Dr H Suhardi Somomoeljono SH MH
Akademisi Ahli Hukum Pidana Universitas Matla'ul Anwar Banten, Praktisi Hukum di Jakarta, Tim Ahli BNPT, Pakar Desk Otsus Papua Kemenkopolhukam 2018.
Prolog
Melanesian Spearhead Group ("MSG") adalah Forum atau himpunan dari Negara-Negara di Pasific Selatan yang beranggotakan antara lain : Negara Fiji, Negara Papua Nugini, Negara Solomon Islands, Negara Vanuatu. Indonesia sebagai anggota tetap (Permanent member) dari perkumpulan Negara-Negara di Asia Tenggara ("ASEAN"). Di Melanesian Spearhead Group ("MSG") Indonesia sampai saat ini belum masuk menjadi anggota tetap dari MSG keanggotaan Indonesia masih bersifat peninjau (observer).
Status United Liberation Movement of West Papua ("ULMWP")
Apakah komunitas Melanesia dari 5 (lima) Propinsi di Indonesia dimungkinkan diterima oleh Forum Leader MSG untuk ditetapkan dalam keputusan menjadi anggota tetap dari MSG. Dengan asumsi bahwa yang bertindak sebagai anggota (member) di MSG adalah negara bukan orang dan / atau kelompok yang ditetapkan sebagai persyaratan  untuk menjadi anggota, maka United Libaration Movement of West Papua ("ULMWP") secara hukum belum memenuhi syarat untuk menjadi anggota tetap (Permanent member) dari MSG.
Peluang yang dimungkinkan ULMWP dapat menjadi anggota tidak tetap (non permanent member) dalam kapasitas selaku peninjau (observer) yang belum memungkinkan memiliki hak suara (right to vote) namun sangat dimungkinkan dapat memiliki hak untuk berbicara (freedom of speech). Persyaratan yang bersifat mutlak bahwa untuk menjadi anggota di MSG adalah suatu negara merdeka dimana persyaratan tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Internasional.
Mengingat adanya persyaratan yang belum memungkinkan bahkan tidak memungkinkan ULMWP dapat diterima menjadi anggota tetap MSG sebaiknya secara intensif dan terus menerus (sistemik) hal tersebut di informasikan secara serius khususnya untuk masyarakat papua dan papua barat dengan harapan agar supaya tidak terjadi bias informasi di masyarakat yang dapat mengakibatkan terjadinya politisasi dengan segala dampaknya yang pada akhirnya akan merugikan rakyat papua sendiri dan juga rakyat Indonesia pada umumnya.
Dampak politisasi sangat banyak ragamnya, dengan adanya keyakinan dari masyarakat sebagai akibat dari pembinaan masyarakat yang terus menerus secara intense dilakukan oleh kelompok-kelompok pro kemerdekaan baik yang ada di dalam negeri / luar negeri maka menghimpun dana dari masyarakat sebanyak-banyaknya sangat dimungkinkan dengan berbagai modus pendekatan. Kegiatan penghimpunan dana seperti itu sangat sulit terdeteksi mengingat cara-cara yang dilakukan tidak bersifat formal namun dilakukan secara informal (klandastin).
Tugas Pemerintah Pusat
Indonesia sebagai negara yang berdaulat atas seluruh wilayah negara Kesatuan republik Indonesia ("NKRI") harus memiliki agenda yang jelas baik menyangkut program di dalam negeri maupun program untuk luar negeri khususnya terkait informasi secara komprehenship bahwa wilayah Papua dan Papua Barat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan dari NKRI.
Informasi dari pemerintah pusat yang tidak komprehenship akan berdampak negatif terhadap persepsi orang / masyarakat terutama warga asli papua terhadap NKRI mengingat persepsi masyarakat lebih kuat meyakini bahwa kelak papua akan bisa merdeka seperti halnya wilayah Timor Timor. Kemungkinan persepsi bahwa kelak papua akan merdeka telah dibina secara intensif dan terstruktur oleh orang-orang atau kelompok-kelompok baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada diluar negeri dengan menggunakan berbagai jaringan yang secara masif telah diperuntukkan untuk itu.
Jika Pemerintah Pusat khususnya tidak memiliki kemampuan untuk membina masyarakat Papua akan keyakinan yang penuh bahwa Papua adalah satu kesatuan dengan NKRI yang sudah final dan tidak mungkin dapat diganggu gugat dengan cara apapun baik secara politik maupun secara hukum, maka akibatnya masyarakat Papua tidak akan tersentuh rasa nasionalisme sebagai bagian dari NKRI.
Pendekatan secara multi dimensional dalam perspektif kesatuan dan persatuan bangsa harus dirumuskan dalam naskah yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi perspektif sejarah maupun dari perspektif hukum nasional dan internasional. Jika pemerintah pusat dan jajaran pemerintah daerah belum satu perspektif maka akan menimbulkan bias kebijakan dalam segala program baik ekonomi, hukum, sejarah, sosiologi, kebudayaan dan lain-lain.
Mentalitas orang-orang papua yang pada umumnya taat kepada kepala suku adalah bentuk modal dasar yang sangat besar yang dapat dikembangkan dalam bingkai filosofis hukum untuk dapat di implimentasikan dalam alam kenyataan sebagai cita-cita hukum yang sangat mendambakan terciptanya keadilan, ketertiban, kepastian hukum yang selama ini nyaris hilang sebagai akibat dari kebijakan yang tidak komprehenship tersebut.
Intinya pemerintah pusat  jangan lelah dan jangan lengah untuk terus menerus membina masyarakat Indonesia pada umumnya dan Masyarakat papua pada khususnya untuk mencintai NKRI sebagai hasil perjuangan para leluhur dengan merebut dari penguasa kolonial yang telah mengorbankan jiwa dan raga yang sulit dihitung berapa besarnya yang gugur sebagai pahlawan negara, tidak terkecuali pahlawan-pahlawan yang berasal dari papua.
Penutup
Jika pembinaan rasa nasionalisme terhadap masyarakat lemah, maka lambat laun kelemahan itulah yang akan diisi oleh idiologi-idiologi lain baik yang berasal dari dalam negeri / luar negeri selain Pancasila. Jika pembinaan terhadap rasa nasionalisme gagal maka Pancasila sebagai Idiologi Negara akan ditinggalkan oleh masyarakat baik disadari maupun tidak disadari. NKRI dapat bubar dirongrong / digerogoti oleh idiologi-idiologi selain Pancasila ketika pemerintah pusat dan daerah lupa melakukan pembinaan kepada masyarakat secara masif betapa pentingnya menumbuhkan rasa nasionalisme dari suatu bangsa itu.
Artikel Lainnya : OpiniHardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H