Kalau pun ada, persyaratannya terbilang rumit (birokratis), karena mengurus segala dokumen persyaratan yang harus dilengkapi, anehnya lagi persyaratan itu kadang yang tak dimiliki masyarakat desa secara umum. Kedua, pembangunan infrastruktur, pembangunan di desa-desa seolah-olah lempar-melempar antara pemerintah kabupaten/kota, dengan pemerintah desa, bahkan lembaga legislatif seperti DPRD pun juga terkena lemparan urusan pembangunan infrastruktur di desa.
Yang terjadi di lapangan misalnya pemerintah desa (Kepala Desa) melempar pada pemerintah kabupaten/kota (Bupati/Wali Kota) dengan alasan ini jalan poros kabupaten/kota, jadi bukan wewenang saya untuk memperbaiki, ini wewenang Pemkab/Pemkot. Kemudian pemerintah kabupaten/kota melempar pada lembaga legislatif (Anggota DPRD) dan mengatakan bahwa ini wewenang wakil rakyat yang dulunya Daerah Pemilihan (Dapil) di desa ini.
Melihat kejadian diatas, semacam bermain bola api dari satu orang kemudian ditendang atau dilempar kepada yang lain, ini bahaya sekaligus mengancam jika dibiarkan, dan juga akan menghambat proses pembangunan untuk kemajuan, bagaimana Indonesia bisa maju, kalau pembangunan di desa-desa pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) masih menggunakan asas egosektoral (saling melempar atau mementingkan lembaganya masing-masing).
Ketiga, pengawasan pengelolaan keuangan, keuangan di desa tidak hanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), selain itu, ada keuangan Pendapatan Asli Desa (PAD), Dana Bagi Hasil Pajak kabupaten/kota, Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Bantuan Keuangan dari pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, Dana Hibah dan Sumbangan Pihak Ketiga yang tidak mengikat, Pinjaman Desa, dan Dana Desa (DD).
Dari sekian banyak sumber keuangan di desa, kurangnya pengawasan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), atau pun pengawasan dari pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) dapat mengakibatkan penyalahgunaan keuangan, besarnya peluang untuk menggarong atau mengambil keuangan desa yang hampir jutaan, miliaran, bahkan triliunan karena kurangnya pengawasan ketat dari atas, sehingga orang-orang yang berkuasa dapat leluasa dan bebas mengambil kapan pun dan digunakan untuk kepentingan apa pun. Karenanya, kontrol dari pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) harus ditingkatkan.
Keempat, pemberdayaan potensi desa berdasarkan klasifikasi menurut aktivitas dan tingkat perkembangannya. Potensi desa dibagi menjadi dua macam. Potensi Fisik: tanah, air, iklim atau cuaca, tumbuh-tumbuhan (flora), dan hewan (fauna). Potensi non fisik berupa masyarakat desa, lembaga-lembaga di desa, dan aparatur desa. Menurut aktivitasnya desa diklasifikasikan menjadi tiga: Desa Agraris, yang mata pencaharian utama penduduknya hasil dari pengolahan pertanian dan perkebunan.
Desa Industri, pendapatannya merupakan hasil dari industri kecil rumah tangga. Desa Nelayan, aktivitas dan mata pencaharian penduduknya di bidang perikanan dan pertambakan. Kemudian menurut tingkat perkembangannya, yaitu: Desa Swadaya, yang hampir mirip dengan desa agraris (aktivitas).
Namun, perkembangannya sangat bergantung pada pengelolaan yang harus dilakukan dengan baik, karena memiliki potensi tertentu. Desa Swakarya, peralihan atau transisi dari desa swadaya menuju desa swasembada, meskipun jauh dari pusat perekonomian, potensi pembangunan infrastruktur dan tingkat pendidikan mulai berkembang.
Terakhir Desa Swasembada, lokasi desa ini berada di ibu kota kecamatan, potensi desa yang dikembangkan tidak hanya sumber daya manusia (SDM), tapi juga sumber daya alam (SDA). selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pembangunan sangat tinggi, sehingga desa swasembada masuk pada kedudukan desa mandiri.
Berdasarkan penjelasan dari pemberdayaan potensi desa menurut aktivitas dan perkembangannya, maka sangat besar potensi Indonesia akan maju, selain potensi sumber daya alam yang sangat berlimpah, potensi sumber daya manusia yang tak kalah penting untuk terus dikembangkan menjadi lebih terarah. Namun, terkadang pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) tidak mau tahu itu, dan tak peduli dengan pemberdayaan potensi desa berdasarkan klasifikasi menurut aktivitas dan perkembangannya.
Kelima, penguatan lembaga kemasyarakatan desa, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa Pasal 6 Ayat (1) Jenis LKD paling sedikit meliputi: a. Rukun Tetangga; b. Rukun Warga; c. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga; d. Karang Taruna; e. Pos Pelayanan Terpadu; dan f. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.