Hmm, beruntung kedua teman saya itu tergolong kaya. Anak sultan mah, bebas. Uang yang sebenarnya bisa dikonversi dua kali makan di warteg itu, hanya dihabiskan untuk segelas kopi. Kalau saya yang lakukan itu, perih betul di lambung. Bukan karena efek kafeinnya, melainkan stres berlebihan karena jiwa missqueen saya bergetar dengan harga kopi yang mencekik dompet seperti itu.
Barangkali apa yang saya pikirkan ini terkesan kolot, tidak masalah. Saya sudah terbiasa dengan minum kopi gratis di kampung, dan kalaupun harus membayar, saya bisanya yang harga berkisar tiga ribuan saja.
Mengenai tren Es Kopi bersama kafe model baru di seputar Surabaya, saya hanya khawatir itu akan berjalan sesaat. Masih ingat, kan? Kita di Indonesia sering muncul tren-tren baru, tapi usianya paling banter seusia jagung. Masih ingat batuk akik, es kepal hijau, dan tren lainnya?
Dari sekian banyak tren yang datang dan pergi, cuma satu yang saya perhatikan selalu stabil keberadaannya. Apalagi kalau bukan warung kopi tiga ribuan rupiah? Ayo sobat missqueen, pertahankan daerah cangkrukan kita itu. Jangan terlena dengan tren sesaat, kita tetap setia dan peduli dengan isi dompet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H