilar-pilar demokrasi semakin menjadi alat kepentingan sekelompok elit berkuasa.

Dalam demokrasi politik, hak seseorang sama dengan hak orang lain, baik yang kaya maupun yang miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota DPR dan pimpinan eksekutif. Tetapi dalam demokrasi politik tidak ada persamaan perekonomian, persamaan yang dituju oleh demokrasi sosial pun menemukan ketimpangan dalam demokrasi politik. Karena itu, para founding father mencita-citakan demokrasi sosial, bukan sekedar demokrasi politik. Demokrasi sosial adalah suatu demokrasi dimana demokrasi politik dijalankan beriringan dengan demokrasi ekonomi secara harmonis. Demokrasi ekonomi merupakan upaya untuk menghapuskan perbedaan antara orang kaya dan orang miskin. Dan ketika demokrasi ekonomi tersebut mampu berjalan berdampingan dengan demokrasi politik, sejatinya demokrasi telah beranjak menjadi demokrasi sosial atau sosio-demokrasi.

Demokrasi sosial jika ditelisik dengan seksama menemukan basic structur-nya di Indonesia. Menurut Moch. Hatta, ada tiga sumber yang menghidupkan cita - cita demokrasi sosial di Indonesia: pertama, paham sosialis barat, karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibela oleh paham sosialis dan menjadi tujuannya; kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai makhluk Tuhan sesuai dengan sifat Allah yang pengasih dan penyayang. Indonesia merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Dan sudah sewajarnya apabila persaudaraan diantara rakyat Indonesia terjalin dengan erat sebagaimana dianjurkan oleh Islam; ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Singkat kata, sudah sepatutnya bila demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial. Demokrasi dalam konteks politik tidak dapat memberikan jaminan kesejahteraan. Dan demokrasi yang berlangsung diberbagai belahan dunia dewasa ini hanya sebatas memfasilitasi berlangsungnya kontrol publik dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Konsolidasi dan Pelembagaan Demokrasi

Indonesia memiliki cita-cita demokrasi dan hendak menjadi negara demokratis. Akan tetapi dalam pelaksanaannya cenderung menciderai hakekat dari demokrasi itu sendiri. Walaupun hal ini bisa saja diberikan permakluman-permakluman, mengingat negera yang sudah lama menjalankan demokrasi masih saja terdapat penyalahgunaan kekuasaan, apalagi negara yang baru lahir kemudian, walaupun berkomitmen kuat mengentaskan rakyatnya dengan jalan demokrasi seperti Indonesia. Penyalahgunaan kekuasaan jamak dengan kehendak untuk berkuasa.

Praktek demokrasi di Indonesia merupakan praktek yang sangat dominan dengan keinginan untuk berkuasa -- selalu dikekuasaan -- padahal dalam konteks demokrasi, berada diluar kekuasaan merupakan upaya melakukan pemantapan terhadap prinsip - prinsip demokrasi, pelembagaan demokrasi. Bagaimanapun demokrasi membutuhkan suatu mekanisme check and balance, apalagi pelembagaan demokrasi di Indonesia belum terjadi. Hal itu terlihat dari praktek koalisi dan oposisi yang masih sangat rentan, pragmatis, dan lebih banyak mengedepankan taktis politik daripada kesadaran untuk meningkatkan taraf hidup rakyat serta kemajuan bangsa.

Kesadaran aktor-aktor demokrasi, baik parpol, civil society, maupun media massa masih didominasi oleh kehendak untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Menjadi bagian dari pemerintahan atau kekuasaan sama artinya dengan "membagi rejeki"  atau "kue kekuasaan". Konsekuensi kesadaran ini ialah kecenderungan untuk selalu mengutamakan golongan sendiri, sedangkan kepentingan masyarakat menjadi nomor sekian. Bukankah hal semacam ini merupakan praktek nepotisme, oligarki politik, sarang ternak koruptor. Dengan praktek demokrasi yang demikian jangan heran apabila seorang pejabat publik memperoleh tugas untuk melakukan tindakan - tindakan yang memberikan keuntungan bagi kelompoknya. 

Padahal, jabatan publik tersebut pada hakekatnya adalah alat untuk menyerap, mengagregasi, mengartikulasi, dan memperjuangkan  kepentingan rakyat agar menjadi kebijakan yang konkrit sebagai suatu mandat bagi pemangku kebijakan. Kenyataanya, kekuasaan dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya. Idealnya kekuasaan menjadi alat dalam mencapai tujuan negara agar sesuai dengan kepentingan rakyat sebagaimana dirumuskan dalam tujuan bernegara, UUD 1945.

Konsolidasi demokrasi merupakan keniscayaan agar demokrasi tidak berhenti pada ritual 5 (lima) tahunan, dimana rakyat terperangkap dengan candu yang bernama demokrasi tapi prakteknya jauh dari substansi kepentingan rakyat yang paling mendasar. Demokrasi politik tanpa berbarengan dengan demokrasi ekonomi memiliki kelemahan. Karena tujuan demokrasi dapat dikalahkan dengan berbagai kepentingan. 

Selubung kepentingan untuk mengalahkan tujuan demokrasi termasuk memperlambat proses pengambilan keputusan dan atau kebijakan yang menimbulkan kerumitan dan persoalan ditengah - tengah masyarakat. Di tengah kerumitan itulah ada pihak-pihak yang mengail di air keruh, mengambil keuntungan ditengah kepanikan publik dan ketidak pastian hukum. Mereka yang mengambil keuntungan dicelah-celah demokrasi bisa dikatagorikan sebagai predator demokrasi. 

