Mohon tunggu...
Coretan Bung Anto
Coretan Bung Anto Mohon Tunggu... Administrasi - Founder Pemuda Percaya Diri (PPD)

"Manusia yang ingin terus belajar dan memberi manfaat terhadap lingkungan sekitar."

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Desa: Awal Kemajuan Indonesia

5 Januari 2021   00:41 Diperbarui: 5 Januari 2021   00:55 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Masyarakat Desa

Oleh: Bung Antor

Desa atau udik merupakan kumpulan dari beberapa unit permukiman kecil yang disebut kampong (Madura), kampung (Banten, Jawa Barat, Papua, Kutai Barat, dan Kalimantan Timur), dusun (Yogyakarta) gampong (Aceh) Banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat).

Desa diatur dan di pimpin oleh Kepala Desa, dapat disebut juga dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klebun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Kuwu di Cirebon, dan Hukum Tua di Sulawesi Utara.

Desa yang kebanyakan berada di pedalaman atau wilayah terpencil merupakan sistem pemerintahan paling bawah diantara provinsi, kabupaten atau kota, dan kecamatan. Bambang Utoyo salah satu ahli desa menyebut bahwa desa merupakan tempat sebagian besar penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian dan menghasilkan bahan makanan.

Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, terdapat total 514 kabupaten dan kota. Dari jumlah total 514 tersebut terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.490 kelurahan, dan 74.957 desa yang ada di Indonesia.

Dengan data desa yang jumlahnya terbilang banyak, maka kemajuan Indonesia sangat ditentukan oleh pengembangan dan pembangunan desa-desa di Indonesia, baik itu pengembangan sumber daya manusianya atau pembangunan infrastruktur secara berkala.

Selain pengembangan sumber daya manusia, dan pembangunan infrastruktur (jalan, fasilitas umum, jembatan, dll), pengawasan pengelolaan keuangan, pemberdayaan potensi desa berdasarkan klasifikasi (pengelompokan) menurut aktivitas dan tingkat perkembangannya, serta penguatan lembaga kemasyarakatan desa yang ada di desa-desa di Indonesia juga sangat dibutuhkan.

Setelah dicari akar permasalahannya, pemerintah belum bisa beralih dan masih menggunakan cara berpikir lama, yaitu Indonesia membangun desa, wajar saja jika pemerintah pusat/provinsi/kabupaten atau kota masih kurang memperhatikan perkembangan yang ada di desa. Padahal cara berpikir lama (Indonesia Membangun Desa) itu sudah diganti dengan cara berpikir baru (Desa Membangun Indonesia), mengapa? Agar bisa memulai dari hal-hal kecil yang ada di desa untuk membangun Indonesia.

Mari ulas satu persatu tentang kemajuan Indonesia yang berawal dari desa. Pertama, pengembangan sumber daya manusia, dalam hal ini pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) masih sangat minim terkait pengembangan SDM, "pemerataan pendidikan dan persamaan hak dalam memperoleh pendidikan yang layak".

Dengan dibuktikan kurangnya informasi yang utuh dan menyeluruh tentang pentingnya pendidikan, juga pola pikir (mindset) masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan atau pernikahan dini jauh lebih penting ketimbang pendidikan, lebih-lebih pendidikan tinggi (kuliah). Disini pemerintah belum bisa hadir memberikan solusi yang tepat.

Pola pikir tersebut tidak berhenti disitu saja, tetapi merambat pada keterbatasan ekonomi masyarakat yang hampir secara keseluruhan ekonominya menengah ke bawah. Sehingga beranggapan bahwa kuliah yang terlintas dalam benaknya hanya biaya yang sangat mahal, inilah yang menjadi permasalahan, lebih-lebih informasi beasiswa (bantuan biaya pendidikan) masih terbatas, dan tidak tepat sasaran.

Kalau pun ada, persyaratannya terbilang rumit (birokratis), karena mengurus segala dokumen persyaratan yang harus dilengkapi, anehnya lagi persyaratan itu kadang yang tak dimiliki masyarakat desa secara umum. Kedua, pembangunan infrastruktur, pembangunan di desa-desa seolah-olah lempar-melempar antara pemerintah kabupaten/kota, dengan pemerintah desa, bahkan lembaga legislatif seperti DPRD pun juga terkena lemparan urusan pembangunan infrastruktur di desa.

Yang terjadi di lapangan misalnya pemerintah desa (Kepala Desa) melempar pada pemerintah kabupaten/kota (Bupati/Wali Kota) dengan alasan ini jalan poros kabupaten/kota, jadi bukan wewenang saya untuk memperbaiki, ini wewenang Pemkab/Pemkot. Kemudian pemerintah kabupaten/kota melempar pada lembaga legislatif (Anggota DPRD) dan mengatakan bahwa ini wewenang wakil rakyat yang dulunya Daerah Pemilihan (Dapil) di desa ini.

Melihat kejadian diatas, semacam bermain bola api dari satu orang kemudian ditendang atau dilempar kepada yang lain, ini bahaya sekaligus mengancam jika dibiarkan, dan juga akan menghambat proses pembangunan untuk kemajuan, bagaimana Indonesia bisa maju, kalau pembangunan di desa-desa pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) masih menggunakan asas egosektoral (saling melempar atau mementingkan lembaganya masing-masing).

Ketiga, pengawasan pengelolaan keuangan, keuangan di desa tidak hanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), selain itu, ada keuangan Pendapatan Asli Desa (PAD), Dana Bagi Hasil Pajak kabupaten/kota, Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Bantuan Keuangan dari pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, Dana Hibah dan Sumbangan Pihak Ketiga yang tidak mengikat, Pinjaman Desa, dan Dana Desa (DD).

Dari sekian banyak sumber keuangan di desa, kurangnya pengawasan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), atau pun pengawasan dari pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) dapat mengakibatkan penyalahgunaan keuangan, besarnya peluang untuk menggarong atau mengambil keuangan desa yang hampir jutaan, miliaran, bahkan triliunan karena kurangnya pengawasan ketat dari atas, sehingga orang-orang yang berkuasa dapat leluasa dan bebas mengambil kapan pun dan digunakan untuk kepentingan apa pun. Karenanya, kontrol dari pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) harus ditingkatkan.

Keempat, pemberdayaan potensi desa berdasarkan klasifikasi menurut aktivitas dan tingkat perkembangannya. Potensi desa dibagi menjadi dua macam. Potensi Fisik: tanah, air, iklim atau cuaca, tumbuh-tumbuhan (flora), dan hewan (fauna). Potensi non fisik berupa masyarakat desa, lembaga-lembaga di desa, dan aparatur desa. Menurut aktivitasnya desa diklasifikasikan menjadi tiga: Desa Agraris, yang mata pencaharian utama penduduknya hasil dari pengolahan pertanian dan perkebunan.

Desa Industri, pendapatannya merupakan hasil dari industri kecil rumah tangga. Desa Nelayan, aktivitas dan mata pencaharian penduduknya di bidang perikanan dan pertambakan. Kemudian menurut tingkat perkembangannya, yaitu: Desa Swadaya, yang hampir mirip dengan desa agraris (aktivitas).

Namun, perkembangannya sangat bergantung pada pengelolaan yang harus dilakukan dengan baik, karena memiliki potensi tertentu. Desa Swakarya, peralihan atau transisi dari desa swadaya menuju desa swasembada, meskipun jauh dari pusat perekonomian, potensi pembangunan infrastruktur dan tingkat pendidikan mulai berkembang.

Terakhir Desa Swasembada, lokasi desa ini berada di ibu kota kecamatan, potensi desa yang dikembangkan tidak hanya sumber daya manusia (SDM), tapi juga sumber daya alam (SDA). selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pembangunan sangat tinggi, sehingga desa swasembada masuk pada kedudukan desa mandiri.

Berdasarkan penjelasan dari pemberdayaan potensi desa menurut aktivitas dan perkembangannya, maka sangat besar potensi Indonesia akan maju, selain potensi sumber daya alam yang sangat berlimpah, potensi sumber daya manusia yang tak kalah penting untuk terus dikembangkan menjadi lebih terarah. Namun, terkadang pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) tidak mau tahu itu, dan tak peduli dengan pemberdayaan potensi desa berdasarkan klasifikasi menurut aktivitas dan perkembangannya.

Kelima, penguatan lembaga kemasyarakatan desa, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa Pasal 6 Ayat (1) Jenis LKD paling sedikit meliputi: a. Rukun Tetangga; b. Rukun Warga; c. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga; d. Karang Taruna; e. Pos Pelayanan Terpadu; dan f. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.

Lembaga kemasyarakatan desa ini seakan tak memiliki ruang gerak bebas karena kontrol pemerintahan desa yang tujuannya bukan menguatkan, tapi melemahkan. Sebut saja LKD seperti Karang Taruna yang kadang berseberangan dengan pemerintah desa (Kepala Desa), sehingga program kerja yang dirancang dan ditawarkan ditolak mentah-mentah dengan alasan tak sejalan dengan kemauan pemerintah desa (Kepala Desa) bukan tak sejalan dengan peraturan perundang-undangan atau pun tujuan desa secara umum.

Namun yang lebih memprihatinkan dari pelemahan LKD, tidak adanya satu pun LKD, alasannya pun beragam, ada yang menganggap masyarakat desa tidak mampu mengelola LKD (Karang Taruna), dan ada yang hitung-hitungan soal anggaran. Karena semakin adanya LKD pemerintah desa (Kepala Desa) berpikir akan banyak anggaran yang dikeluarkan, sehingga ditiadakanlah LKD semacam Karang Taruna.

Penguatan LKD tidak hanya tanggung jawab pemerintah desa, pemerintah (pusat/provinsi/kabupaten/kota) pun juga memiliki peran yang sangat penting, agar LKD yang ada bisa lebih kuat dan yang masih belum ada bisa segera terwujud. Pemerintah diatasnya pun punya alasan mengapa penguatan LKD sering saja terabaikan, karena semua urusan atau wewenang dipasrahkan sepenuhnya terhadap Pemdes, lalu berkata "itu pemerintahan sendiri (otonomi daerah)".

Otonomi daerah bukan berarti melepaskan secara keseluruhan yang ada di desa, namun lebih pada proses pendampingan, pengawasan serta pemberdayaan. Jika demikian, apa tugas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa; Pembangunan Kawasan Perdesaan; Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (pemerintah pusat).

Kemudian apa tugas Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), Sub Bagian Penyusunan Program dan Anggaran; dan Keuangan; Bidang Bina Pemerintahan Desa; Kerja Sama Desa; dan Bidang Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota). Agar semuanya bisa terwujud, maka memang cara berpikir lama (Indonesia Membangun Desa) harus beralih dan berubah kepada cara berpikir baru (Desa Membangun Indonesia).

Semua permasalahan diatas bisa diatasi dengan dasar rangkul-merangkul (gotong royong) bukan lempar-melempar, karena dasar negara kita (Pancasila) sudah mengajarkan nilai gotong royong. Mari membangun desa-desa di Indonesia sesuai dengan Visi Indonesia Maju, yaitu sustainable development (pembangunan berkelanjutan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun