Saya tersenyum puas ketika Teacher Sena, salah satu guru di Angkasa El Tari Kupang, mengirimkan foto anak pertama kami yang baru saja menyelesaikan tugas khusus.
Saya perhatikan, anak kami yang berusia 6 tahun dan bernama Gibran Suhardin itu tampak gagah. "Usaha anak ini tidak sia-sia," gumam saya sambil menggeser beberapa slide foto.
Sehari sebelumnya, Senin (29/05/2023), saya menjemput Gibran di sekolahnya yang terletak dalam kompleks TNI Angkatan Udara El Tari Kupang menjelang pukul 11.00 WITA.
Aturannya, anak-anak TK di sana sudah bisa dijemput pukul 10.00 WITA. Ketika masa awal-awal Gibran sekolah, saya selalu menjemput tepat waktu sesuai yang disarankan tersebut.
Tapi, suatu hari Gibran protes. Ia jengkel kalau saya jemput terlalu cepat. "Biar saya main dengan teman dulu," katanya memberi alasan.
Iya, memang saya perhatikan, anak-anak punya waktu bermain bebas selepas aktivitas sekolah selesai hingga orang tua masing-masing datang jemput.
Menurut Gibran, beberapa temannya juga tidak dijemput cepat-cepat oleh orang tuanya, sehingga mereka punya waktu bermain bebas. Gibran juga ingin seperti itu.
Sekolah memang menetapkan waktu penjemputan anak pukul 10.00 WITA, dan masih ditoleransi sampai pukul 11.00 WITA kalau orang tua atau penjemput masih ada kesibukan lain.
Karena itu, hampir tiap pagi ketika saya mengantar Gibran di sekolah, anak itu selalu memberi ingat: "Bapa datang jemput jangan terlalu cepat e..."
Demi memenuhi keinginan anak tersebut, maka saya biasanya berangkat dari tempat kerja pada pukul 10.30 WITA. Persiapan berangkat dan lama waktu tempuh membuat saya baru tiba di sekolah menjelang pukul 11.00 WITA.
Biasanya saya mendapati Gibran hanya bermain dengan satu atau dua orang. Sebagian besar teman-temannya sudah pulang. Kadang ia juga sendirian, tapi ia tetap senang karena saya tidak buru-buru menjemputnya.
Begitu juga yang saya lakukan pada Senin (29/05/2023) lalu. Saya datang menjemput menjelang pukul 11.00 WITA, tapi tidak segera melihat Gibran di tempat ia biasa bermain.
Saya celingak-celinguk mencarinya, tapi tidak terlihat. Seorang guru yang menyadari kedatangan saya datang memberi tahu, "Gibran sedang bersama Teacher Sena, ada pergi latihan penyambutan tamu," kata Teacher Imelda. "Bapa Gibran tunggu sebentar ya..."
Di sekolahnya Gibran ini ada program yang namanya "Angkasa can speak". Intinya program itu mau membiasakan anak-anak TK tersebut mengenal kosa kata bahasa Inggris.
Karena itu ketika anak-anak memanggil nama seorang guru, harus menyebut kata 'Teacher' sebelum nama panggilan. Tapi karena mereka masih anak-anak, pelafalan kata 'teacher' itu belum terasa Inggrisnya. Mereka seperti sedang membaca kata ini: Ticer.
Saya baru saja selesai membaca satu tulisan di Kompasiana ketika Gibran bersama Ticer Sena dan salah satu teman perempuannya pulang dari tempat latihan acara.
Ticer Sena menjelaskan bahwa akan ada tamu dari Jakarta yang akan datang. Saya kurang tahu persis siapa, tapi Ticer Sena hanya menyebut kata komandan.
TK Angkasa memang berada di bawah yayasan yang dikelola oleh keluarga besar TNI AU. Itulah yang membuat mereka sering terlibat dalam berbagai acara ketentaraan.
Keunggulan itu juga yang ditonjolkan pihak sekolah, sehingga punya ciri khas yang membedakannya dengan sekolah lain. Setidaknya dengan sekolah di sana, maka anak-anak bisa mengenal lebih baik tentang dunia kedirgantaraan.
Setelah mendapat penjelasan dari Ticer Sena, saya dan Gibran mohon pamit ke rumah. Selama dalam perjalanan hingga tiba di rumah, Gibran selalu memberi peringatan: "Bapa, nanti kalau mama pulang kerja, kita latihan..."
Latihan yang ia maksud adalah mengulang apa yang telah diajarkan oleh Ticer di sekolah. Anak itu mulai memberi gambaran apa yang dilakukan oleh saya, mamanya, dan dia sendiri.
Maka ketika hari itu sudah gelap dan kami hendak tidur malam, anak itu teringat lagi dengan tugasnya. Ia memaksa kami latihan lagi.
Ia mengambil satu kain, lalu meminta mamanya memegang kain tersebut. "Mama berdiri di belakang saya," Gibran memberi instruksi.
Lalu ia menyuruh saya berjalan ke arahnya. "Bapa datang dari sana," ia menunjuk salah satu sudut rumah kami, "ayo, jalan dari situ."
Setelah saya cukup dekat dengannya, ia meminta saya menunduk sedikit. Sementara itu, ia mengambil kain dari mamanya dan menyelempangkan di bahu saya. Kami kemudian bersalaman, lalu ia memberi salam hormat.
Keesokan harinya ketika bangun pagi, ia tumben beranjak dari tempat tidur tanpa dipaksa. Biasanya pagi seperti itu ia masih terlelap dan butuh usaha besar untuk membangunkannya.
"Kita latihan lagi," pintanya. Kami tidak kuasa menolak permintaan Gibran, meski hal itu membuat kami agak terburu-buru menyiapkan diri berangkat ke tempat kerja.
Selasa (30/05/2023) pagi menjelang pukul 10.00 WITA, Ticer Sena mengirim beberapa foto ketika Gibran sedang beraksi menjalankan tugasnya itu.
Hari itu Gibran mengenakan seragam pilot khas TNI AU. Ticer Sena menambahkan lagi dengan aksesori topi hitam khas seorang prajurit. Ia terlihat gagah, dan itu membuat dada saya sedikit berdesir bangga.
Anak itu sudah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Tugasnya memang sangat sederhana, hanya menyelempangkan kain pada seorang tamu sebagai ucapan selamat datang.
Itu adalah tugas yang bisa dilakukan atau dilatih oleh semua orang. Tugas yang mudah. Sangat sederhana.
Tapi, Gibran mesti bersyukur karena tidak setiap anak dipercayakan untuk itu. Kebetulan ia mendapatkan kesempatan, dan ia menjalankannya dengan sepenuh hati.
Menurut saya, dari tindakan kecil itu, Gibran sudah mendapatkan pelajaran yang besar. Ia sudah belajar mengenai tanggung jawab dari sebuah kepercayaan yang diberikan oleh orang lain.
Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni kemarin, saya berpikir rasa tanggung jawab yang dicontohkan Gibran itu juga merupakan implementasi dari nilai-nilai Pancasila.
Dan berkenaan dengan perayaanSiapakah yang mengajarkan nilai-nilai tersebut padanya? Saya pikir itu merupakan hasil kolaborasi orang tua, guru di sekolah, dan orang-orang di sekitar lingkungannya.
Kita tahu, karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Karena itu, jika ingin mendidik anak dengan karakter sesuai nilai-nilai Pancasila, maka sebagai orang tua harus menyiapkan ekosistem yang mendukung.
Dari pengalaman tersebut, saya berpikir untuk terus menyemangati Gibran pada urusan-urusan yang tampak sepele, tapi di baliknya terkandung banyak pelajaran baik.
Kita bisa mendapatkan dampak yang besar dengan tindakan kecil. Little step, high impact.