Saya masih kurang yakin, minum kopi kok pakai es? Sejak lahir hingga tumbuh menjadi remaja, saya hidup di Manggarai, sebuah daerah yang terletak di Flores-NTT yang menjadi salah satu penghasil kopi terbaik. Di kampung saya itu, minum kopi sudah menjadi rutinitas tiap hari. Waktunya bisa pagi/siang/malam, bergantung sikon. Kalau kita bertamu ke rumah orang, pasti ditawari minum kopi.
Di kampung, proses mengolah kopi dari buah hingga menjadi bubuk, masih menggunakan cara tradisional. Saya tidak akan memulai dari buah kopi matang yang telah dipetik di pohonnya, tapi langsung pada biji kopi yang telah bersih, siap untuk disangrai. Setelah berubah warna agak coklat-kehitaman, maka dianggap sudah matang. Selanjutnya ditumbuk dengan lumpang dan alu. Biji kopi yang berubah jadi serbuk itu kemudian diayak, hingga akhirnya menghasilkan bubuk kopi yang siap dikonsumsi.
Proses menyajikan bubuk kopi hingga menjadi minuman, kami menyebutnya putar kopi. Bukan berarti kami membawa kopi itu mengelilingi sesuatu. Tapi, aktivitas mengaduk setelah bubuk kopi bercampur gula sesuai selera, telah diseduh air mendidih. Mungkin karena adukan senduknya yang berputar, makanya dinamakan putar kopi saja. "Tolong putar kopi dulu," begitu cara kami meminta seseorang untuk buatkan secangkir kopi.
Pengalaman bertahun-tahun selama di kampung itu, minum kopi tiap hari tanpa repot membayar, langsung berubah ketika saya merantau ke Surabaya untuk kuliah. Di kota ini, kalau mau minum kopi, tidak ada lagi yang gratisan macam di kampung.
Kabar baiknya, di Kota Pahlawan ini tersedia banyak warung kopi yang cocok buat cangkrukan, sebab harganya masih terjangkau. Kopi hitam misalnya, masih dijual tiga ribu rupiah. Penjaga warkop itulah pahlawan sejati yang bisa mengobati kecanduan kopi yang saya alami selama berada di Surabaya.
Ada juga tempat minum kopi lainnya yang bergaya semi-warkop dan semi-kafe. Harga yang ditawarkan tempat ini bisa dianggap berada pada level menengah. Kalangan mahasiswa seperti saya masih bisa sesekali menikmati kopi di tempat ini. Kalau terlalu sering, bisa-bisa uang buat makan tidak bertahan hingga akhir bulan.
Level tertinggi adalah kafe premium yang menjual kopi dengan harga yang tidak masuk akal. Karenanya, tidak mungkin juga tangan kita masuk ke dompet untuk berani bayar minuman seperti itu. Mungkin baru sekali saya minum di tempat seperti itu, kebetulan ada yang baik hati mentraktir.
Saat ini ketiga tempat minum kopi itu tumbuh bersaing di mana-mana. Di Surabaya, kita dengan mudah menemukan tempat seperti itu. Perhatikan di pinggir jalan, pasti di antara berbagai jenis usaha lain, terselip penjual kopi.
Kopi, barangkali sudah menjadi minuman yang mendarah daging buat Indonesia. Apalagi setelah ramainya pembicaraan tentang buku dan film yang ditulis Dee Lestari, Filosofi Kopi. Setelahnya, tren membuka usaha kafe sangat menjamur di Indonesia, termasuk Surabaya.
Meski dalam perjalanannya, tidak sedikit pula yang gulung tikar. Padahal mereka tidak menggelar tikar betulan, lho. Di antara ketiga jenis tempat minum kopi tadi, mungkin cuma warkop yang menjual kopi tiga ribuan yang relatif bertahan lama.