Puji-pujian sebelum acara sholat isya dan sajian tajil atau lebih populer dengan sebutan "jaburan" itulah yang ngangeni, yang sekarang tidak ditemui lagi. Senandung puji-pujian enak didengar, mudah dihafal dan maknanya mendalam sebagai peringatan para jamaah.
Salah satu puji-pujian tempo dulu yang sekarang masih sering kita dengar dan masih dikenal oleh banyak kalangan ialah:
TOMBO ATI
Tombo ati iku limo perkarane
Kaping pisan moco Qur'an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang
sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Tombo ati iku limo perkarane
Kaping pisan moco Qur'an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Terjemahan bebas
Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Qur'an dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perpanjanglah
Salah satunya siapa bisa menjalaniÂ
Moga-moga Allah Ta'ala mencukupi
Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Qur'an dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perpanjanglah
Salah satunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Allah Ta'ala mencukupi
Khusus setelah tarawih malam dua puluh satu atau malem selikuran, tidak ada jaburan, namun ada acara khusus yang saya kurang paham maknanya, yang jelas saya ingat dan waktu itu hal yang menggembirakan adalah pengganti dari jaburan adalah nasi dan lauk pauk. Artinya pulang tarawih perut kenyang.
Kenapa menggembirakan, karena pada jaman itu jarang makan sampai perut kenyang. Itulah kondisi yang ada. Jadinya saya ingat, betapa perjuangan yang gigih Bapak dan Ibu (kami tujuh bersaudara memanggil ibu dengan panggilan Simbok atau Mbok Enom) dan Nenek (kami panggil dengan panggilan Mbok Tuwo).
Bapak kerjanya sebagai petani. Karena lahan sawahnya sangat sedikit, Bapak juga menggarap tanah orang lain dengan bagi hasil. Mbok Enom dagang  di pasar. Karena nggak ada modal dengan cara "eber-eber" yaitu ambil barang dagangan orang lain, mbayarnya belakangan setelah barangnya laku dijual. Jualannya Mbok enom pasarnya berpindah-pindah tergantung hari pasaranya.Â
Hari pasaran ada lima yaitu: Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing.  Hal yang mengharukan adalah bawa barang dagangannya digendong dengan jarak tempuh yang terjauh sekitar 14 km. Sungguh mengharukan...😥
Kembali ke malam selikuran, ada tradisi sebelum subuh orang orang pergi ke pantai, jalan kaki walau jaraknya cukup jauh. Pulangnya membawa rumput yang tumbuh di pesisir yaitu "trenggiling. Rumput ini bila dibakar berbunyi seperti bunyi mercon.
Waktu berjalan terus, tibalah saatnya mendengar lagi bunyi beduk mulai bada sholat zuhur sampai menjelang sholat asar. Itu pertanda hari terakhir puasa. pertanda lain ada pasar sore, pengunjungnya rame untuk belanja mempersiapkan menu lebaran.Â
Hari terakhir puasa rasanya sangat lama menunggu waktu magrib tiba. Pertanda waktu magrib tiba di samping bunyi bedug di Masjid juga dipakai sebagai tanda adalah bila daun petai cina telah tidur (daunnya mengatup).
Situasi malam lebaran nampak spesial. lampu-lampu di dapur menyala karena lagi masak. Para ibu-ibu di malam itu sibuk masak. Pagi-pagi sebelum subuh masakan sudah rapih.Â
Makanan favoritnya adalah apem dan peyek. Tidak ada tradisi masak ketopat. Baru masak ketopat apabila pas acara kenaikan kelas di sekolah. masing-masing anak sekokah rakyat membawa ketopat dengan lauk tempe bacem. Di malam lebaran di setiap depan halaman rumah ditaruh jambangan atau ember dikasih air, kembang, dan uang logam.
Di malam takbiran anak-anak remaja bertakbir keliling kampung dengan penerangan  oncor dan lampu petromax.
Para Bapak-Bapak menyampaikan zakat fitrah ke Pak Dukuh (Dukuh adalah jabatan pamong desa terendah, dibawah kelurahan). Seingat saya besarnya zakat fitrah tidak ditentukan, terserah warga, dan penyalurannyapun tidak jelas. Begitulah pemahamannya tentang agama Islam sangat terbatas.
Lalu paginya, kalau saya ingat lebih menggelikan lagi. Sebagian orang sholat Idhul Fitri di masjid dan di lapangan. Seingat saya, yang sholat di lapangan sebelum sampai lapangan dicegat panitia untuk ngisi sedekah yang ditaruh di besek yang di beri lubang untuk memasukkan uang. Yang tidak  punya uang memasukkan kerikil. Kenapa harus memasukkan kerikil karena untuk menghitung jumlah jamaah yang hadir.
Namun sebagian orang yang lain, kalau diingat sangat menggelikan, tidak berangkat sholat Idul Fitri, namun memandikan sapi di sungai lalu sapinya diberi kembang.
Bada sholat Idul fitri, di rumah kami cukup ramai. Di samping acara halal bihalal atau sungkeman, tamu di rumah cukup banyak. Nenek saya dulu suka memijit anak yang baru lahir.
Lagi-lagi ada istilah fitrah. Tamunya nenwk disampinh halal bihalal juga kasih uang dengan ucapan "Ini fitrahnya si Fulan". Â Si Fulan adalah anaknya yang dipijit nenek saya.
Kalau di hari-hari biasa perut jarang kenyang, dihari lebaran perut sungguh sangat kenyang sekali sampai sampai bila "antop atau bersendawa" bau mulutnya tidak enak. Agar perut yang buncit karena kekenyangan itu terasa lega lalu minum saparela.
       ---bersambung---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H