Dr Suhardi Somomoeljono
Praktisi Hukum dan Akademisi Dosen Pascasarjana
Universitas Matla'ul Anwar Banten
Prolog
Tuntutan Kemerdekaan yang sering digencarkan oleh Organisasi Papua Merdeka ("OPM") dalam kerangka memisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ("NKRI") adalah menyangkut persoalan hukum tentang keabsahan wilayah Papua menjadi satu kesatuan dengan wilayah NKRI.Dalam pandangan OPM masuknya Papua dalam wilayah NKRI adalah tidak sah.
Di sisi yang lain menurut Hukum Internasional masuknya wilayah Papua ke NKRI adalah sah secara hukum mengingat sudah melalui sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ("PBB"). Dalam kerangka perjuangan hukum OPM dalam penelusuran kami telah menunjuk Jasa Konsultan Hukum yang ditunjuk adalah yang bermarkas di London yaitu National Lawyer Guild ("NLG") Chapter New York City yang sudah berdiri sejak 1937.
Sementara Pemerintah dalam rangka mengatasi persoalan tersebut langkah-langkah yang ditempuh antara lain melakukan diplomasi pendekatan dengan negara-negara di Pasifik Selatan dengan pertimbangan antara lain negara-negara tersebut berdekatan langsung dengan Papua dan negara-negara tersebut sebagai negara merdeka memiliki hak suara di PBB sehingga perlu didekati dengan berbagai program.
Program pemerintah tersebut tentu saja bertujuan baik dan bermanfaat dalam rangka menjaga hubungan baik antar negara. Persoalannya sejauh mana efektifitasnya terhadap keberadaan OPM yang mungkin barangkali sudah memiliki jaringan secara terorganisir di seluruh dunia.
Apakah jaringan-jaringan Internasional OPM yang mungkin telah menyebar keseluruh penjuru dunia pemerintah sudah memiliki data-data intelijen yang akurat. Dalam perspektif teori konspiratif tidak menutup kemungkinan OPM memiliki jaringan yang bersifat sponsorsif dari negara-negara maju / super power.
Melihat spectrum permasalahan tersebut jelas bahwa substansi persoalan yang mendasar adalah menyangkut persoalan hukum. Idealnya diplomasi Indonesia baik secara nasional maupun secara internasional secara intensif melakukan sosialisasi hukum dengan tetap berpendirian bahwa masuknya wilayah Papua ke NKRI secara hukum internasional sudah final,tidak terdapat opsi dalam bentuk tafsir hukum yang lain.
Berangkat dari pemikiran substansi hukum tersebut semestinya seluruh agenda pemerintah difokuskan kepada bagaimana membangun penguatan atas kebenaran substansi hukum masuknya Papua dalam wilayah NKRI tersebut dengan berbagai program yang bersifat substansi hukum (in put).
Pemerintah jangan sampai terjebak dengan program-program yang tidak substantif sehingga yang dihasilkan (out put) adalah pemahaman yang tidak tepat karena tidak berdasarkan logika hukum yang rasional dan masuk akal bahwa Papua masuk dalam wilayah NKRI adalah sudah benar secara hukum.
Dengan adanya agenda serta program yang lebih mengedepankan substansi hukum maka keberadaan Papua merupakan satu kesatuan wilayah dengan NKRI dapat dimengerti dan diterima oleh rakyat Indonesia serta dunia Internasional pada umumnya. Sosialisasi hukum secara intensif yang wajib dilakukan oleh pemerintah antara lain :
- Bahwa status hukum Papua sebagai bagian dari wilayah NKRI sudah final dan mengikat berdasarkan prinsip-prinsip hukum Internasional.
- Bahwa Tuntutan referendum oleh OPM dan jaringan-jaringan terkait tidak memiliki dasar hukum.
- Bahwa Perlu penjelasan secara juridis bahwa proses penyatuan Papua dalam wilayah NKRI sangat berbeda dengan proses penyatuan Timor Leste dalam wilayah NKRI.
- Bahwa Ketiga pointers tersebut wajib terus menerus disuarakan oleh pemerintah dalam berbagai kegiatan baik dalam skala internasional maupun dalam skala nasional.
Pemerintah jangan terjebak siqma berpikir salah
Saya sangat khawatir jangan-jangan dengan gencarnya pendekatan pemerintah ke negara-negara Pasifik Selatan pemerintah sudah memiliki persepsi yang salah terjebak dengan kerangka pemikiran, bahwa Papua nantinya akan diselesaikan dengan cara referendum di bawah naungan PBB sehingga pemerintah mulai melakukan pendekatan-pendekatan dengan negara-negara lain dalam rangka antisipasi dukungan suara di sidang umum PBB untuk menentukan agenda referendum untuk Papua di PBB.
Indonesia sebaiknya gencar melakukan sosialisasi hukum ditingkat Internasional melalui jalur-lalur diplomasi di PBB sehingga dapat mempengaruhi PBB untuk tidak mengagendakan permasalahan Papua di PBB dalam kerangka referendum untuk menentukan pilihan merdeka atau tetap dalam wilayah NKRI.
Namun demikian jika pemerintah lemah dalam melakukan diplomasi maka peluang OPM untuk berjuang mengagendakan persoalan Papua di PBB kemungkinan bukan sesuatu yang mustahil, apalagi jika di dalam negeri terdapat keadaan atau situasi politik yang tidak stabil.
Jika asumsi tersebut benar pemerintah lemah dalam melakukan diplomasi ditingkat Internasional maka pemerintah nantinya dapat dimungkinkan menandatangani persetujuan internasional dibawah naungan PBB seperti halnya kejadian di wilayah EX-NKRI Timor Timur. Dimana pemerintah pada saat itu awalnya menandatangani New York Agreement antara Indonesia-Portugal dan PBB.
Dengan payung hukum tersebut akhirnya dilaksanakan Referendum dalam rangka memutuskan apakah rakyat Timor Timur memilih merdeka atau bergabung dengan NKRI, akhirnya pro kemerdekaan menang dengan angka 70% lebih memilih merdeka.
Tanpa mengurangi rasa kepercayaan kepada pemerintah sebaiknya seluruh elemen rakyat Indonesia sebaiknya mulai detik ini sudah harus mengawal kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah Papua. Pemerintah haruslah dijaga jangan sampai pemerintah RI lemah dalam melakukan diplomasi internasional sehingga Papua naksibnya akan seperti propinsi Timor Timur lepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Penguasa-penguasa dari suatu pemerintahan yang lemah biasanya mudah dihasut dan digoda dengan harta sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak disadari telah merusak dan menghancurkan keberadaan suatu wilayah negara.Model pemerintahan yang ditentukan oleh multi partai sangat rawan atas terjadinya penyalahgunaan wewenang dengan mengatas namakan demokrasi melalui kebijakan legislasi nasional.
Satu-satunya cara elemen-elemen masyarakat baik perorangan maupun organisasi masyarakat baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat umum bersama-sama elemen TNI-POLRI segera mebuat langkah-langkah strategis yang bersifat permanen dengan satu tekad dan tujuan mempertahankan keberadaan Papua dalam wilayah NKRI.
Jika tidak dimulai dilakukan pengawalan sangat dikawatirkan bargaining pemerintah secara internasional lemah mengingat rawannya cara bertindak dan berpikir penguasa yang bersifat politisasi terutama model/sistem politik multi partai seperti saat ini.
Langkanya penguasa yang memiliki karakter negarawan baik ditataran eksekutif-legislatif-yudikatif memerlukan kesiap siagaan elemen-elemen masyarakat secara terorganisir-masif dalam rangka melakukan pencegahan (preventif) menanggulangi hilangnya suatu wilayah NKRI.
Langkah maju OPM dalam skala internasional
OPM mengetahui benar bahwa masalah Papua adalah menyangkut masalah hukum oleh karena itu dalam langkahnya OPM menunjuk kuasa hukum yang berasal dari USA. Berdasarkan penelusuran kami (https://www.kricom.id 19.1.2018) jaringan gerakan Papua Merdeka yang ada diluar negeri telah menggunakan Jasa Konsulstan Hukum Asing (Pengacara) dalam memperjuangkan kepentingan Politiknya.
Dalam penelusuran google riset kami Jasa Konsultan Hukum yang ditunjuk adalah yang bermarkas di London yaitu National Lawyer Guild ("NLG") Chapter New York City yang sudah berdiri sejak 1937. Asosiasi Advokat NLG dalam scope pekerjaannya antara lain memperjuangkan Gerakan Anti Rasisme, Anti Fasisme, Mendukung (support) Gerakan Pembebasan Palestina, yang memiliki konsep pekerjaan yang dilakukan oleh Komite, proyek dan satuan tugas, berupa sub komite Kuba, Sub Komite Afrika, sub komite Timur Tengah, Sub komite Philipina, sub komite Haiti, Sub komite Pembebasan Palestina, sub Komite PBB dll.
Idealnya pemerintah RI harus benar-benar paham bagaimana cara melihat gerakan OPM dari skala Internasional. Jika pemerintah menyadari tentu tidak ada salahnya jika NLG sebagai kuasa hukum jaringan OPM diajak dialog dalam perspektif akademika secara terbuka baik ditataran Internasional maupun ditataran nasional antara lain dialog dalam bentuk Workshop Internasional dengan mengangkat tema besar misalnya Masuknya Wilayah Papua di NKRI Dalam Perspektif Hukum Internasional sudah final.
Yang perlu digali dari substansi hukum oleh pemerintah misalnya ketika NLG berjuang melakukan advokasi untuk memerdekakan Palestina hal tersebut sangat wajar dan dapat diterima oleh akal sehat. Sebaliknya jika NLG berjuang melakukan advokasi untuk Papua Merdeka apakah wajar dan tidak melanggar Kode Etik Advokat Internasional mengingat masuknya Papua ke NKRI sudah melalui mekanisme hukum Internasional melalui forum keputusan sidang umum PBB.Kajian-kajian hukum yang bersifat substansi hukum dalam pemahaman saya sangat minimalis dilakukan oleh pemerintah RI.
Problematika hukum tersebut dapat dibahas secara terbuka dalam wacana Publik Internasional baik didalam negeri maupun diluar negeri dengan menghadirkan NLG dan lain-lain yang dipandang relevan. Jika Indonesia tidak secara pro aktif menyongsong (melempar isu), maka akan terus menerus dilempar isu, yang pada akhirnya penggiringan publik, dengan output negative public opinion yang mendiskreditkan Indonesia, baik di masyarakat dalam negeri maupun publik Internasional.
Dr Suhardi Somomoeljono
Praktisi Hukum dan Akademisi Dosen Pascasarjana
Universitas Matla'ul Anwar Banten
Artikel Lainnya : OpiniHardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H