Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Obstraction of Justice dalam Sistem Peradilan Indonesia

8 Oktober 2018   17:51 Diperbarui: 15 Oktober 2018   17:30 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal tersebut hemat saya terkait dengan locus delicti bersifat umum artinya terhadap peristiwa pidananya tempat kejadian perkaranya tidak secara absulud terjadi dalam sidang pengadilan, tetapi dapat terjadi dimanapun juga secara terbuka dan pelakunya dapat siapa saja setiap orang, tidak secara spesifik penegak hukum. Pasal tersebut bertujuan melindungi aparat penegak hokum dalam suatu proses penegakan hukum dari saat penyelidikan sampai dengan terjadinya pelimpahan perkara di pengadilan negeri.Kedua pasal yaitu Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 dan Pasal 221 ayat (1) KUHP tersebut dalam pemahaman saya memiliki karakter perbedaan yang sangat jelas. Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 bersifat khusus ditujukan kepada penegak hokum dalam suatu proses persidangan di pengadilan.Sedangkan Pasal 221 ayat (1) KUHP bukan pasal yang bersifat khusus ditujukan kepada seorang advokat, akan tetapi pasal yang ditujukan kepada " setiap orang dan / atau barang siapa ". Jadi siapapun yang menghalang-halangi jalannya proses penegakan hokum adalah bentuk perbuatan yang dapat dikwalifikasi sebagai kejahatan pada umumnya.Siapapun subyek hukumnya dapat seorang pengacara dan dapat orang umum yang bukan profesi pengacara dapat dijerat dengan menggunakan  pasal tersebut.Kedua pasal tersebut dalam pandangan saya tidak seluruhnya identic dengan Obstraction Of Justice sehingga agak salah kaprah (miss leading) jika siapapun pelakunya yang melanggar Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 dan Pasal 221 ayat (1) KUHP tersebut secara serta merta disebut sebagai bentuk perbuatan Obstraction Of Justice.Dalam pemahaman saya Obstraction Of Justice itu hanya diperuntukkan khusus bagi penegak hukum (advokat-polisi-jaksa) tidak termasuk hakim dalam proses persidangan pemeriksaan perkara pidana sehingga pelakunya dapat dikenakan hukuman melakukan Contempt of Court (adalah setiap perbuatan , sikap , tingkah laku dan / atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan , martabat, dan kehormatan badan peradilan). Dengan demikian Obstraction Of Justice Dalam Sistem Peradilan Indonesia idealnya merupakan bentuk perbuatan yang dapat dikategorisasikan dalam penyelesaian dengan menggunakan mekanisme Contempt of Court.

Definisi Dan Implimentasi

Secara normatif pengertian Obstraction Of Justice dapat kita diskripsikan sebagai berikut. Adalah tindakan yang menghalang-halangi proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum (Polisi-Jaksa-Hakim-Advokat) baik terhadap saksi, tersangka maupun terdakwa [1] 

Secara teorisasi mengacu kepada pengertian secara diskripsi atas pengertian dari Obstraction Of Justice tersebut dapat ditarik sebagai suatu hipotetis bahwa perbuatan menghalangi-halangi proses hokum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hokum adalah dalam koridor persidangan di Pengadilan yang melibatkan Hakim-Jaksa-Polisi-Advokat-Terdaksa/Tersangka-Saksi.

 Contempt of Court adalah wewenang hakim yang bersidang didalam sesuatu perkara pokok lalu terjadi insiden.Maka hakim itu  berwenang untuk memutuskan adanya pelanggaran yang mengganggu, mengobstruksikan lancarnya sidang-sidang dan secara kontan menjatuhkan pidana denda atau penjara serta langsung meng executinya.Sebagai contoh ada Advokat (yang sudah rusak nama baiknya, berkali-kali dijatuhi hukuman disiplin oleh Bar Association, tetapi belum di "disbar", dipecat) sengaja "mengobstruksikan" jalannya sidang pengadilan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan, memancing-mancing jawaban-jawaban yang bohong dan sebagainya.Lalu hakim mengucap "You are in Contempt.Saya hukum kamu dengan dengan hukuman 7 hari penjara.Bailiff, laksanakan hukuman ini "[2] 

Jadi dalam hal ini hakim bertindak sebagai pengadu-pemeriksa perkara-pemutus-executor putusan.Dalam istilah Indonesia "Hakim maik hakim sendiri". Dalam istilah Belanda "eigenrichtting".Menurut Mr Soemarno P Wirjanto ini perlu, sebab kalua hakim harus mengadukan advokat itu kepada polisi lalu polisi mengusut, jaksa memeriksa, mengajukan kepada Grand Jury untuk mendapat "indict ment", lalu baru disidangka dengan petit jury, dapat memakan waktu berbulan-bulan sedang didalam perkara pokok tidak boleh terhenti dan didalam waktu itu, terdakwa menuntut tetap dibela oleh advokatnya yang sengaja tidak sopan itu.Suatu situasi yang "imposible". Dan karena itulah hakim diberi wewenang untuk "main hakim sendiri" seperti diatas.

Contoh tersebut adalah gambaran lembaga Contempt Of Court dari Amerika apakah sesuai dengan kondisi peradilan di Indonesia.Di Amerika pencalonan untuk menjadi hakim harus mendapatkan persetujuan dar Bar Association. Sesuai dengan kewajiban advokat : " a duty to police the Bench ".Advokat wajib mengawasi hakim.Dan advokat-advokatlah yang paling tau "quality".Senior-senior advokat yang diusulkan menjadi hakim, baik kecakapannya maupun kejujuran, mentalnya.

Sementara di Indonesia belum memiliki Bar Association sehingga bargaining position advokat di Indonesia sangat lemah berbeda dengan Amerika dan juga Jepang serta negara-negara Eropa lainnya bahkan China serta India semuanya sudah memiliki Bar Association.Indonesia secara normatif berdasarkan UU advokat No.18.Tahun 2003 sudah memiliki Bar Association dalam bentuk Konfederasi dengan nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sayangnya Konfederasi tersebut belum dapat menjalankan fungsinya disebabkan adanya pemahaman yang keliru (miss perception) dalam menafsirkan UU Advokat.

Penutup dan Kesimpulan

Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 dan Pasal 221 ayat (1) KUHP tersebut memiliki karakter yang berbeda. Pasal 21 UU Tipikor No. 31 tahun 1999 secara khusus ditujukan kepada penegak hokum yang dengan sengaja melakukan pelanggaran dengan tujuan mengganggu jalannya persidangan.Sedangkan Pasal 221 ayat (1) KUHP secara tektual diperlakukan bagi setiap orang (umum) termasuk advokat dapat dijerat dikenakan pasal tersebut.Jika seorang advokat diduga melakukan pelanggaran berdasarkan kedua pasal tersebut, idealnya sebelum dilakukan acara pemeriksaan (BAP), Bar Association memeriksa dahulu apakah perbuatan advokat tersebut dapat dikwalifikasi sebagai perbuatan pelanggaran etika atau tidak.Jika terbukti melanggar Kode Etik Advokat ("KEA") Indonesia maka perkara pidana dapat berlanjut. Sebaliknya jika tidak terbukti melakukan pelanggaran KEA maka perkara pidana tidak berlanjut.

Permasalahannya di Indonesia belum memiliki Bar Association Nasional dimana Putusan yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan Advokat Indonesia memiliki kekuatan hukum mengikat yang bersifat imperatif. Seorang advokat di Indonesia yang bernaung dalam Organisasi Advokat ("OA") jika dijatuhi hukuman dalam bentuk putusan KEA masih belum memiliki kekuatan hukum mengikat yang bersifat imperatif. Akibatnya penegak hukum lainnya Jaksa-Polisi-Hakim dapat mengabaikan dictum dari Putusan Dewan Kehormatan Advokat dari suatu Organisasi Advokat yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia.Potensi yang memungkinkan dimana Putusan Dewan Kehormatan Advokat Indonesia mampu memiliki kekuatan hokum mengikat jika Dewan Kehormatan Advokat Indonesia dibentuk oleh Komite Kerja Advokat Indonesia ("KKAI") sebagai Organisasi Advokat Induk sebagaimana telah diakui dan di sahkan oleh UU Advokat Indonesia.Sayangnya keberadaan KKAI masih belum difungsikan kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun