Saat saya mengajukan usulan penelitian yang berjudul: Pengalaman Keluarga Melakukan Perawatan Mandiri pada Anggota Keluarga yang Positif COVID-19 Berdasarkan Perspektif Family Centered Nursing di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kalau Anda merasa judul penelitian itu terlalu panjang dan bikin pusing, lupakan saja. Intinya saya mau mencari tahu seperti apa pengalaman keluarga mengahadapi COVID-19.
Temuan penelitian itu tentu saja sangat banyak. Salah satunya berkaitan dengan pemanfaatan ramuan tradisional untuk bertahan melawan COVID-19.
Kita tahu, salah satu ketakutan saat pandemi COVID-19 sedang meningkat pada saat itu adalah tidak berani mengunjungi fasilitas kesehatan.
Masyarakat takut tertular jika ke fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan juga membatasi layanan di fasilitas kesehatan. Karena itu, kalau ada anggota keluarga yang mengeluh sakit tertentu, maka obat-obatan tradisional menjadi pilihan utama.
Saya mewawancarai 16 keluarga yang menjadi partisipan penelitian tersebut dan semuanya mengaku aktif membuat dan mengonsumsi ramuan tradisional selama pandemi COVID-19.
Jenis ramuannya memang bervariatif, tapi berkisar pada pemanfaatan rempah-rempah, minyak kayu putih, jeruk nipis, buah kelapa dan produk olahannya, madu, air garam, dan lainnya.
"...sereh, sama halia, kencur, kayu manis, direbus....baru minum," kata salah satu partisipan.
Partisipan lain juga hampir sama, tapi kadang beda komposisi bahan yang disesuaikan dengan selera atau ketersediaan bahan. Tapi secara umum, seluruh partisipan mengaku ikut memanfaatkan produk kesehatan tradisional tersebut.
Mereka juga mengakui khasiat atau setidaknya sensasi yang dirasakan setelah mengonsumsi ramuan tradisional itu cukup baik. Mereka jadi lebih nyaman dan merasa yakin bisa bertahan melawan corona.
Jadi, selama pandemi COVID-19, keberadaan jamu tidak lagi menjadi terapi komplementer. Ia malah dijadikan terapi primer ketika layanan di fasilitas kesehatan terbatas. Semua sepakat, jamu merupakan bagian dari kubu atau pertahanan tubuh selama pandemi COVID-19.