Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

20 Tahun Reformasi : Menimbang Cita-cita Demokrasi

21 Januari 2018   15:50 Diperbarui: 19 Juni 2023   19:21 2840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal Dapil tersebut merupakan derah perkotaan terbesar kedua setelah Ibu Kota Negara, DKI Jakarta. Praktek kecurangan pemilu tidak bisa dilihat secara parsial dimana pelakunya hanya antara kontestan yang satu dengan kontestan yang lain. Sebab tidak tertutup kemungkinan ada oknum penyelenggara yang turut memberikan andil atas "Pencurian Kursi" semacam ini. Artinya, demokrasi dengan formula pemilu yang ada masih sangat rentan dari praktek anti demokrasi. Sementara konsolidasi demokrasi yang sejatinya menjadi kebutuhan kolektif bangsa Indonesia diabaikan begitu saja.

Indonesia secara konstitusional menganut sistem multi partai tak terbatas ditengah kerinduan menciptakan politik nasional yang lebih stabil. Bahkan secara tidak tertulis ada harapan untuk melakukan penyederhanaan sistem kepartain secara gradual. Dari 48 kontestan pemilu pada tahun 1999 menjadi 24 partai politik dalam pemilu 2004. Atas nama demokrasi, kelonggaran demi kelonggaran pun dilakukan, sehingga peserta pemilu tahun 2009 mencapai 44 partai politik (38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal), dan 13 partai politik pada pemilu 2014. 

Apabila pemilu tahun 2014 dengan 13 partai politik sebagai kontestan dan Dapil perkotaan masih memberi ruang bagi "Pencuri Kursi", lalu bagaimana dengan kontestan pemilu yang demikian banyak serta Dapil yang jauh dari perkotaan. Realitas ini diperparah dengan keberadaan partai politik yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Padahal, fungsi partai politik diantaranya melakukan kontrol, rekrutmen, sarana komunikasi, sarana sosialisasi politik, pengatur konflik serta mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat. Akan tetapi fungsi dan peran partai politik terus terdegradasi secara signifikan, sehingga pelembagaan politik tidak kunjung definitif karena cenderung transaksional demi kepentingan sesaat.

Kedua, Terbentuknya civil society yang memiliki fundamental kuat, dengan hak untuk menyatakan pendapat,  memperoleh dan mengetahui informasi secara bebas, serta hak untuk di dengar. Dan kita patut bersyukur karena itu semua telah kita alami bersama. Walaupun beberapa media massa mainstream sebagai sumber informasi masih dikuasai oleh pemilik kapital tertentu saja. Akibatnya, ruang publik yang dipergunakan oleh media massa tidak pernah bebas nilai dan sarat pesan kepentingan sang pemilik media massa; 

Ketiga, Supermasi hukum yang mampu menciptakan kondisi transparansi dalam segala hal, termasuk pemberantasan praktek nepotisme -- kolusi -- korupsi. Kritik bahwa hukum di Indonesia tajam kebawah tapi tumpul keatas merupakan fenomena yang menggambarkan bahwa supremasi hukum belum terjadi. Dan sebagai negara hukum diperlukan supremasi hukum agar Indonesia menjadi negara hukum yang kuat dan mampu menghadirkan kepastian hukum.

Keempat, Good governance agar mampu mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, baik secara makro maupun mikro. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan suatu iklim politik yang lebih stabil sebagai bentuk good government. Dalam hal mana pemerintah lebih dipandang sebagai regulator, fasilitator dan katalisator, bukan sebagai pemain ekonomi. Dan tentu saja masih sejalan dengan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Apabila itu semua mampu dilakukan oleh bangsa Indonesia, maka konsolidasi demokrasi terjadi. Dengan demokrasi yang baik diharapkan kesejahteraan rakyat terpenuhi. Ironisnya, akrobat politik atas nama demokrasi telah mengorbankan kepentingan masyarakat secara luas. Padahal, demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya -- lupa syarat-syarat hidupnya -- cenderung mengedepankan euforia pada akhirnya dapat menjadi anarkhi. 

Semangat ultrademokrasi ada pula resikonya, sebab cenderung melupakan sistem pemerintahan presidensiil yang tertanam dalam UUD 1945 dan cenderung untuk mereduksi menjadi parlementer. Padahal demokrasi bisa berjalan dengan baik apabila ada tanggungjawab dan toleransi dari para pemimpin-pemimpin politik. Dan transisi demokrasi merupakan fase yang amat rentan. Transisi demokrasi rentan dengan anarkhi karena suasana kebhatinan masyarakat masih dilingkupi dengan euforia. Transisi demokrasi membutuhkan pemerintahan yang relatif stabil agar mampu menjawab kebutuhan mendesak dari rakyat. Sebab, pada saat demokrasi menjadi anarkhi, kemudian ia hanya akan tinggal menunggu waktu untuk digantikan oleh sistem diktator.

___***___

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun