Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Benarkah Pengadilan Ad Hoc Kasus Timor Timur "Intended to Fail"?

28 Juli 2018   06:23 Diperbarui: 4 September 2018   13:30 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dr H Suhardi Somomoeljono SH MH.

Akademisi Ahli Hukum Pidana Universitas Matla'ul Anwar Banten, Praktisi Hukum di Jakarta, Tim Ahli BNPT, Pakar Desk Otsus papua Kemenkopolhukam 2018.

Prolog

Menyimak maraknya tuntutan atas terselenggaranya Peradilan HAM Papua, Indonesia sebagai negara yang merdeka harus senantiasa menyadari akan arti pentingnya kedaulatan hukum bagi suatu negara. Dalam rangka menyikapi tuntutan sebagian masyarakat yang berharap agar supaya Indonesia menggelar Peradilan HAM di Papua, Indonesia harus belajar bercermin dari penyelenggaraan Peradilan HAM di Timor Timur. 

Secara prinsipil Putusan Pengadilan yang telah diputuskan dalam kerangka Pro Justitia adalah wajib dihormati dan diakui oleh siapapun. Sebagai studi kasus (case study) atas Putusan Peradilan HAM Timor Timur, masih saja ada pihak  yang berpendapat bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia Intended To fail  intinya menyatakan Pengadilan Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal.

Membaca tulisan mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar pada rubrik opini (Kompas,Kamis,30 Juli 2015), secara akademis masih relevan untuk ditanggapi  sekedar pada kalimat yang materinya secara tektual berbunyi sebagai berikut: " Apalagi dalam konteks proses peradilan HAM ad hoc di Indonesia yang menuntut adanya ketersediaan profesionalisme para penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum. Dalam hubungan ini belum ada yang membantah secara resmi buku Prof David Cohen tentang Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia yang menyatakan Intended To fail yang intinya menyatakan Pengadilan Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal.

Pada awalnya saya berpikir pernyataan Prof David Cohen, yang menyatakan Pengadilan Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal (Intended To Fail) , dibantah oleh Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam parameter konstitusional dan yuridis. Dengan tidak adanya bantahan dari penulis, dikawatirkan  tulisan Prof David Cohen tersebut dianggap oleh publik benar secara mutlak baik dalam perspektif hukum, maupun dalam perspektif akademika. 

Tulisan seorang mantan Hakim Agung, yang sudah sangat popular / terkenal, baik secara nasional maupun secara internasional, jangan sampai dipersepsi disalahgunakan oleh masyarakat dunia, digunakan untuk alat pembenaran ( justifikasi ). Tentu saja tulisan ini didedikasikan sebagai penyeimbang pemikiran, sehingga secara akademik masyarakat memiliki beberapa persepsi, yang bersifat ilmiah dalam pengayaan wacana. 

Jangan sampai terjadi polarisasi pemikiran  baik secara langsung maupun tidak langsung yang secara tendensius dapat merendahkan produk hukum Indonesia, berupa putusan Pengadilan yang sudah memiliki derajat berkepastian hukum yang tetap (inkrach van gewisjde).

Perlu diingat bahwa dalam konteks hukum, berdasarkan teori Trias Politika (montesque) Putusan Pengadilan itu, sebagai produk Lembaga Yudikatif, memiliki kedudukan yang sangat strategis, dalam kaitannya dengan pembangunan hukum dalam suatu negara. Penghormatan dan penghargaan, atas putusan Pengadilan, yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti, merupakan pengakuan (recognition) terhadap Kedaulatan Hukum dalam suatu negara ( asas nasionalitas ). 

Menilai produk hukum berupa Putusan Pengadilan, yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, merupakan hal yang biasa, terutama untuk kepentingan kajian (research) yang bersifat akademis. Namun demikian, jika penilaian itu sifatnya merendahkan produk Putusan Pengadilan dari suatu negara, dengan kesimpulan bahwa  Pengadilan Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal, kesimpulan seperti itu identik dengan merendahkan kedaulatan hukum dari suatu negara. 

Implikasi dari terganggunya kedaulatan hukum dalam suatu negara, dapat memicu intervensi masuknya kepentingan politik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat merugikan kepentingan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Ketidakadilan Proses Referendum Timor Timur

Ketika Presiden BJ Habibie berkuasa dimasa pemerintahan transisi, secara mengejutkan telah mengeluarkan opsi kedua tentang kemerdekaan bagi rakyat Timor Timur dengan cara referendum-sementara opsi pertama tentang otonomi khusus belum tuntas dibicarakan. 

Pada saat itu sudah dapat memprediksi / memperkirakan, akan terjadinya bentrokan antara masyarakat Timor Timur dari kelompok Pro Integrasi dengan kelompok Pro Kemerdekaan, yang tidak mungkin dapat dikendalikan oleh aparat keamanan ( Polisi/Tentara). 

Sebagai pengetahuan untuk Bangsa Indonesia, perlu diingat bahwa pada saat itu menurut Persetujuan New York (New York Agreement), yang menjadi panitia pelaksana jajak pendapat di Timor Timur untuk memilih merdeka atau masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pihak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sedangkan pihak Indonesia harus bertanggungjawab terhadap masalah keamanan dan penegakan hukum.

Hasil jajak pendapat sangat mengejutkan kelompok Pro Integrasi karena kalah telak atau hanya mendapat suara 21 persen. 

Sedangkan selebihnya 79 persen suara dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan. Apakah panitia referendum untuk Timor Timur atau United Nations Mission in East Timor ( Unamet ) benar-benar independent ? ternyata jauh dari harapan kita semua bangsa Indonesia, sumber di harian nasional kompas 28 Agustus 1999 dengan tegas menyebutkan bahwa betapa proses rekrutmen staf lokal Unamet tidak netral. 

Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA) pada tanggal 26 Agustus 1999 mengajukan protes kepada Presiden BJ Habibie, menuntut agar supaya UNAMET diganti dengan suatu badan lain yang independen serta netral, sebab dalam kenyataannya Unamet tidak netral. 

Bahkan sebelumnya LSM HUMANIKA pada tanggal 26 Agustus 1999 mendatangi kawasan Istana Negara, maksudnya mendesak pemerintah RI memprotes Unamet, pihak Istana Negara tidak memberikan tanggapan apapun, bahkan wakil LSM Humanika dihadang tidak boleh masuk ke Istana Negara oleh sepasukan tentara.

Yang lebih membingungkan lagi, pidato Kenegaraan Presiden BJ Habibie sehari sebelum pelaksanaan jajak pendapat atau tepatnya pada tanggal 29 Agustus 1999, sama sekali tidak berpesan atau menyarankan kepada para Pejuang Pro Integrasi yang bersifat dukungan. 

Sayangnya Pemerintah RI pasca jajak pendapat sampai saat ini, belum pernah melakukan kajian (research) yang bersifat akademis guna melakukan penelitian ketidak independennya Umanet tersebut. 

Tentu kajian akademis seperti itu sangat diperlukan, mengingat akibat yang dapat ditimbulkannya secara signifikan dapat mengakibatkan hilangnya suatu wilayah dalam suatu negara. Perjanjian-perjanjian Internasional seperti itu, apabila negara / pemerintah tidak, memiliki kajian akademis yang memadai/proporsional, maka dapat diprediksi, Indonesia akan terus menerus berpotensi kalah. 

Sebagai antisipasi kedepan (for the future), Indonesia harus siap untuk kehilangan wilayah Aceh dan Papua, jika sejak dari dini/sekarang tidak dipersiapkan, kajian-kajian akademis yang bersifat ilmiah, sebagai bentuk antisipasi pembelaan bahwa wilayah Aceh dan Papua, secara yuridis (actual dan factual) adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Kelemahan hukum di Indonesia memiliki andil yang sangat besar, dalam kaitannya dengan pelaksanaan referendum jajak pendapat di Timor Timur, yang mengakibatkan hilangnya Propinsi Timor Timur. Jika kita mengkritisi lebih tajam maka ada pula fakta yang menunjukkan: bahwa pemerintah transisi semasa Presiden Habibie nampaknya telah sengaja tidak menghendaki pihak parlemen atau DPR ikut berbicara mengenai opsi kemerdekaan bagi Timor Timur. 

Buktinya, New York Agreement atau Persetujuan New York 5 Mei 1999 antara pihak Indonesia, Portugal dan disaksikan oleh Sekjen PBB itu diberi sebutan "Persetujuan". Tujuannya jelas, agar DPR-RI tidak dapat menuntut haknya untuk diikutsertakan, menentukan, hingga menyetujuinya atau tidak. Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengenal kategori "Perjanjian" saja yang harus dimintakan persetujuan DPR lebih dulu. 

Sehingga semua kesepakatan internasional yang tidak diberi sebutan "Perjanjian" berarti tidak memerlukan persetujuan DPR. Dari segi ini dapat pula disimpulkan, bahwa tindakan Presiden Habibie dengan pihak luar negeri sudah berbau konspirasi.

Berkaitan erat dengan persoalan tersebut idealnya, demi menjaga kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semua kerjasama dan kesepakatan dengan negara lain, yang menyangkut kepentingan rakyat banyak dan mempengaruhi haluan politik negara harus berbentuk "Perjanjian". Sehingga agar sesuai Pasal 11 UUD 1945, kesepakatan tersebut wajib dimintakan persetujuan DPR terlebih dahulu.

Provoked Act of Retaliation

Peristiwa Pidana Pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur, berbeda dengan Peristiwa Pidana Pelanggaran HAM berat, yang terjadi di Rwanda antara Tutsi versus Hutu (kejahatan genosida), Serbia versus Herzegovina di bekas Yugoslavia, Apartheid di Afrika Selatan, Pembunuhan Massal di Kamboja. 

Peristiwa pidana pelanggaran HAM berat di Timor Timur itu terjadi karena factor provokasi, sehingga menurut Hukum Internasional, apa yang dilakukan oleh kelompok Pro Integrasi di Timor Timur tersebut dapat dianggap sebagai suatu provoked act of retaliation. 

Yakni, tindakan pembalasan yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersifat provokasi dengan melawan hukum oleh kelompok pro kemerdekaan lebih dulu. Dan tindakan  pembalasan seperti itu, menurut pendapat Prof.Boedi Harsono,SH,MA,MIL, Guru Besar Hukum Internasional Publik, Universitas Trisakti, Universitas Diponegoro, Unisula Semarang, Unika Atmajaya, tidak dianggap melawan hukum.

Banyak sekali contoh-contoh mengenai kejadian yang dapat dikategorikan sebagai  provoked act of retaliation. Diantaranya dapat disebutkan Presiden Soekarno yang merasa diprovokasi oleh Inggris dengan dimerdekakannya negara Malaysia dan Singapura, menganggap perlu membalasnya dengan mengirim pasukan Baret Merah RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) untuk menyerbu Malaysia. 

Ketika Iran di Jaman Ayatullah Khomeini menyandra 52 diplomat Amerika Serikat di Teheran, maka Amerika juga membalasnya dalam berbagai bentuk penghancuran. Sampai-sampai Pemerintah Amerika Serikat semasa presiden Jimmy Carter memblokir semua aset devisa Iran yang tersimpan di beberapa bank luar negeri. 

Kita masih ingat sewaktu terjadi Perang Teluk yang dipicu oleh Irak yang menginvasi Kuwait berkecamuk, tak kurang dari pihak PBB membalas provokasi Irak dengan menghancurkan apa saja yang melebihi proporsi sebagai tindakan pembalasan.

Sebagaimana telah dipermaklumkan, diketauhi pada kesemua kejadian provoked act of retaliation tersebut masyarakat dunia tidak bereaksi menentangnya. Kembali ke peristiwa Timor Timur dimana kelompok Integrasi telah disakiti lebih dulu, maka jika tindak pembalasan mereka dipersoalkan jelas hal ini tidak sesuai dengan prinsip Hukum Internasional. 

Paparan tersebut cukup membuktikan cogency atau sudah bakunya ketentuan kebiasaan hukum internasional yang menganggap suatu provoked act of retaliation (tindakan pembalasan yang didahului provokasi pihak lawan) dapat dibenarkan dimata hukum. Atau setidak-tidaknya hal itu dianggap tidak melanggar hukum internasional.

Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur

Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur, pada tingkat Putusan Pengadilan Pertama (Pengadilan Negeri), semua Terdakwa dihukum penjara bahkan telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung RI. Salah satunya adalah Eurico Guterres melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK), Mahkamah Agung dalam putusannya telah membebaskan dengan Putusan bebas. 

Putusan PK Mahkamah Agung RI tersebut, telah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Internasional yang telah diadopsi dalam hukum nasional, sehingga telah memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Jika Prof David Cohen, yang menyatakan Pengadilan Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal (Intended To Fail) , hal tersebut hanyalah pandangan sempit dan sepihak yang bersifat opini, yang tidak didasari pada kajian Ilmiah yang bersifat akademis.

Kesimpulan

Indonesia sebagai negara hukum (recht staad) , harus berdaulat atas kemandirian hukumnya sendiri. Sebagai bagian dari upaya membangun kewibawaan dari suatu negara, pemerintah  harus berani mempertahankan keberadaan hukumnya sendiri, baik dalam kancah nasional maupun  dalam kancah Internasional. 

Penegakan Hukum (law enforcement) dalam suatu negara wajib dihormati oleh negara lain sebagai bentuk dari penghormatan terhadap kedaulatan hukum dari suatu negara. Intervensi asing terhadap penegakan hukum dalam suatu negara dalam berbagai modus operandi apapun pada akhirnya akan merugikan negara yang terintervensi tersebut. 

Bentuk-bentuk Kerjasama dalam penegakan hukum dengan negara lain, tidak terkecuali dengan PBB pada prinsipnya harus saling menguntungkan kedua belah pihak.

Artikel Lainnya : OpiniHardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun