Prolog
Jika elemen kekuasaan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah belum berhasil mengentaskan rakyat papua dari kemiskinan, sebaiknya rakyat Indonesia bangkit bersatu mengambil inisiasi secara mandiri mencari terobosan sebagai solusi bagaimana menyelamatkan rakyat Papua dari kemiskinan.
Inisiasi secara mandiri dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan local dengan mengedepankan kerjasama secara gotong royong dengan berbagai pendekatan yang bersifat fungsional sesuai dengan kemampuan masyarakat secara proporsionalitas.
Bantuan pengentasan kemiskinan sebaiknya diartikulasikan bagaimana memberdayakan masyarakat sesuai dengan asas yang berbasis profesionalitas sehingga hasil yang diharapkan mampu menciptakan manusia-manusia mandiri sesuai dengan pembidangan profesinya masing-masing. Bantuan kemiskinan sebaiknya jangan dipersepsikan bagaimana memberikan sumbangan dengan melakukan pembagian beras untuk orang miskin ("RASKIN").
Tulisan ini tidak dimaksudkan mengabaikan peran pemerintah yang sudah berupaya untuk mengentaskan kemiskinan di propinsi Papua bahkan sudah dimulai sejak Indonesia merdeka meskipun hasilnya masih jauh dari harapan.Â
Partisipasi masyarakat Indonesia secara gotong royong sangat diperlukan dalam rangka membantu masyarakat Papua dalam mengatasi kemiskinan sepanjang dalam aktifitas partisipasi masyarakat tetap dalam koridor hukum yang berlaku.Â
Pemerintah sudah sewajarnya memberikan peluang atau akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi secara aktif sehingga dapat menimbulkan kemitraan yang positif antara pemerintah-masyarakat pada umumnya-masyarakat papua pada khususnya.
Bentuk-bentuk partisipasi aktif masyarakat sangat bervariatif misalnya kemungkinan dapat dibukanya model transmigrasi mandiri melalui swasta dengan fasilitasi pemerintah baik pusat maupun daerah.Â
Pemanfaatan sumber daya alam ("SDA") mengutamakan partisipasi aktif penduduk Papua baik dalam kapasitas sebagai pemilik atau pemegang saham maupun dalam management pengelolaannya.
Bentuk-bentuk program lainnya misalnya penggalangan dana masyarakat serta program-program lainnya yang dapat digali berdasarkan pilihan-pilihan program yang saling menguntungkan untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat papua.
Statistik Kemiskinan Di Papua
Perlunya peran secara pro aktif partisipasi masyarakat mengingat, Papua sebagai bagian integral dari wilayah negara kesatuan republik indonesia ("NKRI") hingga kini masih tergolong daerah miskin dari sisi ekonomi bahkan sangat tertinggal jauh bila kita bandingkan dengan wiklayah-wilayah propinsi lainnya.
Sebagai gambaran mengenai keadaan kemiskinan di Propinsi Papua dapat kita lihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh badan statistik nasional ("BPS") sebagai berikut: Dibalik capaian tingkat kemiskinan satu digit (9,82 persen) per maret 2018, pemerintah perlu berhati-hati lantaran muncul satu fakta yang oleh Kepala badan Pusat Statistik ("BPS") Suhariyanto disebut "warning besar".Yakni,disparitas kemiskinan yang tinggi antara kota dan desa juga disparitas antar propinsi.Sebagai contoh, tingkat kemiskinan di papua (27,74 persen) jauh lebih tinggi dibandingkan di DKI Jakarta (3,57 persen).
Tulisan ini secara khusus mengangkat isu kemiskinan yang terjadi di Papua. Dibalik euforia turunnya tingkat kemiskinan secara nasional, ternyata terjadi hal sebaliknya di Papua.Â
Tingkat kemiskinan diakui masih tinggi melebihi 25 persen. Bahkan apabila dibandingkan dengan kondisi di Maret 2017 (27,62), tingkat kemiskinan di Papua justru meningkat.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2018 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Papua sebesar 917,63 ribu orang. Meningkat bila dibandingkan dengan kondisi pada Maret 2017 sebesar 897,69 orang.
Mereka menjadi miskin karena rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan (GK) Maret 2018 sebesar Rp. 499.643. besaran GK tersebut tercatat naik mencapai Rp. 35.507, atau sebesar 7,63 persen dari September 2017 lalu.
Fenomena kemiskinan di Papua adalah tingginya disparitas antara kota dan pedalaman. Sekitar 1 dari 3 orang (36,51 persen) di pedalaman hidup miskin.Â
Angka tersebut terpaut jauh dimana hanya 4,51 persen penduduk miskin hidup di kota. Padahal bila melihat garis kemiskinan, GK wilayah kota pada Maret 2018 sebesar Rp. 542.542, nilainya lebih tinggi dibanding GK didaerah perdesaan yang mencapai Rp. 482.000.
UU Otonomi Khusus Tanah Papua Antara Cita dan Fakta
Tujuan dari diundangkannya UU N0.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah dirumuskan dalam dictum menimbang antara lain telah dirumuskan pada paragraph g dan h sebagai berikut:
Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provindi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk (g).
Bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada Penduduk Asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (h).
Dengan demikian secara diskripsi-hipotetis, meskipun usia UU Otonomi Khusus untuk Tanah Papua sudah hampir memasuki usia 20 tahun, ternyata belum sesuai dengan harapan pembentuk undang-undang sebagaimana telah dirumuskan dalam tujuan sebagaimana tertulis dalam diktum undang-undang.Â
Sebagai bukti empiris seperti yang kita lihat bersama berdasarkan statistik kemiskinan masih sangat memprihatinkan. Artinya meskipun UU Otonomi Khusus telah menetapkan rancangan-rancangan yang bersifat sistimastis sebagaimana telah dirumuskan dalam UU tersebut dalam kenyataannya UU tersebut dalam implimentasi secara hipotetis belum dapat memenuhi tujuan dari UU Otsus Tanah Papua dimaksud.Â
Jika secara ekstrim kita sebut gagal, apakah kegagalan tersebut disebabkan oleh UU yang tidak responsive secara hukum sehingga secara sistemik tidak memiliki kadar standarisasi sebagai undang-undang layak secara kajian akademik dan/atau oleh sebab yang lainnya karena adanya faktor kesalahan orang dalam melakukan pengelolaan anggaran daerah ("APBD") sehingga berakibat menimbulkan penyelewengan yang berujung kepada penyalahgunaan wewenang serta perbuatan korupsi oleh pejabat yang menjamur dan menggurita di Propinsi Papua.
Penutup
Tujuan dari diundangkannya UU N0.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua satu diantaranya adalah dalam rangka meneguhkan keberadaan Propinsi Papua sebagai satu kesatuan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ("NKRI") sehingga aspek atas faktor kemiskinan menjadi hal yang sangat penting dan mendesak untuk dapat segera terselesaikan.
Luapan-luapan sebagian masyarakat papua yang menginginkan kemerdekaan melepaskan dari NKRI tidak dapat dipungkiri sebagai faktor penyebab antara lain menyangkut soal kemiskinan.Inilah tantangan kita semua masyarakat Indonesia, seyogyanya jangan hanya mengandalkan pemerintah baik pusat maupun daerah.Hal yang paling baik tentunya dapat ditimbulkannya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat secara tersetruktur dan terukur berdasarkan koridor hokum yang berlaku.
Jika dengan diundangkannya UU N0.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua ternyata belum secara siqnifikan dapat merubah struktur kemiskinan masyarakat Papua maka kehadiran atau keberadaan UU N0.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dapat ditinjau kembali apakah perlu dipertahankan dan / atau tidak perlu dipertahankan.
Dipertahankan dan/ atau tidak dipertahankan tergantung dari solusi apa yang tercepat dan efisien serta efektif dalam membangun percepatan pembangunan di tanah Papua terutama terkait dengan peningkatan kwalitas hidup dan kehidupan masyarakat sehingga mampu mensejajarkan diri dengan propinsi-propinsi di Indonesia lainnya.
Sumber daya alam ("SDA") yang melimpah di tanah Papua sesungguhnya merupakan modal yang sangat menguntungkan bagi masyarakat papua. Tinggal persoalannya mengapa pemerintah pusat dan daerah sepertinya kesulitan mengembangkan keberadaan SDA untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat Papua.
Jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kemauan politik yang jelas tentunya tidak ada kesulitan sama sekali bagaimana memanfaatkan SDA untuk kepentingan masyarakat Papua.
Bayangkan saja seluruh tanah Papua kekayaan dari hasil hutan yang demikian besar itu siapa yang selama ini menikmati. Bukankan kekayaan hutan itu juga bagian dari hak masyarakat Papua secara proporsionalitas.
Belum lagi tambang-tambang emas, uranium, nikel dan lain-lain mengapa pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki kemampuan untuk mengolah sebagai fasilitasi untuk kepentingan masyarakat Papua.
Artikel Lainnya : OpiniHardi
Dr Suhardi Somomoeljono,SH.,MH.
Praktisi Hukum dan Akademisi Dosen Pascasarjana Matla'ul Anwar Banten
Pakar Otonomi Khusus Desk Tanah Papua Kemenkopolhukam RI
Narasumber/Tim Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ("BNPT")