Dr Suhardi Somomoeljono,SH.,MH.
Praktisi Hukum dan Akademisi Dosen Pasca Sarjana Universitas Matla'ul Anwar Banten
Pakar Otonomi Khusus Desk Papua Kemenkopolhukam RI
Prolog
Setidaknya sudah ada dua advokat Indonesia yang dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ("KPK") dengan dakwaan delik Obstraction Of Justice sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 UU Tipikor No.31 tahun 1999 dan Pasal 221 ayat (1) KUHP yang secara tektual berbunyi sebagai berikut :
Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999
"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dana tau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)."
Pasal 221 ayat (1) KUHP
"Barang siapa dengan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberikan pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian."
Komentar
Komentar atas Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999.
Pasal tersebut hemat saya terkait dengan locus delicti bersifat khusus artinya terhadap peristiwa pidananya tempat kejadian perkaranya secara absulud terjadi dalam sidang pengadilan, tidak diluar pengadilan sehingga perbuatan dalam kategori Obstraction Of Justice itu penyelesaiannya idealnya melalui mekanisme Contempt of Court dan pelakunya secara khusus adalah penegak hukum yang terlibat dalam suatu persidangan (Jaksa-Polisi-Advokat) tidak termasuk Hakim yang bertindak menyidangkan suatu perkara.
Komentar atas Pasal 221 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut hemat saya terkait dengan locus delicti bersifat umum artinya terhadap peristiwa pidananya tempat kejadian perkaranya tidak secara absulud terjadi dalam sidang pengadilan, tetapi dapat terjadi dimanapun juga secara terbuka dan pelakunya dapat siapa saja setiap orang, tidak secara spesifik penegak hukum. Pasal tersebut bertujuan melindungi aparat penegak hokum dalam suatu proses penegakan hukum dari saat penyelidikan sampai dengan terjadinya pelimpahan perkara di pengadilan negeri.Kedua pasal yaitu Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 dan Pasal 221 ayat (1) KUHP tersebut dalam pemahaman saya memiliki karakter perbedaan yang sangat jelas. Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 bersifat khusus ditujukan kepada penegak hokum dalam suatu proses persidangan di pengadilan.Sedangkan Pasal 221 ayat (1) KUHP bukan pasal yang bersifat khusus ditujukan kepada seorang advokat, akan tetapi pasal yang ditujukan kepada " setiap orang dan / atau barang siapa ". Jadi siapapun yang menghalang-halangi jalannya proses penegakan hokum adalah bentuk perbuatan yang dapat dikwalifikasi sebagai kejahatan pada umumnya.Siapapun subyek hukumnya dapat seorang pengacara dan dapat orang umum yang bukan profesi pengacara dapat dijerat dengan menggunakan  pasal tersebut.Kedua pasal tersebut dalam pandangan saya tidak seluruhnya identic dengan Obstraction Of Justice sehingga agak salah kaprah (miss leading) jika siapapun pelakunya yang melanggar Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 dan Pasal 221 ayat (1) KUHP tersebut secara serta merta disebut sebagai bentuk perbuatan Obstraction Of Justice.Dalam pemahaman saya Obstraction Of Justice itu hanya diperuntukkan khusus bagi penegak hukum (advokat-polisi-jaksa) tidak termasuk hakim dalam proses persidangan pemeriksaan perkara pidana sehingga pelakunya dapat dikenakan hukuman melakukan Contempt of Court (adalah setiap perbuatan , sikap , tingkah laku dan / atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan , martabat, dan kehormatan badan peradilan). Dengan demikian Obstraction Of Justice Dalam Sistem Peradilan Indonesia idealnya merupakan bentuk perbuatan yang dapat dikategorisasikan dalam penyelesaian dengan menggunakan mekanisme Contempt of Court.
Definisi Dan Implimentasi
Secara normatif pengertian Obstraction Of Justice dapat kita diskripsikan sebagai berikut. Adalah tindakan yang menghalang-halangi proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi-Jaksa-Hakim-Advokat) baik terhadap saksi, tersangka maupun terdakwa [1]Â
Secara teorisasi mengacu kepada pengertian secara diskripsi atas pengertian dari Obstraction Of Justice tersebut dapat ditarik sebagai suatu hipotetis bahwa perbuatan menghalangi-halangi proses hokum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hokum adalah dalam koridor persidangan di Pengadilan yang melibatkan Hakim-Jaksa-Polisi-Advokat-Terdaksa/Tersangka-Saksi.
 Contempt of Court adalah wewenang hakim yang bersidang didalam sesuatu perkara pokok lalu terjadi insiden.Maka hakim itu  berwenang untuk memutuskan adanya pelanggaran yang mengganggu, mengobstruksikan lancarnya sidang-sidang dan secara kontan menjatuhkan pidana denda atau penjara serta langsung meng executinya.Sebagai contoh ada Advokat (yang sudah rusak nama baiknya, berkali-kali dijatuhi hukuman disiplin oleh Bar Association, tetapi belum di "disbar", dipecat) sengaja "mengobstruksikan" jalannya sidang pengadilan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan, memancing-mancing jawaban-jawaban yang bohong dan sebagainya.Lalu hakim mengucap "You are in Contempt.Saya hukum kamu dengan dengan hukuman 7 hari penjara.Bailiff, laksanakan hukuman ini "[2]Â
Jadi dalam hal ini hakim bertindak sebagai pengadu-pemeriksa perkara-pemutus-executor putusan.Dalam istilah Indonesia "Hakim maik hakim sendiri". Dalam istilah Belanda "eigenrichtting".Menurut Mr Soemarno P Wirjanto ini perlu, sebab kalua hakim harus mengadukan advokat itu kepada polisi lalu polisi mengusut, jaksa memeriksa, mengajukan kepada Grand Jury untuk mendapat "indict ment", lalu baru disidangka dengan petit jury, dapat memakan waktu berbulan-bulan sedang didalam perkara pokok tidak boleh terhenti dan didalam waktu itu, terdakwa menuntut tetap dibela oleh advokatnya yang sengaja tidak sopan itu.Suatu situasi yang "imposible". Dan karena itulah hakim diberi wewenang untuk "main hakim sendiri" seperti diatas.
Contoh tersebut adalah gambaran lembaga Contempt Of Court dari Amerika apakah sesuai dengan kondisi peradilan di Indonesia.Di Amerika pencalonan untuk menjadi hakim harus mendapatkan persetujuan dar Bar Association. Sesuai dengan kewajiban advokat : " a duty to police the Bench ".Advokat wajib mengawasi hakim.Dan advokat-advokatlah yang paling tau "quality".Senior-senior advokat yang diusulkan menjadi hakim, baik kecakapannya maupun kejujuran, mentalnya.
Sementara di Indonesia belum memiliki Bar Association sehingga bargaining position advokat di Indonesia sangat lemah berbeda dengan Amerika dan juga Jepang serta negara-negara Eropa lainnya bahkan China serta India semuanya sudah memiliki Bar Association.Indonesia secara normatif berdasarkan UU advokat No.18.Tahun 2003 sudah memiliki Bar Association dalam bentuk Konfederasi dengan nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sayangnya Konfederasi tersebut belum dapat menjalankan fungsinya disebabkan adanya pemahaman yang keliru (miss perception) dalam menafsirkan UU Advokat.
Penutup dan Kesimpulan
Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 dan Pasal 221 ayat (1) KUHP tersebut memiliki karakter yang berbeda. Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999Â secara khusus ditujukan kepada penegak hokum yang dengan sengaja melakukan pelanggaran dengan tujuan mengganggu jalannya persidangan.Sedangkan Pasal 221 ayat (1) KUHP secara tektual diperlakukan bagi setiap orang (umum) termasuk advokat dapat dijerat dikenakan pasal tersebut.Jika seorang advokat diduga melakukan pelanggaran berdasarkan kedua pasal tersebut, idealnya sebelum dilakukan acara pemeriksaan (BAP), Bar Association memeriksa dahulu apakah perbuatan advokat tersebut dapat dikwalifikasi sebagai perbuatan pelanggaran etika atau tidak.Jika terbukti melanggar Kode Etik Advokat ("KEA") Indonesia maka perkara pidana dapat berlanjut. Sebaliknya jika tidak terbukti melakukan pelanggaran KEA maka perkara pidana tidak berlanjut.
Permasalahannya di Indonesia belum memiliki Bar Association Nasional dimana Putusan yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan Advokat Indonesia memiliki kekuatan hukum mengikat yang bersifat imperatif. Seorang advokat di Indonesia yang bernaung dalam Organisasi Advokat ("OA") jika dijatuhi hukuman dalam bentuk putusan KEA masih belum memiliki kekuatan hukum mengikat yang bersifat imperatif. Akibatnya penegak hukum lainnya Jaksa-Polisi-Hakim dapat mengabaikan dictum dari Putusan Dewan Kehormatan Advokat dari suatu Organisasi Advokat yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia.Potensi yang memungkinkan dimana Putusan Dewan Kehormatan Advokat Indonesia mampu memiliki kekuatan hokum mengikat jika Dewan Kehormatan Advokat Indonesia dibentuk oleh Komite Kerja Advokat Indonesia ("KKAI") sebagai Organisasi Advokat Induk sebagaimana telah diakui dan di sahkan oleh UU Advokat Indonesia.Sayangnya keberadaan KKAI masih belum difungsikan kembali.
   [1] PressReader.com.http://www.pressreader.com. Kompas 21 Juli 2017.Eddy Os Hiariej[2] Mr.Soemarno P.Wirjanto, Dalam Tulisannya Contempt Of Court Tidak Dapat Diperlakukan di Indonesia, Kompas 23 Maret 1986.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H