Miftah pun datang ke rumah penjual es untuk meminta maaf atas ujaran yang tidak menyenangkan itu. Permasalahan pun selesai antara Miftah dan penjual es. Namun,di luaran sana hujatan terhadap perbuatan itu terus bergulir dan digoreng para nitizen. Tidak ketinggalan para ulama pun ikut berkomentar atas peristiwa itu. Intinya menyayangkan hal itu terjadi.
Memang apa yang dilakukan Miftah bisa masuk kategori suul adab atau adab yang buruk. Para cerdik pandai sering mengatakan banyaknya ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak mampu menutupi satu adab, sementara satu adab bisa menutupi banyaknya ilmu pengetahuan. Maka itu, adab kedudukannya lebih penting dari ilmu.Â
Para cerdik pandai pun mengatakan tentang mana yang harus didahulukan memberikan ilmu pengetahuan atau adab terlebih dahulu. Maka mereka sepakat mendahulukan adab baru ilmu pengetahuan. Hal ini, sejalan dengan misi pertama Rasulullah menyempurnakan akhlak.Â
Terus bagaimana dengan si Miftah? Kalau kata orang Betawi "Boro-boro dia menyempurnakan akhlak masyarakat, dia aje nggak punya akhlak."
Memang menjadi pendakwah tidak semudah yang dibayangkan, di samping mempunyai ilmu pengetahuan yang luas juga mempunyai akhlak sempurna karena seluruh perkataan, perbuatan, dan tingkah lakunya akan dicontoh. Sedikit salah langkah bisa patal urusannya apalagi di era digital ini, semua perbuatan bisa terekspos keseluruh belahan dunia.
Mari peristiwa si Miftah dan penjual es bisa kita jadikan pembelajaran dalam berselancar mengarungi kehidupan ini. Pandai-pandailah memelihara lisan. Syeh Abdul Qadir Jaelani dalam Fathur Rabbani wa faidul Rahmani mengatakan "Terpelesetnya kaki lalu tumbang lebih baik dari pada terpelesetnya lidah yang menyakitkan."
Cakung,
 6 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H