Indonesia sedang mencari model demokrasi yang lebih ideal guna mewujudkan demokrasi sosial. Demokrasi sosial merupakan tahapan lebih lanjut dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substantif. Demokrasi sosial terjadi manakala demokrasi tersebut ditopang oleh suatu tata aturan yang mendukung terjadinya demokrasi politik berjalan bersamaan dengan demokrasi ekonomi, untuk itu diperlukan kesadaran rakyat atas substansi demokrasi yang digagas dimana praktek dari demokrasi dimaksukan untuk meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan rakyat. Tahapan -- proses kearah demokrasi sosial memerlukan konsolidasi secara berkesinambungan.

Konsolidasi demokrasi membutuhkan beberapa prasyarat, diantaranya : pertama, Menciptakan sistem kepartaian yang kuat sesusai dengan konstitusi yang berlaku dan formula demokrasi yang dianut. Ironisnya, potret pemilu masih jauh panggang dari api. Kecurangan pemilu tahun 2014 terjadi dengan nyata paska putusan Mahkamah Agung 2017 atas daerah pemilihan (DAPIL) Jawa Timur 1 yaitu Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. 

Padahal Dapil tersebut merupakan derah perkotaan terbesar kedua setelah Ibu Kota Negara, DKI Jakarta. Praktek kecurangan pemilu tidak bisa dilihat secara parsial dimana pelakunya hanya antara kontestan yang satu dengan kontestan yang lain. Sebab tidak tertutup kemungkinan ada oknum penyelenggara yang turut memberikan andil atas "Pencurian Kursi" semacam ini. Artinya, demokrasi dengan formula pemilu yang ada masih sangat rentan dari praktek anti demokrasi. Sementara konsolidasi demokrasi yang sejatinya menjadi kebutuhan kolektif bangsa Indonesia diabaikan begitu saja.

Indonesia secara konstitusional menganut sistem multi partai tak terbatas ditengah kerinduan menciptakan politik nasional yang lebih stabil. Bahkan secara tidak tertulis ada harapan untuk melakukan penyederhanaan sistem kepartain secara gradual. Dari 48 kontestan pemilu pada tahun 1999 menjadi 24 partai politik dalam pemilu 2004. Atas nama demokrasi, kelonggaran demi kelonggaran pun dilakukan, sehingga peserta pemilu tahun 2009 mencapai 44 partai politik (38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal), dan 13 partai politik pada pemilu 2014. 

Apabila pemilu tahun 2014 dengan 13 partai politik sebagai kontestan dan Dapil perkotaan masih memberi ruang bagi "Pencuri Kursi", lalu bagaimana dengan kontestan pemilu yang demikian banyak serta Dapil yang jauh dari perkotaan. Realitas ini diperparah dengan keberadaan partai politik yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Padahal, fungsi partai politik diantaranya melakukan kontrol, rekrutmen, sarana komunikasi, sarana sosialisasi politik, pengatur konflik serta mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat. Akan tetapi fungsi dan peran partai politik terus terdegradasi secara signifikan, sehingga pelembagaan politik tidak kunjung definitif karena cenderung transaksional demi kepentingan sesaat.

Kedua, Terbentuknya civil society yang memiliki fundamental kuat, dengan hak untuk menyatakan pendapat,  memperoleh dan mengetahui informasi secara bebas, serta hak untuk di dengar. Dan kita patut bersyukur karena itu semua telah kita alami bersama. Walaupun beberapa media massa mainstream sebagai sumber informasi masih dikuasai oleh pemilik kapital tertentu saja. Akibatnya, ruang publik yang dipergunakan oleh media massa tidak pernah bebas nilai dan sarat pesan kepentingan sang pemilik media massa; 

Ketiga, Supermasi hukum yang mampu menciptakan kondisi transparansi dalam segala hal, termasuk pemberantasan praktek nepotisme -- kolusi -- korupsi. Kritik bahwa hukum di Indonesia tajam kebawah tapi tumpul keatas merupakan fenomena yang menggambarkan bahwa supremasi hukum belum terjadi. Dan sebagai negara hukum diperlukan supremasi hukum agar Indonesia menjadi negara hukum yang kuat dan mampu menghadirkan kepastian hukum.

Keempat, Good governance agar mampu mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, baik secara makro maupun mikro. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan suatu iklim politik yang lebih stabil sebagai bentuk good government. Dalam hal mana pemerintah lebih dipandang sebagai regulator, fasilitator dan katalisator, bukan sebagai pemain ekonomi. Dan tentu saja masih sejalan dengan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Apabila itu semua mampu dilakukan oleh bangsa Indonesia, maka konsolidasi demokrasi terjadi. Dengan demokrasi yang baik diharapkan kesejahteraan rakyat terpenuhi. Ironisnya, akrobat politik atas nama demokrasi telah mengorbankan kepentingan masyarakat secara luas. Padahal, demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya -- lupa syarat-syarat hidupnya -- cenderung mengedepankan euforia pada akhirnya dapat menjadi anarkhi. 

Semangat ultrademokrasi ada pula resikonya, sebab cenderung melupakan sistem pemerintahan presidensiil yang tertanam dalam UUD 1945 dan cenderung untuk mereduksi menjadi parlementer. Padahal demokrasi bisa berjalan dengan baik apabila ada tanggungjawab dan toleransi dari para pemimpin-pemimpin politik. Dan transisi demokrasi merupakan fase yang amat rentan. Transisi demokrasi rentan dengan anarkhi karena suasana kebhatinan masyarakat masih dilingkupi dengan euforia. Transisi demokrasi membutuhkan pemerintahan yang relatif stabil agar mampu menjawab kebutuhan mendesak dari rakyat. Sebab, pada saat demokrasi menjadi anarkhi, kemudian ia hanya akan tinggal menunggu waktu untuk digantikan oleh sistem diktator.

___***___

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun