Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia.[1]
Sebagai akibat dari krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 tersebut, telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.
Terdapat enam penyebab terjadinya krisis ekonomi Amerika Serikat[2], yaitu: penumpukkan hutang yang sangat besar, adanya program pengurangan pajak korporasi yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan Negara, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai perang Irak dan Afghanistan, lembaga pengawas keuangan CFTC (Commodity Futures Trading Commision) tidak mengawasi mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas perdagangan berjangka, kerugian surat berharga property, dan yang terakhir adalah keputusan suku bunga murah yang mengakibatkan timbulnya spekulasi yang berlebihan. Penurunan suku bunga yang dilakukan oleh The Federal Reserve of The United States atau bank sentral Amerika yang kala itu dipimpin oleh master ekonom dunia Alan Greenspan membuat gejolak baru di pasar Amerika.
Krisis ekonomi Amerika tersebut yang semakin lama semakin merambat menjadi krisis ekonomi global karena sebenarnya perekonomian di dunia ini saling terhubung satu sama lainnya, peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan berpengaruh di tempat lainnya. Dan tidak jarang dampak yang terjadi jauh lebih besar daripada yang terjadi di tempat asalnya. Oleh karena itu Indonesia juga turut merasakan krisis ekonomi global ini. Indonesia merupakan Negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran dana asing yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara kembalilah yang harus menanggung hutang perbankan dan perusahaan swasta.
Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global tahun 2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB (Product Domestic Bruto) cukup menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008 lalu. Di regional Asia sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa ‘selamat’nya Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia sendiri ‘terselamatkan’ dengan hanya memiliki rasio ekspor sebesar 29%
Sejak itulah Asia menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia, tak terkecuali Indonesia. Setiap hari, uang mengalir deras ke kawasan ini. Para investor dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa berbondong-bondong memindahkan uangnya ke Asia untuk mengambil untung. Pendek kata, Asia menjadi tempat yang subur untuk berternak uang.
Menurut catatan Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB atau UNCTAD, aliran modal asing (FDI) dari negara maju ke negara berkembang besar seperti: China, India, Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan naik hampir dua kali lipat sejak krisis finansial 2008.[3] Pada 2013, modal asing di negara berkembang naik 6,2% ke rekor tertingginya, yakni US$ 759 miliar. Sedangkan investasi asing di negara maju naik 12% menjadi US$ 576 miliar.[4]
Negara-negara berkembang besar di Asia akhirnya tumbuh subur. Setiap kali mobil baru keluar, langsung habis dibeli konsumen. Properti mewah dibangun di mana-mana dan restoran setiap hari penuh sesak oleh pengunjung. Benarkah rakyat Asia sudah punya daya beli kuat? Belum tentu, sebab, banyaknya barang yang dibeli itu karena begitu longgarnya aturan kredit dan utang.
Longgarnya aturan utang dan banyaknya pihak asing yang ingin berinvestasi menjadi ledakan ekonomi bagi Asia. Tapi, ini juga sekaligus membawa benua ini ke jurang utang yang semakin besar. Jutaan konsumen Indonesia rela berutang untuk memiliki kendaraan bermotor dan rumah. Konsumen di Thailand, Hongkong, Singapura, dan Malaysia berani mengambil kredit agar punya real estate.
Obligasi Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina saat ini banyak dimiliki oleh asing. Begitu pula saham-saham yang diperdagangkan di bursa ketiga negara tersebut.
Kini beban utang di beberapa negara Asia menggunung, yakni melebihi utang benua ini di era 1997. Firma Konsultasi Mc Kinsey Global Institute mengukur utang ini dari perbandingan persentase utang negara dan swasta atas produk domestik bruto (PDB). Dalam empat tahun terakhir presentase ini naik menjadi 155% pada pertengahan 2012 dari 133% pada 2008.[5]