Mohon tunggu...
Suharyanto
Suharyanto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan Bermanfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar dan Bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Covid-19 Memancing Saya Mengenang Ibadah Tarawih dan Lebaran Tempo Dulu (Bagian 3)

26 April 2020   22:30 Diperbarui: 26 April 2020   22:46 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Situasi malam lebaran nampak spesial. lampu-lampu di dapur menyala karena lagi masak. Para ibu-ibu di malam itu sibuk masak. Pagi-pagi sebelum subuh masakan sudah rapih. 

Makanan favoritnya adalah apem dan peyek. Tidak ada tradisi masak ketopat. Baru masak ketopat apabila pas acara kenaikan kelas di sekolah. masing-masing anak sekokah rakyat membawa ketopat dengan lauk tempe bacem. Di malam lebaran di setiap depan halaman rumah ditaruh jambangan atau ember dikasih air, kembang, dan uang logam.

Di malam takbiran anak-anak remaja bertakbir keliling kampung dengan penerangan  oncor dan lampu petromax.

Para Bapak-Bapak menyampaikan zakat fitrah ke Pak Dukuh (Dukuh adalah jabatan pamong desa terendah, dibawah kelurahan). Seingat saya besarnya zakat fitrah tidak ditentukan, terserah warga, dan penyalurannyapun tidak jelas. Begitulah pemahamannya tentang agama Islam sangat terbatas.

Lalu paginya, kalau saya ingat lebih menggelikan lagi. Sebagian orang sholat Idhul Fitri di masjid dan di lapangan. Seingat saya, yang sholat di lapangan sebelum sampai lapangan dicegat panitia untuk ngisi sedekah yang ditaruh di besek yang di beri lubang untuk memasukkan uang. Yang tidak  punya uang memasukkan kerikil. Kenapa harus memasukkan kerikil karena untuk menghitung jumlah jamaah yang hadir.

Namun sebagian orang yang lain, kalau diingat sangat menggelikan, tidak berangkat sholat Idul Fitri, namun memandikan sapi di sungai lalu sapinya diberi kembang.

Bada sholat Idul fitri, di rumah kami cukup ramai. Di samping acara halal bihalal atau sungkeman, tamu di rumah cukup banyak. Nenek saya dulu suka memijit anak yang baru lahir.

Lagi-lagi ada istilah fitrah. Tamunya nenwk disampinh halal bihalal juga kasih uang dengan ucapan "Ini fitrahnya si Fulan".  Si Fulan adalah anaknya yang dipijit nenek saya.

Kalau di hari-hari biasa perut jarang kenyang, dihari lebaran perut sungguh sangat kenyang sekali sampai sampai bila "antop atau bersendawa" bau mulutnya tidak enak. Agar perut yang buncit karena kekenyangan itu terasa lega lalu minum saparela.

              ---bersambung---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun